Saat itu, Imam Ahmad dibawa ke hadapan khalifah Mu'tashim dan
sang khalifah meminta para kaum Mu'tazilah itu untuk melakukan munazarah
terhadap Imam Ahmad.
Khalifah Mu'tashim memerintahkan kepada salah seorang di
antara pembesar mu'tazilah itu, "Bicaralah ya Abdurrahman, lawan ia
munazarah!"
Maka Abdurrahman pun terpaksa mematuhinya dan segera bertanya
kepada Imam Ahmad, "Bagaimana pendapat anda mengenai al Qur'an?"
Imam Ahmad bin Hambal diam saja tak menjawab. Mu'tashim pun
menyela, "Jawablah ya Ahmad bin hambal!"
Lalu Imam Ahmad balik bertanya, "Dan bagaimana pendapat
anda tentang ilmu ALLAH?"
Abdurrahman tidak menjawab lalu Imam Ahmad menyambung,
"Qur'an adalah sebahagian dari ilmu ALLAH. Maka siapa yang mengatakan
Qur'an itu makhluk, berarti ia pun mengatakan bahwa ilmu ALLAH pun makhluk.
Jelas yang berpendirian begitu adalah kufur..."
Abdurrahman tak menjawab juga, tapi seorang Mu'tazilah tampil
menjawab, "Ya Amirul Mukminin dengarlah, ia telah mengkufurkan kita dan
tuanku sendiri. Demikianlah kemarin juga ia telah mengkafirkan utusan tuanku,
ketika utusan itu mengatakan bahwa ilmu ALLAH adalah makhluk..."
Mu'tashim tidak mengutik hasutan itu, hingga membuat kaum
Mu'tazilah sedikit sanksi. Tapi Abdurrahman muncul, "ALLAH sudah ada pada
zaman azali, dan di kala itu Qur'an belum ada!"
Ibnu Hambal -rahimahullah- menjawab, "Sudah kukatakan,
Qur'an itu adalah sebagian dari ilmu ALLAH. Maka kalau ada yang mengatakan
kalau ALLAH sudah ada, tapi tak ada ilmu besertanya, maka ia mengatakan bahwa
ALLAH tak berilmu!"
Ibnu Abi Du'ad masuk dan berkata, "Inilah sesat yang
menyesatkan itu yaa Amirul Mukminin. Di sini ada para qadhi dan para fuqaha
tuanku, cobalah tanyakan kepada mereka!"
Mu'tashim bertanya, "Apa pendapat anda sekalian
padanya?"
Serentak para qadhi dan fuqaha menjawab, "Ia sesat lagi
menyesatkan dan berbuat bid'ah!"
Sebab itu kahlifah membujuk supaya Imam Ahmad mau menuruti
pendirian mereka, ujarnya, "Iyakanlah aku ya Ahmad dalam pendirian ini.
Anda akan kujadikan orang istimewaku yang dapat sembarang waktu menginjak tikar
permadaniku..."
"Ya Amirul Mukminin," jawab Ibnu Hambal,
"Apabila mereka dapat memberiku keterangan dari Qur'an dan Sunnah, pasti
aku akan mengiyakannya..."
Ahmad bin Abi Du'ad menyambut, "Yang anda katakan hanya
kitab dan sunnah saja?!"
"Apa lagi?" sahut Imam Ahmad. "Apakah Islam
bisa tegak tanpa keduanya?"
Seorang Mu;tazilah lain membantu, "Bukankah ALLAH
berfirman, KHALIQU KULLI SYAI'IN. IA yang menjadikan segala sesuatu. Sedang
Qur'an termasuk dalam segala sesuatu, sebab itu, ia tak lain dari makhluk."
"Ayat ini," sahut Ibnu Hambal, "adalah umum
bentuknya, tapi tujuannya tertentu, sama seperti angin yang telah membinasakan
kaum Hud, yang dalam Qur'an digambarkan dengan kata, TUDAMMIRU KULLA SYAY'IN
-angin itu membinasakan segala sesuatu- Apakah benar angin tersebut telah membinasakan
segalanya, bukan hanya sesuatu yang dikehendaki oleh ALLAH -Subhanu wa Ta'ala-
saja?"
Mu'tazilah tadi tak menjawab. Tapi seorang lagi maju
mendebat, "ALLAH telah berfirman, 'MAA YA'TIEHIM MIN DZIKRIN MIN RABBIHIM
MUKHDATSIN ILLAS TAMA'UUHU WA HUM YAL 'ABUUN - tiadalah peringatan yang datang
dari TUHAN mereka', sesuatu yang diada-adakan, kecuali mereka mendengarkannya
dengan main-main. Maka bukankah kalau ia diadakan, tandanya ia makhluk?"
Ibnu Hambal menjelaskan, "Kata-kata ADDZIKR -yang arti
dan tujuannya adalah Qur'an, adalah seperti firman ALLAH, 'WAL QUR'ANU
DZIDDIKRI' - dan Qur'an itu mempunyai peringatan - Pada ayat ini di mana AD
DZIKR itu adalah Qur'an, ditandai dengan alif lam. Tapi pada ayat pertama tanda
alif lam, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata DZIKRIN di sana bukan
Qur'an, melainkan peringatan dari selain Qur'an.
Seorang Mu'tazilah lagi tampil mengajukan keterangan, "Imran
bin Hushein meriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- mengenai
firman ALLAH, 'INNALLAHA KHALAQAD DZIKRA -sesungguhnya ALLAH telah menjadikan
AD DZIKR (Al Qur'an). Ini pun adalah satu ketetapan dari Nabi bahwa Qur'an itu
makhluk.
Imam Ahmad menjawab, "Anda telah keliru, sebab hadits
yang kita riwayatkan dari Imran bin Hushein itu, bunyinya bukan demikian, tapi
berbunyi, 'INNALLAHA KATABADZ DZIKRA' - sesungguhnya ALLAH telah menuliskan ADZ
DZIKR (Qur'an)."
Masuk lagi seorang Mu'tazilah, "Bukankah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkata, 'Mendekatkan dirilah engkau kepada ALLAH
dengan apa yang engkau sanggupi, sebab tak satupun yang paling disukai ALLAH untuk
menekatkan diri kepada-NYA, melainkan dari kalam -perkataan-NYA sendiri."
"Memang benar ia diriwayatkan dari Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa sallam," Imam Ahmad mengaku.
Maka Mu'tazilah tadi melanjutkan, "Dalam hadits itu ada
dalil yang menyatakan Qur'an itu memang makhluk!"
Imam Ahmad bin Hambal menjawab, "Tapi aku tidak melihat
dalilnya dalam hadits itu!"
Dijelaskan kembali oleh Mu'tazilah itu, "Apabila anda
membaca Qur'an hendak taqarrub, bukankah anda membaca kalimat-kalimat yang
tersusun dari huruf-huruf dan suara-suara? Dan bukankah huruf-huruf dan suara
yang tersusun itu tidak lain dari perkataan makhluk? Adakah lagi tempat anda
lari, sesudah kita diperintah Nabi -shallallahu'alaihi wa sallam- untuk
bertaqarrub kepada ALLAH dengan kata-kata yang berkedudukan makhluk itu, untuk
tidak menyerah dan mengakui jika Al Qur'an itu memang makhluk?"
Imam Ahmad memberikan jawaban, "Qur'an adalah kalamullah
yang qadhim -terdahulu- sejak bermula dan jelas ia bukan makhluk. Adapaun
perbuatan kita ketika menuliskan dan melafalkannya memang makhluk dan
Rasulullah sendiri berkata, 'Hiasilah Qur'an itu dengan suaramu!' Jadi Qur'an
bukanlah suara kita yang berkedudukan makhluk, di mana dengan suara itu kita
hiasi ia. Kalam adalah kalamullah, sedang suara adalah suara qari'
-pembacanya."
Lagi seorang Mu'tazilah menyertai, "Ibnu Mas'ud
meriwayatkan dari Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- 'MAA KHALAQAL LAHU MIN
JANNATIN WA LAA NAARIN WA LAA ARDHIN A'ZHAMU MIN AYAATIL KURSIY' -tidak ada
yang dijadikan ALLAH, baik berupa surga, neraka, langit, dan bumi, yang lebih
besar dari ayat kursi. Ini jelas bahwa ayat kursi adalah makhluk dan ayat kursi
itu adalah dari Qur'an!"
Ahmad bin hambal menjawab, "Adakah anda berpendapat dari
hadits itu, yang menyatakan bahwa perbuatan (menciptakan/khalaq) itu terjatuh pada
ayat kursi? Yang jelas dalam hadits itu bahwa perbuatan menjadikan terjatuh
pada surga, neraka, langit, dan bumi. Bukan atas Qur'an!"
Ahmad bin Du'ad menimpali lagi, "Kegigihan anda
menyatakan Qur'an itu kalam ALLAH, bukan makhluk, berarti bahwa anda telah
memandang ALLAH punya anggota bicara seperti makhluk, sedang menyerupakan ALLAH
dengan makhluk adalah kafir adanya!"
Imam Ahmad bin Hambal menjawab, "IA Maha Esa, tempat
kembali segalanya, tiada beranak dan tiada diperanakkan, tak ada yang
menyamai-NYA dan tak ada yang serupa dengan DIA. IA adalah sebagaimana yang
disifati-NYA sendiri. Diceritakan kepadaku oleh Abdur Razaq, dari Mu'ammar,
dari Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Nabi -'alaihi shalatu wa sallam-
bersabda, 'Sesungguhnya mengajak ALLAH berbicara dengan Musa -'alaihissalam- dengan
seribu tambah dua puluh ribu tambah tiga ratus ribu tambah tiga belas ribu
kalimat, maka kalam dari ALLAH dan istima' -mendengar- dari Musa. Sebab itu
berkatalah Musa, 'Ya TUHANku ENGKAUkah yang mengajakku bicara atau yang
selainMU?' Jawab ALLAH, 'Ya Musa AKUlah yang berbicara denganmu, tidak ada
sesuatu antaraKU denganmu...' Inilah yang diartikan oleh Rasul dari TUHANnya. Dan
aku hanya mengatakan apa yang dikatakan Rasul Shallalllahu'alaihi wa sallam."
Salah seorang Mu'tazilah menyambut, "Anda telah
membohongi Rasulullah!"
Imam Ahmad bin Hambal menanggapi, "Kalau ini suatu
kebohonganku, maka ALLAH sendiri telah berfirman, WA KALLAMALLAHU MUUSA TAK
LIIMAN... -Dan telah berbicara ALLAH kepada Musa secara langsung. Dan IA pun
berfirman, WA LAAK IN HAQQAL QAULU MINNY LA-AMLAANNA JAHANNAMA MINAL JINNATI
WANNAASI AJMA'IIN... -Tetapi telah tetap perkataan-KU, sungguh AKU akan
penuhi neraka jahannam itu
sebagian dari Jin dan manusia
sekalian!' Maka perkataan adalah dari ALLAH Subhanahu wa Ta'ala, dan
perkataan itu bukan makhluk.
Demikian mereka, kaum Mu;tazilah itu menanyai Al Imam dan
beliau -rahimahullah- menjawabnya dengan suara meninggi, hingga tiba waktu
dzuhur, tanpa mereka dapat mematahkan atau menjatuhkan hujjahnya.
(Dikutip -dengan sedikit perubahan gaya bahasa- dari buku
"Duka Derita Imam Ahmad bin Hanbal" halaman 64-71, yang ditulis oleh
M. Sabri Munier yang beliau kumpulkan dan sarikan dari Majalah Al Muslimun,
Mesir. Penerbit "Bulan Bintang" Jakarta, tahun 1976)
Muhammad Valdy Nur Fattah