|
Agus Mustofa |
|
Buku "Membela Allah" |
Dalam sebuah buku berjudul
"Membela Allah" yang
ditulis oleh salah seorang pencetus ideologi Tasawuf Modern di Indonesia, Agus Mustofa, nampak terlihat sekali
kerancuan pemikiran dan kedangkalan ilmunya dalam menyikapi hal berkenaan
dengan tafsir Al Qur'an dan penggunaan Hadits (sunnah) Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa sallam. Beliau
(Agus Mustofa) enggan disebut dirinya sebagai munkaris sunnah (orang yang ingkar terhadap sunnah), namun dari buku-bukunya kita bisa mengetahui bahwa beliau
ini adalah seorang Ingkar Sunnah
namun beliau tak menyadarinya. Berikut akan saya paparkan tulisan-tulisan
beliau yang mengindikasikan bahwa ia ingkar
sunnah disertai bantahannya Insya
ALLAH:
1.
Kontroversi penggunaan As Sunnah (Hadits)
Pernyataan:
Saya memang merujuk
sumber Al Qur'an jauh lebih banyak dibandingkan dengan sumber hadits. Tentu
saja saya punya alasan. Tetap saya sama sekali tidak inkar sunnah. Apalagi, dituduh ingkar kepada Rasulullah SAW yang
sangat saya cintai dan saya muliakan. Itu benar-benar tidak bertanggung jawab.
Ada dua hal yang sangat
mendasar yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini. Yang pertama, kenapa saya mengambil sumber ayat-ayat Qur'an lebih
banyak dari hadits. Dan yang kedua, masa iya saya dituduh tidak taat pada
Rasulullah hanya karena lebih banyak mengambil ayat-ayat Qur'an dibandingkan
hadits. Padahal kita tahu, bahwa Al Qur'an adalah warisan utama beliau, di
samping keteladanan yang beliau tunjukkan dalam amalan maupun ucapan sepanjang
hidup dan masa kenabiannya.
Yang
pertama, kenapa saya lebih banyak mengambil ayat-ayat Qur'an
daripada hadits. Ada sejumlah alasan yang ringkasnya sebagai berikut.
1.) Karena Al Qur'an
adalah petunjuk utama yang kebenaran dan keontetikannya terjaga 100%. Dan siapa
saja yang tidak mengambil Al Qur'an sebagai sumber petunjuknya, dijamin ia
sedang berkawan dengan setan. Dia akan disesatkan olehnya, dan mengira sedang
mendapat petunjuk padahal bukan.
QS.
Al Hijr (15): 9
"Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya."
QS.
Al Baqarah (2): 2
"Kitab (Al
Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertaqwa."
QS.
Az Zukhruf (43): 36-37
"Barangsiapa
yang berpaling dari pengajaran Tuhan
yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya
syaitan (yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya.”
"Dan
Sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang
benar dan mereka menyangka bahwa
mereka mendapat petunjuk."
2.) Terjadi
pertengkaran yang sangat serius di kalangan umat Islam sendiri, terkait dengan
sumber-sumber hadits dan periwayatnya. Terutama antara Syi'i dan Sunni.
Kelompok yang satu mengharamkan yang lain. Bahkan saling menghancurkan dan
saling membunuh, sejak zaman para sahabat sampai sekarang, ratusan tahun.
Apakah kita akan ikut mengabadikan dengan tetap memelihara perbedaan antara
mereka? Sebenarnya, mereka tidak memiliki perbedaan serius terkait
pengambilan ayat-ayat Qur'an. Artinya, penggunaan ayat-ayat Qur'an sebagai
sumber petunjuk utama bisa digunakan untuk 'mendamaikan' perbedaan yang sangat
mencolok antara kalangan umat Islam sendiri, disebabkan keontetikannya yang
terjamin sampai kini. Sedangkan penggunaan hadits sering memunculkan perdebatan
tak ada akhirnya disebabkan berbagai hal, mulai dari ketidaksetujuan pada
periwayatnya, ketidakcocokan isinya dengan realitas ilmu pengetahuan, keasliannya,
dan sebagainya. Masing-masing memiliki metodologi yang sulit untuk
disatukan. Dan berakhir dengan pertengkaran yang rumit serta tidak ada
habisnya. Penggunaan hadits sesedikit mungkin, dan memperbanyak penggunaan
ayat-ayat Qur'an yang sudah diyakini bersama keotentikannya menjadi jalan
keluar yang menyejukkan bagi persatuan umat Islam.
3.) Secara simultan,
penggunaan hadits tidaklah bersifat mutlak dalam memahami al Qur'an. Karena
tidak semua ayat Qur'an ada penjelasannya di hadits. Karena itu, juga tidak semua ayat Qur'an ada asbabun nuzul-nya. Tidak sampai separonya
saja ayat Qur'an yang ada asbabun nuzul-nya,
dan ada penjelasannya di dalam hadits. Sehingga, sebagaimana telah kita bahas
di depan, tafsir menggunakan metode periwayatan -metode ma'tsur- mengalami
masalah serius disebabkan oleh pertengkaran di sekitar keontentikan sumber
periwayatannya. Sehingga Imam Ahmad mengatakan, bahwa pakar riwayat sebenarnya
tidak menjamin kemutlakannya, melainkan sekadar menyodorkan hasil karyanya
untuk diteliti lebih jauh kebenarannya. Dan memang pada kenyataannya, redaksi
untuk peristiwa yang sama bisa beragam seiring dengan periwayat yang berbeda.
Bahkan isinya juga bisa bertabrakan. Sebagaimana telah saya bahas dalam buku
serial ke-18, Metamorfosis Sang Nabi. Bisa bertabrakan antara sesama periwayat,
atau bertabrakan dengan realitas.
4. Penggunaan hadits
sebagai sumber informasi tidak boleh berdiri sendiri, melainkan haruslah
menyertakan ayat-ayat Qur'an yang menjadi rujukannya. Sebaliknya, penggunaan
ayat al Qur'an tidak harus menggunakan hadits sebagai penjelas. Ini
dikarenakan fungsi hadits adalah penjelas ayat al Qur'an, tetapi tidak semua
ayat al Qur'an ada penjelasannya di hadits. [1]
Tanggapan
saya:
|
Kitab Hadits |
1.) Benar bahwa sumber
utama dalam agama ini (Islam) adalah merujuk kepada kitabullah (Al Qur'an) yang
keautentikannya dijamin keterjagaannya oleh ALLAH Azza wa Jalla. Namun adalah sebuah kesalahan besar apabila ada
seseorang yang ingin berpegang teguh dengan al Qur'an al Karim tanpa memahaminya dengan bantuan al Hadits (Sunnah).
Kita dapat melihat
sendiri kebanyakan firqah (kelompok)
sesat mengklaim telah berpegang teguh kepada Al Qur'an, padahal mereka
berpedoman kepada takwil dan penafsiran yang menyimpang, sebagaimana yang
diinginkan oleh hawa nafsunya. Mereka semua merasa telah cukup dengan
berpedoman pada Al Qur'an saja tanpa bantuan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah
pernah bersabda;
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama
kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya,
yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai
keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga,).”[2]
Sungguh ini adalah sebuah
kesombongan yang besar terhadap Rasulullah dengan menganggap dirinya bisa
menguasai hakikat kebenaran Al Qur'an tanpa menggunakan hadits atau sunnah
dalam memahami ayat-ayat-NYA. Ini mengindikasikan bahwa penting sekali
menggandengkan antara Qur'an dan Sunnah dalam berbagai macam permasalahan agama.
2.) Menarik juga untuk diketahui
bahwasannya, Agus Mustofa tidak benar-benar memahami perbedaan yang mendasar
dan sangat bertolak belakang antara kelompok Sunni (Ahlu Sunnah wal Jama'ah) dengan Syi'i (Syi'ah Rafidhah) dalam menukil hadits dikarenakan perbedaan yang
besar di antara aqidah mereka. Syi'ah
termasuk golongan sesat yang sejatinya telah keluar dari Islam sehingga tak
bisa dibilang bahwa kehadiran hadits telah menjadi perdebatan yang sangat besar di kalangan
umat Islam, melainkan perdebatan besar dengan yang berada di luar barisan Islam
yang haq.
Untuk mengetahui di mana letak perbedaan aqidah Syi'ah dengan aqidah Ahlus Sunnah yang haq, bisa dilihat di link berikut: Syi'ah Memang Beda
3.) Agus Mustofa
mengatakan bahwa tidak perlu menggunakan hadits untuk menjelaskan Al Qur'an. Lantas
bila demikian, apakah di dalam Al Qur'an terdapat perincian tentang shalat,
zakat, haji, atau dzikir-dzikir? Bahkan dalam Al Qur'an sendiri menerangkan
pentingnya untuk mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam. Sunnah Rasulullah itu telah ada di Al
Qur'an, jadi tidaklah benar apabila mengabaikannya. ALLAH berfirman:
"Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seseorang Rasul dari
kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al Baqarah [2]: 129)
Imam Abdullah An-Nasafi (w. 710 H)
berkata, "Yang dimaksud membacakan kepada mereka ayat-ayat-MU yaitu
membacakan dan menyampaikan kepada mereka bukti-bukti keesaan ALLAH dan
kebenaran para nabi yang diutus berdasarkan wahyu yang diturunkan. Dan, yang
dimaksud mengajari mereka Al-Kitab yaitu mengajarkan Al-Qur`an kepada mereka.
Sedangkan yang maksud al-hikmah yaitu Sunnah Nabi dan pemahaman Al-Qur`an.
Adapun maksud menyucikan mereka adalah membersihkan mereka dari perbuatan
syirik dan segala najis. Jadi, makna al-hikmah dalam ayat ini
adalah Sunnah."
Tentang ayat ini, Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni
mengatakan dalam kitab tafsirnya, bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat ALLAH
adalah ayat-ayat Al-Qur`an. Sedangkan
yang dimaksud al-hikmah yaitu Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Dengan keduanyalah (Al-Qur`an dan Sunnah) seorang mukmin dapat memperoleh
kebahagiaan dan kesuksesan. [3]
Imam Syafi’i rahimahullah
berkata, “Yang kudengar dari
keterangan para ulama Al Quran, mereka
mengatakan bahwa Al Hikmah adalah Sunnah (hadits) Rasulullah.” [4]
Di dalam Al Qur'an pula terdapat perintah untuk
mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu'alaihi
wa sallam. ALLAH Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
"Katakanlah, 'Jika kamu
(benar-benar) mencintai ALLAH, ikutilah
aku, niscaya ALLAH mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' ALLAH Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran [3]: 31)
Katakanlah, "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah
utusan ALLAH kepadamu semua, yaitu ALLAH yang mempunyai kerajaan langit dan
bumi; tidak ada TUHAN (yang berhak disembah) selain DIA, yang menghidupkan dan
mematikan, Maka berimanlah kamu kepada ALLAH dan Rasul-NYA, nabi yang ummi yang
beriman kepada ALLAH dan kepada kalimat-kalimat-NYA (kitab-kitab-NYA) dan ikutilah
dia, supaya kamu mendapat petunjuk." (QS. Al A'raaf [7]: 158)
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah ALLAH dan taatilah Rasul dan janganlah kamu
merusakkan (pahala) amal-amalmu." (QS. Muhammad [47]: 33)
Maka sudah menjadi suatu kewajiban bagi seorang Muslim
untuk mengikuti Sunnah Rasul-NYA sebagai bentuk pengejawantahan dari Al Qur'an.
Bahkan secara shahih diriwayatkan
bahwa wasiat terakhir Rasulullah itu adalah untuk berpegang teguh kepada
Sunnahnya serta Sunnah Khulafa'urrasyidin. Rasulullah bersabda;
بِالنَّوَاجِذِ عَلَيْهَا
عَضُّوا عْدِيبَ مِنْ الرَّاشِدِينَ الخُلَفَاءِ وَسُنَّةِ بِسُنَّتِي عَلَيْكُمْ
“Hendaknya kalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah
khulafa Ar-Rasyidin setelahku, gigitlah dengannya dengan gigi geraham kalian.”
[5]
Bahkan Rasulullah
mengatakan bahwasannya siapa saja yang tidak mengikuti sunnah beliau atau benci
dengan sunnahnya, tidaklah termasuk dari golongan umat beliau Shalallahu
'alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam sabdanya;
مِنِّي فَلَيْسَ سُنَّتِي
عَنْ رَغِبَ فَمَنْ
"Barangsiapa
yang benci sunnahku, maka bukanlah dari
golonganku." (HR. Bukhari No. 4675, Muslim No. 2487)
Karena
sesungguhnya, As Sunnah merupakan segala macam hal yang datangnya dari Nabi
Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam
dan Sunnah Rasulullah itu merupakan sebuah wahyu. ALLAH berfirman:
"Dan tiadalah yang diucapkannya
(Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya." (QS. An Najm [53]: 3)
|
Shahih Bukhari-Muslim |
Abdullah bin Amr
mengatakan, “Dahulu aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena) aku ingin menghafalkannya.
Maka orang-orang Quraisy pun menghalang-halangiku. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya kamu telah menulis segala sesuatu
yang kamu dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia biasa. Beliau terkadang
berbicara dalam keadaan marah.” Maka aku (Abdullah bin Amr)
menghentikan diri dari menulis (hadits-hadits Nabi). Kemudian kejadian itu aku
laporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau
bersabda, “Tulislah! [6] Demi Zat
yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah keluar dariku melainkan al haq
(kebenaran).” [7]
2.
Metode penafsiran Qur'an tanpa menggunakan As Sunnah (Al Hadits)
Pernyataan:
Tuduhan bahwa saya
tidak taat kepada Rasulullah karena tidak menggunakan hadits dalam penafsiran
adalah terlalu berlebihan, sangat provokatif, dan tidak bertanggung jawab.
Tidak digunakannya hadits untuk melakukan penafsiran al Qur'an tidak serta
merta menyebabkan kita mengingkari Rasulullah SAW.
Kenapa? Karena
sesungguhnyalah hadits-hadits yang dimaksudkan sebagai kutipan ucapan dan
perbuatan Rasulullah SAW itu adalah hasil penelusuran yang panjang pada zaman
pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz dan setelahnya. Karena itu redaksi
hadits selalu diceritakan oleh sahabat kepada orang lain, lalu kepada orang
lain lagi, sampai ke generasi penulisnya, setelah lebih dari 100 tahun zaman
Rasulullah.
|
Al Qur'an Al Karim |
Berbeda dengan al Qur'an
yang redaksinya langsung berasal dari Allah, dan teksnya terjaga selama belasan
abad. Tidak ada perbedaan antara teks al Qur'annya Syi'i dengan Sunni, atau
pun golongan manapun yang mengaku dirinya Islam. Perbedaannya adalah
bagaimana mereka menafsirkan lewat metodologi yang mereka bikin sendiri. Karena
itu, jika terjadi perbedaan maka Allah memerintahkan untuk melakukan tabayyun.
Jadi, hadits adalah
karya ilmiah dari pakar-pakar hadits yang dibukukan, dan kemudian dibuat
kesepakatan-kesepakatan tentang kualitas dan ketepercayaannya. Sangat banyak
ayat-ayat Qur'an yang tidak ada penjelasan haditsnya, terutama ayat-ayat ilmu
pengetahuan, yang justru mendorong umat Islam untuk melakukan pengamatan
langsung di lapangan lewat penelitian-penelitian secara ilimiah.
Saya sudah banyak
membahas ini di buku-buku sebelumnya. Perintah untuk melakukan penelitian
biologi, fisika, geologi, astronomi, kedokteran, pertanian, dan lain
sebagainya, ditegaskan oleh al Qur'an karena anda tidak akan menemukan
penjelasan detilnya di hadits. Bahkan juga tidak di dalam al Qur'an.
Pemahaman ayat-ayat
Kauniyah adalah salah satu tema yang sering diulang-ulang oleh Allah dalam al
Qur'an, agar seorang hamba menemukan jalan untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan-Nya. Dan itulah proses sains.
Dengan demikian, al
Qur'an sendiri yang mengajari kita, bahwa ayat-ayat Qur'an sebenarnya bisa
langsung ditafsiri dengan menggunakan data-data ilmu pengetahuan. Bahwa
kemudian, data-data itu bersifat relatif dan selalu mengalami update, ya memang begitulah kenyataannya. Seluruhnya bersifat relatif,
sebagaimana ilmu pengetahuan juga relatif.
Yang penting, proses
relatif itu bisa terus mengantarkan kita untuk mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta, Penguasa Segala. Semakin kagum kepada-Nya. Bertasbih dan memuji
keagungan-Nya. Serta menaati perintah-perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya. [8]
Tanggapan
saya:
|
Syarah Shahih Bukhari "Fathul Baari" karya Imam Ibnu Hajar |
1.) Para ulama ahli
hadits mendefinisikan Sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi baik
itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir
dan akhlak.
Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai
apa-apa yang datang dari Nabi selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi
perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau
melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.
Hadits menurut istilah ahli hadits adalah: Apa yang disandarkan
kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan,
penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.
Sedangkan menurut ahli ushul fiqh, hadits adalah perkataan,
perbuatan, dan penetapan, yang disandarkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa Sallam setelah kenabian. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai
hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi
konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi
setelah kenabian. [9]
Jadi pengertian hadits
itu tidak jauh dengan pengertian sunnah
atau bisa dikatakan hadits itu juga bisa disebut sebagai As Sunnah. Tidak seperti yang dipaparkan oleh Agus Mustofa di dalam
bukunya sebagaimana telah saya sebutkan di atas, ahlus sunnah tidak membuat
definisi yang berbeda jauh antara Sunnah dan Hadits. Ini dikarenakan mungkin
Agus Mustofa belum mempelajari secara benar tentang ushulus sunnah sehingga banyak tercampur dengan pemikiran akalnya
semata ketika menafsirkan sesuatu. Jadi, hadits bukan merupakan hasil karya
ilmiah seorang pakar hadits yang dibukukan. Ini adalah pendapat yang bathil!
2.) Pernyataan beliau
bahwa banyak ayat Qur'an yang tidak ada penjelasannya dalam hadits. Namun hal
ini tidaklah seutuhnya benar, karena memang fungsi hadits adalah sebagai
penjelas Kitabullah. Imam Ibnu Al Qoyyim rahimahullah
mengatakan bahwa hubungan hadits dengan al-Qur`an ada tiga:
- Hadits sesuai
dengan al-Qur`an dari berbagai segi, sehingga datang al-Qur`an dan hadits
pada satu hukum menunjukkan ada dan banyaknya dalil (semakin menguatkan).
- Hadits sebagai
penjelas maksud al-Qur`an dan penafsirnya.
- Hadits menentukan
satu hukum wajib atau haram pada sesuatu yang al-Qur`an diamkan.
As-Sunnah tidak akan
keluar dari tiga kategori ini, sehingga As-Sunnah tidak akan menentang
al-Qur`an sama sekali. [10]
|
Musnad Imam Ahmad |
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “(Termasuk)
landasan (utama) sunnah (syariat Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah
wal Jama’ah) adalah: bahwa sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan argumentasi
(yang menjelaskan makna) al-Qur’an.” [11]
Sebagaimana kita
ketahui bahwasannya akhlak Rasulullah itu merupakan bagian dari Sunnah dan
seperti yang telah banyak kita ketahui bersama, bahwa akhlak Rasulullah adalah
akhlak yang diajarkan oleh Qur'an atau dengan kata lain Sunnah Rasulullah yang
terdapat dalam akhlak beliau yang mulia merupakan intepretasi hidup dari Al
Qur'anul Karim. Ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya
tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah Al Qur’an.” (HR. Muslim no. 746).
Bahkan ada ulama yang
menganggap bahwa Sunnah itu merupakan ajaran Islam itu sendiri yang menjadi
indikasi pentingnya untuk berpegang teguh padanya. Imam Abu Muhammad
al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu ialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang
lainnya.” [12]
3.) Agus Mustofa
mengatakan bahwa Qur'an sebenarnya bisa langsung ditafsiri dengan menggunakan
data-data ilmu pengetahuan. Padahal sejatinya, bila beliau mengetahui,
sebagaimana beliau mengatakan bahwa tidak semua ayat Qur'an ada penjelasannya
di dalam hadits; maka terlebih lagi semua ayat Qur'an tidak selalu bisa
ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan dan akal saja karena sifatnya yang relatif
dan selalu berubah sementara ilmu ALLAH yang berasal dari Qur'an dan Sunnah itu
bersifat tsawabbit (tetap). Bila ilmu ALLAH itu dianggap relatif maka ini
akan menimbulkan kerancuan berpikir serta keraguan dalam mengimani
ayat-ayat-NYA. ALLAH berfirman:
"Kitab (Al Quran) ini tidak
ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa." (QS. Al
Baqarah [2]: 2)
Sesungguhnya kebenaran
itu hanya satu, tidak relatif atau memiliki cabang-cabang lain yang berada di
antara Haq dan Bathil. ALLAH berfirman:
"Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKU yang
lurus, Maka ikutilah dia, dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan ALLAH agar kamu
bertakwa." (QS. Al An'am [6]: 153)
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah ketika
menafsirkan ayat ini- berkata: “Firman ALLAH, “Ikutilah (jalan-Ku) dan jangan
kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.” (Di sini) sungguh ALLAH menyebutkan tentang jalan-NYA dengan bentuk kata
tunggal karena kebenaran itu hanya satu. Oleh sebab itu, ALLAH menyebutkan
tentang jalan-jalan yang lain dengan bentuk kata jamak (banyak). Karena
jalan-jalan yang lain terpisah-pisah dan bercabang-cabang….” [11]
Dan point yang paling
penting yang harus saya sampaikan di sini adalah bahwa metodologi penafsiran
ayat Qur'an tidak bisa sembarang apalagi metode bil ra'yi sebagaimana
yang dipahami dan dianut oleh Agus Mustofa. Ini jelas bertentangan dengan
qa'idah Ahlus sunnah dalam menafsirkan Al Qur'an. ALLAH Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al A'raaf [17]: 36)
Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda,
من قالأ في القرآن برأيه فأصاب فقد خطأ
"Barangsiapa
membaca/mengartikan Al Quran dengan pendapatnya sendiri (tanpa manqul),
walaupun benar maka sungguh-sungguh hukumnya tetap salah." (HR.
Abu Daud)
Dalam riwayat lain disebutkan, "Barang
siapa yang menafsirkan al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, hendaklah ia
menyiapkan tempat duduknya dari api neraka.”
(HR. Muslim)
|
Tafsir Ibnu Katsir |
Maka dari itu
dibutuhkan untuk memahami tafsir Qur'an sebagaimana para Salaf dulu telah menafsirkannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab Majmu' Fatawa-nya menjelaskan, "Ayat
al-Quran ditafsirkan oleh ayat lain pada tempat lain, karena terkadang ayat
al-Quran saling menafsirkan satu sama lainnya. Apa bila tidak ditemukan ayat
lain yang menafsirkannya maka carilah tafsirnya pada hadits Nabi. Dan apa bila
tidak ditemukan tafsirnya pada hadits Nabi maka carilah tafsirnya pada
perkataan para sahabat, karena mereka belajar langsung tafsirnya pada Nabi dan
al-Quran diturunkan di tengah-tengah mereka, mereka menyaksikan langsung
diturunkannya al-Quran. Dan apa bila tidak dijumpai tafsirnya pada perkataan
para sahabat maka tafsirkanlah dengan penafsiran para tabi’in karena mereka
belajar langsung kepada para sahabat.”
Kenapa kita harus
mengikuti metode sebagaimana yang dilakukan para Salafush Shalih umat ini? Hal ini tak terlepas dari keberadaan
mereka yang berada di tengah-tengah turunnya ayat Al Qur'an. Mereka adalah para
pioneer dan pendahulu dalam amal
kebaikan. Ilmu dan kebenaran kebanyakan berada di tangan mereka.
Hal ini diindikasikan
oleh beberapa hadits yang menunjukkan kefahaman seorang sahabat akan ilmu agama
ini sebagaimana dalam riwayat berikut.
Abu Ma’mar telah menceritakan kepada kami, Abdul Warits telah
menceritakan kepada kami, Khalid telah menceritakan kepada kami, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas radhiallahu'ahu, “Rasulullah saw. telah memelukku (ke dadanya) dan berdo'a,
لْكِتَابَ عَلِّمْهُ االلَّهُمَّ
‘Ya Allah,
ajarkanlah ia al-Kitab (Al-Qur’an).’” (HR. Bukhari)
Bahkan Ibnu Abbas radhiallahu'anhu tatkala beliau mendatangi
kelompok khawarij yang memusuhi para ulama dan menafsirkan al-Quran menurut
pendapatnya sendiri, beliau berkata, “aku datang dari para sahabat
Rasulullah, dari kalangan muhajirin dan anshar dan dari anak paman Nabi serta
menantunya (Ali bin Abi Thalib) dan tidak satupun seorang sahabat yang bersama
kalian, padahal kepada mereka al-Quran diturunkan dan mereka lebih tahu tentang
tafsirnya dari pada kalian” [14]
Jadi tidak dibenarkan kita menafsirkan Qur'an mengikuti kemauan hawa
nafsu kita sendiri. Tidak dibenarkan menafsirkannya hanya dengan mengandalkan
akal pikiran saja. Maka yang patut kita ikuti adalah cara bagaimana para ulama Salaf
dahulu memahaminya.
Ali bin Abu Thalib radhiallahu'anhu berkata: “kalau
agama adalah dengan akal maka tentu bagian bawah khuf lebih layak untuk dihusap
dari pada bagian atasnya”.
Dan Syaikh Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata:
“jika agama tolak ukurnya adalah akal tentu Allah tidak akan menurunkan
al-Quran karena secara fitrah manusia mampu menggunakan akal”.
4.) Sebagai penutup
argumentasi saya. Saya akan coba untuk memaparkan sebuah kisah percakapan yang
terjadi antara Abdullah ibnu Mas'ud radhiallahu'anhu
dengan Ummu Ya'qub radhiallahu'anha, sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits Alqamah, dia berkata; Ibnu Mas'ud radhiallahu'anhu telah melaknati
perempuan-perempuan yang minta ditato, perempuan yang minta dicukur alisnya,
dan perempuan-perempuan yang merenggangkan giginya agar tampak cantik, mereka
mengubah ciptaan ALLAH.
Ummu Ya'qub berkata,
"Mengapa engkau melaknati mereka?" Sahabat Ibnu Mas'ud pun
menjelaskan, "Bagaimana aku tidak melaknati orang yang telah dilaknati
oleh Rasulullah, dan itu disebutkan di dalam Al Qur'an." Ummu Ya'qub
berkata, "Demi ALLAH, aku telah membaca seluruh ayat yang ada di dalam Al
Qur'an ini, namun aku tidak pernah menjumpainya." Lalu Ibnu Mas'ud
berkata, "Jika engkau membacanya, niscaya engkau akan menjumpainya.
Bukankah engkau pernah membaca;
"...apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan
apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah..." (QS. Al Hasyr [59]: 7)
[15]
Maka tak layak bagi
kita, seorang manusia biasa yang ilmunya jauh di bawah Rasulullah dan para
sahabatnya, menolak untuk menafsirkan ayat-ayat Qur'an dengan sunnah maupun atsar dari para sahabat radhiallahu'anhuma yang telah diberikan petunjuk
serta pemahaman langsung dari Rasulullah Shalallahu'alaihi
wa sallam. Coba bersama kita renungkan sebuah nasihat yang mulia dari Nabi
kita Muhammad Shalallahu'alaihi wa sallam
berikut.
سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ
الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ
إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ
السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ
فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Di
akhir jaman nanti muncul suatu kaum yang
umur-umur mereka masih muda, pikiran-pikiran mereka bodoh, mereka mengatakan dari sebaik-baik manusia, padahal iman mereka tak sampai melewati kerongkongan, mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari busurnya, di manapun
kalian menemukannya, bunuhlah dia,
sebab siapa membunuhnya mendatangkan ganjaran pagi pelakunya di hari kiamat." (HR. Bukhari
No. 6418)
|
Ashdaqal Hadiitsi Kitabullah |
Demikian beberapa
catatan terhadap sebagian pokok dari buku "Membela Allah" yang
ditulis oleh Agus Mustofa. Saya sangat tidak merekomendasikan buku ini untuk
dibaca terutama bagi para penuntut ilmu agama yang masih terlalu awam untuk
memahami agama yang haq ini. Di dalam
buku ini terdapat banyak penyimpangan fikrah yang bisa menyesatkan pemikiran
kita semua. Semoga ulasan ini membawa manfaat bagi ikhwah sekalian. Dan hanya kepada ALLAH sajalah kita meminta tambahan
ilmu serta petunjuk dan hidayah-NYA.
والله أعلم بالصواب
(by Muhammad Abdullah
ibnu Abi Abdillah; 17th April 2012/ ۲۵
Jumadil Awwal ۱۴۳۳ H)
Footnotes:
[1] Mustofa, Agus (2010).
Membela Allah hal. 93-97. Surabaya: PADMA
Press.
[2] HR. Imam Malik secara
mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam
sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya
bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) - dan ia menshahihkannya-) Imam Malik
dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/172)
[3]
Shafwatu At-Tafasir/Syaikh Muhammad Ali
Ash-Shabuni/juz 2/hlm 481/Penerbit: Dar Ash-Shabuni, Kairo/Cetakan I/1997 M
1417 H
[4] Kitab
Ar Risalah hal. 78 (dinukil dengan sedikit perubahan dari Ma’alim
Ushul Fiqih ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 122)
[5] HR. At-Tirmidzi
No. 2891, Ibnu Majah dalam muqaddimah
No. 44, Ahmad No. 17606, dari hadits Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu.
Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam silsilah Ash-shahihah No. 936.
[6] Hadits di atas juga merupakan sanggahan terhadapa
pernyataan Agus Mustofa yang lain berkaitan halnya dengan menulis Hadits
(Sunnah). Agus Mustofa menyatakan, "Banyak diantara kita
yang masih rancu dalam memahami As Sunnah dan Al Hadits. Mengira
sama, padahal keduanya adalah hal yang sangat berbeda. As Sunnah adalah segala ucapan
dan perbuatan Rasulullah, saat beliau masih hidup. Sedangkan Al
Hadits adalah catatan para ulama hadits, yang baru dilakukan setelah
Rasulullah wafat.
Saat Rasulullah masih
hidup, beliau justru melarang para sahabat untuk mencatat ucapan dan
perbuatan beliau. Karena dikhawatirkan akan mengacaukan catatan al Qur’an yang
sedang dalam masa penulisan. Yakni, selama 23 tahun masa kenabian. Hal itu
diungkap, salah satunya, dalam muqadimah Al Qur’an keluaran Arab Saudi, dalam
bab penyusunan al Qur’an.
Bersabda Rasulullah
SAW: Janganlah kalian tuliskan ucapan-ucapanku! Siapa yang
(telanjur) menuliskan ucapanku selain al Qur’an hendaklah dihapuskan.
Dan kamu boleh meriwayatkan (secara lisan) perkataan-perkataan ini. Siapa yang
dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah di neraka.
(HR Muslim dari Abu Al Khudri).
Hadits baru mulai
ditulis dan dibukukan di zaman khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720 M) dan
khalifah-khalifah penerusnya. Meskipun, Rasulullah sudah melarang untuk
menulisnya, dan tidak pernah memberikan perintah untuk membukukannya.
Tetapi, sang Khalifah memutuskan berijtihad untuk melakukannya dengan
sejumlah pertimbangan."
Ini jelas telah
menyalahi dua hadits shahih yang mana Rasulullah membolehkan sahabatnya untuk
menulis ucapan-ucapan beliau Shalallahu'alaihi wa sallam dengan tujuan untuk
dihafalkan. Adapun hadits yang melarang untuk menuliskannya, tak lain sebagai
pembeda antara wahyu Qur'an dengan Sunnahnya. Namun hal ini sudah tidak lagi
menjadi larangan ketika kaum Muslimin telah bisa membedakan mana yang Qur'an
dan mana yang Sunnah. ALLAHu'alam bis
shawab.
[7]
Hadits Shahih, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’
no. 1196, lihat Tafsir Ibnu Katsir VII/340, cet. Maktabah At Taufiqiyah
[8]
Mustofa,
Agus (2010). Membela Allah hal.
97-99. Surabaya: PADMA Press.
[9] Ushulul Hadits, Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, hal 27
[10] ‘Ilam Muwaqi’in:
307, Maktabah Syamilah
[11] Ushuulus Sunnah,
hal. 3
[12] Syarhus Sunnah,
hal. 59
[13] Tafsir Ibnu Katsir,
2/256
[14] Diriwayatkan Abu
Dawud No. 4037, Ath-Thabary dalam Mu’jam
Kabir: 10/257-258
[15] Diriwayatkan Al
Bukhari No. 5939 dan Muslim No. 2125