|
Imam Hasan Al Banna |
Imam
Asy Syahid Hasan Al Banna (Mursyid Amr pertama gerakan Islam, Ikhwanul Muslimin) telah merumuskan
beberapa karakter yang sepatutnya dimiliki oleh seorang muslim yang disusun
berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah. Ada beberapa karakteristik yang harus
dipenuhi seseorang sehingga ia dapat disebut berkepribadian muslim, yaitu :
- Salimul ‘Aqidah /‘Aqidatus Salima
(Aqidah yang lurus /selamat)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim.
Dengan aqidah yang lurus, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada
ALLAH Subhanahu wa ta'ala, dan tidak
akan menyimpang dari jalan serta ketentuan-ketentuan-NYA.
ALLAH
berfirman, "Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada ALLAH, sedang dia orang
yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang kokoh. Dan hanya kepada ALLAH-lah kesudahan segala urusan."
(QS. Luqman [31]: 22)
Dengan
kelurusan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala
perbuatannya kepada ALLAH sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’aam [6]:162). Dengan hal ini kita sangat tidak dibenarkan
beribadah kepada selain-NYA dengan menyekutukan maupun dengan riya' atau rasa ingin dipuji atau
memperoleh ridha dari selain ALLAH ketika beribadah.
Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah berkata, telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa'id dari Muhammad
bin Ibrahim dari Alqamah bin Waqash dari Umar, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, "Semua perbuatan tergantung niatnya,
dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena ALLAH dan
Rasul-NYA, maka hijrahnya adalah kepada ALLAH dan Rasul-NYA. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin
digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya
adalah kepada apa dia diniatkan."
(HR. Bukhari No. 52, Muslim No. 1907, Abu Dawud No.2201, At Tirmidzi No. 1646,
Ibnu Majah 4227, Imam Ahmad 1/25, diriwayatkan pula oleh Daruquthni, Ibnu
Hibban dan Al Baihaqi; dengan sanad
yang shahih).
Aqidah
yang lurus /selamat merupakan dasar ajaran tauhid, maka dalam awal da’wahnya
kepada para shahabat di Mekkah, Rasulullah Shalallahu
'alahi wasallam mengutamakan pembinaan aqidah, iman, dan tauhid.
2.
Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam yang penting.
Syarat diterimanya suatu ibadah di sisi ALLAH Subhanahu wa ta'ala adalah dengan ikhlas (sebagaimana telah
dijelaskan pada hadits tentang niat sebelumnya) dan muttaba'atir Rasul (ittiba'
atau mengikuti Rasulullah) dengan tidak berbuat bid'ah. Bila ibadah yang kita lakukan tidak sesuai dengan
petunjuk Rasul, maka ia akan tertolak.
'Aisyah
radhiallahu 'anha berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Siapa
yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak
ada perintahnya maka perkara itu
tertolak." (HR.
Bukhari No. 2499, 2550, Muslim No. 1718, 3242, 3243, Abu Dawud 4606, Ibnu Majah
No. 14)
Dalam haditsnya yang lain, beliau bersabda: “Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Bukhari No. 6705).
Dalam hadits lain yang senada beliau juga bersabda, “Ambillah
dariku tuntunan manasik haji kalian.” (HR. Muslim no. 1297)
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap
peribadatan haruslah ber-ittiba’ kepada sunnah Rasul Shalallahu 'alahi wasallam yang berarti
tidak boleh ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi. Artinya dilarang membuat
perkara-perkara baru atau bid'ah
dalam urusan agama pada hal tata cara beribadah. Karena ALLAH telah
mengisyaratkan untuk mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad yakni sunnah
beliau agar diikuti. ALLAH Subhanahu wa
ta'ala berfirman, "Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar)
mencintai ALLAH, ikutilah aku (Muhammad), niscaya ALLAH mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu!' ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(QS. Ali Imran [3]: 31)
- Matinul Khuluq
(akhlak yang kokoh)
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh
setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada ALLAH Subhanahu wa ta'ala maupun dengan makhluk-makhluk-NYA. Dengan
akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia terlebih
lagi di akhirat. Karena akhlak yang mulia begitu penting bagi umat manusia,
maka salah satu tugas diutusnya Rasulullah Shalallahu
'alahi wasallam adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, di mana beliau
sendiri langsung mencontohkan kepada kita bagaimana keagungan akhlaknya
sehingga diabadikan oleh ALLAH Subhanahu
wa ta'ala di dalam Al Qur’an sesuai firman-NYA yang artinya: “Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung”. (QS. Al-Qalam
[68]:4).
Dan
dinukilkan dalam sebuah hadits bahwasannya beliau telah bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia.” (HR. Bukhari dalam al-Adabul
Mufrad no. 273 [Shahiihul Adabil
Mufrad no. 207], Ahmad II/381, dan al-Hakim II/613, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no.
45).
Dalam
hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah juga bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik
kalian adalah yang paling mulia akhlaknya."
(HR. Bukhari No. 5575)
- Mutsaqqoful Fikri (wawasan yg luas)
Mutsaqqoful fikri wajib dipunyai oleh pribadi muslim. Karena itu salah
satu sifat Rasulullah Shalallahu 'alahi
wasallam adalah fathanah
(cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia
untuk berfikir, misalnya firman ALLAH yang artinya: “Mereka bertanya
kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ' pada keduanya itu terdapat dosa
besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya.' Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah, 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah ALLAH menerangkan
ayat-ayat-NYA kepadamu supaya kamu berfikir”.(QS al-Baqarah [2]: 219)
Di
dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus
dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki
wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Untuk mencapai wawasan yg luas maka
manusia dituntut utk mencari/menuntut ilmu, seperti apa yg disabdakan beliau Shalallahu 'alahi wasallam, “Menuntut
ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim.” (Shahihul Jami’ No. 3913).
ALLAH
juga sangat mengutamakan ilmu dan wawasan pada diri seorang Muslim. DIA
berfirman, "Katakanlah,
'samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?,
sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS.
az-Zumar [39]: 9). Hal ini menunjukkan bahwasannya orang yang berilmu itu tidak
sama dengan orang yang itdak berilmu. Sedang ALLAH Subhanahu wa ta'ala juga membedakan derajat seseorang yang memiliki
ilmu seperti dalam firman-NYA, "Hai orang-orang beriman apabila
dikatakan kepadamu, 'Berlapang-lapanglah dalam majlis', maka lapangkanlah
niscaya ALLAH akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, 'Berdirilah
kamu', maka berdirilah, niscaya ALLAH akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Mujaadilah
{58]: 11)
Rasulullah
bersabda, "Keutamaan sesorang ‘alim (berilmu) atas seorang ‘abid (ahli
ibadah) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama
itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun
dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya (warisan
ilmu) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak." (HR.
Tirmidzi). Dari keterangan Nabi
Muhammad ini, kita bisa melihat salah satu dari keutamaan orang yang memiliki
ilmu daripada yang hanya sekedar ahli ibadah saja. Terdapat banyak keutamaan-keutamaan
lain dari ilmu seperti yang beliau juga sabdakan. “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan
memahamkan baginya agama (Islam).” (HR. Bukhari No. 2948, Muslim No.
1037). Dan masih banyak lagi keutaman-keutamaan ilmu dalam agama ini yang
mungkin akan membutuhkan banyak space dalam wacana di sini sehingga
tidak bisa saya sebutkan semua.
- Qawiyyul Jismi (jasmani yg kuat)
Seorang muslim haruslah memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan
ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan
haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan kondisi
fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk
perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian
seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada
pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang
wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Dan terkadang sakit atau musibah juga
bisa menjadi penyebab dihapusnya suatu dosa, sebagaimana hal ini ditunjukkan
oleh ucapan Nabi Shalallahu 'alahi
wasallam, " "Tidaklah suatu musibah yang menimpa seorang muslim
bahkan duri yang melukainya
sekalipun melainkan Allah akan menghapus (kesalahannya)." (HR. Bukhari No. 5209)
Namun
jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Bahkan Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam menekankan
pentingnya kekuatan jasmani seorang muslim seperti sabda beliau, “Orang mukmin
yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala daripada
orang mukmin yang lemah.” (HR. Muslim No. 4816).
- Mujahadatul Linafsihi
(berjuang melawan hawa nafsu)
Hal ini penting bagi seorang muslim karena setiap manusia memiliki
kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada
yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan.
Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu.
Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada
ajaran Islam. Rasulullah bersabda yang artinya: "Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-NYA, tidak
beriman seseorang dari kamu sekalian sehingga menjadikan hawa nafsunya
mengikuti apa yang aku bawa dengannya (yakni Islam ini)." (HR. Al-Hakim dari
sahabat 'Amru bin 'Ash radhiyallahu 'anhu, dengan sanad yang hasan
shahih menurut Imam An-Nawawi di dalam Hadits Arba’in No. 41)
Hal ini senada dengan
firman ALLAH, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila ALLAH dan Rasul-NYA
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai ALLAH dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab
[33] : 36)
Dan firman-NYA, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya." (QS An-Nisaa’ [4] : 65)
Juga pada ayat lain disebutkan, "Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama
itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui." (QS. Al-Jaatsiyah [45]: 18) Hal ini mengisyaratkan
diwajibkannya untuk memerangi hawa nafsu demi mengikuti apa yang telah disyari'atkan
oleh agama.
- Harishun Ala Waqtihi (disiplin menggunakan waktu)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini
karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari ALLAH dan Rasul-NYA. ALLAH
Subhanahu wa Ta 'ala
banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri (demi waktu fajar), wad dhuha (demi waktu matahari naik sepenggalahan
/ dhuha), wal asri (demi masa), wallaili
(demi malam) dan seterusnya. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan
tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut
untuk disiplin mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan
penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung
oleh Nabi Shalallahu 'alahi wasallam
adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara.
Dari
Ibnu ‘Abbas, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima
perkara; Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang
waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum
datang masa sibukmu, masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al
Hakim dalam Al Mustadraknya,
dikatakan shahih oleh Adz Dzahabiy
dalam At Talkhish berdasarkan syarat
Bukhari-Muslim. Hadits ini juga dikatakan shahih
oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash
Shagir).
- Munazhzhamun fi Syuunihi
(teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk
kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Dimana
segala suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang
dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh,
bersemangat, berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan
hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas. ALLAH
Subhanahu wa Ta 'ala berfirman, "Maka
apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain." (QS. Al-Insyirah [94]: 7)
- Qodirun 'Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha
sendiri / mandiri)
Qodirun 'alal kasbi merupakan ciri
lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat
diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa
dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi
ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena
tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah harus
miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa
menunaikan ibadah haji dan umrah, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan
yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al
Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi. Dalam
kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki
keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat
rizki dari ALLAH Subhanahu wa Ta
'ala. Rezeki yang telah ALLAH sediakan harus diambil dan untuk
mengambilnya diperlukan skill atau
keterampilan.
Dalam
meraih itu semua, ALLAH mewajibkan kita untuk selalu berusaha dan tidak
menggantungkan diri pada takdir serta diharapkan untuk mampu mandiri tanpa pula
harus bergantung kepada orang lain. Hal ini tersirat dalam salah satu
firman-NYA yang amat terkenal yakni, "Sesungguhnya ALLAH tidak merubah
keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri." (QS. Ar Ra'd [13]: 11).
- Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
Manfaat yang dimaksud di sini adalah manfaat yang baik sehingga di manapun dia
berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan
seorang muslim tidak memiliki pengaruh apapun terhadapa keadaan di lingkungan
sekitarnya. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu mempersiapkan dirinya
dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik
dalam masyarakatnya. Ada sebuah ungkapan yang oleh sebagian Muslim dianggap
sebagai sebuah sabda Nabi yakni, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi orang lain”. (HR. Qudhy dari Jabir radhiyallahu 'anhu). Namun tak ada
penjelasan yang jelas mengenai derajat sanad
hadits ini sehingga tidak bisa langsung dikatakan bahwa itu berasal dari
Rasulullah. Namun yang harus kita perhatikan dari ungkapan tersebut adalah matan atau kandungannya yang baik (hasan).
Dari 'Abdullah
bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma mengabarkan bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, "Seorang
muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya dan tidak
membiarkannya untuk disakiti. Siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka ALLAH
akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka ALLAH menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan
hari qiyamat. Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka ALLAH akan menutup aibnya pada hari qiyamat."
(HR. Bukhari No. 2262, dan hadits senada telah di-takhrij juga oleh Imam Muslim No. 2699 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu yang tertera dalam urutan hadits ke-36 dalam kitab
Arba'in An Nawawiyah dengan tambahan lafadz, "ALLAH senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka
menolong saudaranya. .......").
Untuk
meraih kriteria Pribadi Muslim di atas membutuhkan mujahadah dan mulazamah
atau kesungguhan dan kesinambungan. ALLAH Subhanahu wa Ta'ala berjanji akan memudahkan hamba-NYA yang
bersungguh-sungguh meraih keridhaan-NYA. “Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya ALLAH benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut [29]: 69). ALLAHu Ta'ala 'alam bis shawwab...