Minggu, 29 Januari 2012

PENDAPAT 4 IMAM MADZHAB TENTANG SIKAP TAQLID



(beserta ulama-ulama Ahlus Sunnah lainnya)

Sebagian dari umat ini ada yang suka ber-taqlid buta dengan para Imam yang dianutnya, bahkan ada yang mengatakan ke-empat Imam tersebut adalah mujtahid mutlaq yang mengindikasikan bahwa apa yang di-ijtihadkan oleh semua Imam tersebut – walau menyalahi sunnah dari hadits-hadits Nabi yang shahih – tetap mutlak benar dan harus diikuti. Mereka memperlakukan semua pendapat Imam- Imam tersebut seolah-olah merupakan sebuah wahyu yang turun dari langit. ALLAH berfirman;

“Ikutilah oleh kalian apa yang telah diturunkan kepada kalian dari TUHAN kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain DIA. Sungguh sedikit sekali kamu ingat kepada-NYA.” (QS. Al-A’raf [7]: 3)

Berikut adalah pernyataan-pernyataan dari para Imam 4 Madzhab yang dinukil oleh para murid-muridnya;

  1. Abu Hanifah rahimahullah
Imam madzhab yang pertama adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Para muridnya telah meriwayatkan berbagai macam perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yakni kewajiban berpegang pada hadits Nabi dan meninggalkan sikap membeo pendapat-pendapat para Imam bila bertentangan dengan hadits Nabi. Ucapan beliau;
*      “Jika suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.” [1]

*      “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Orang yang tidak mengetahui dalilku, haram baginya menggunakan pendapatku untuk memberi fatwa.” [2]

*      “Kami hanyalah seorang manusia. Hari ini kami berpendapat demikian tetapi besok kami mencabutnya.” Dalam riwayat lain menyebutkan, “Wahai Ya’qub (Abu Yusuf), celakalah kamu! Janganlah kamu tulis semua yang kamu dengar dariku. Hari ini saya berpendapat demikian, tapi hari esok saya meninggalkannya. Besok saya berpendapat demikian, tapi hari berikutnya saya meninggalkannya.” [3]

*      “Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu.” [4]

  1. Malik bin Anas rahimahullah
Imam Malik menyatakan;

*      “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan bila tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah!” [5]

*      “Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam sendiri.” [6}

*      Ibnu Wahhab berkata, “Saya pernah mendengar Imam Malik menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki dalam wudhu, jawabnya, ‘Hal itu bukan urusan manusia.’” Ibnu Wahhab berkata, “Lalu saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit, kemudian saya berkata kepadanya, ‘Kita mempunyai hadits mengenai hal tersebut.’ Dia (Imam Malik) bertanya, ‘Bagaimana hadits itu?’ Saya menjawab, ‘Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, ‘Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dari Yazid bin ‘Amr Al Mu’afiri, dari Abi Abdurrahman Al Habali, dari Mustaurid bin Syaddad Al Qurasyiyyi, ujarnya; Saya melihat Rasulullah menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya.’ Imam Malik menyahut, ‘Hadits ini hasan, saya tidak (pernah) mendengar ini sama sekali kecuali kali ini.’ Kemudian di lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh orang itu untuk menyela-nyela jari-jari kakinya.” [7]

  1. Imam Syafi’I rahimahullah
Riwayat-riwayat yang dinukil dari Imam Syafi’i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus [8] dan para pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih beruntung. Beliau berpesan antara lain;

*      “Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku.” [9]

*      “Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang.” [10}

*      “Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah, peganglah hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku.” [11]

*      “Bila suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.” [12]

*      “Kalian lebih tahu tentang hadits dan para perawinya daripada aku. Apabila suatu hadits itu shahih, beri tahukanlah kepadaku biar di manapun orangnya, apakah di Kuffah Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya.” [13]

*      “Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah Shalallhu ‘alahi wa sallam menurut kalangan ahli hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.” [14]

*      “Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna.” [15]

*      “Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi, hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku.” [16]

*      “Setiap hadits yang datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku.” [17]

*      “Telah sepakat (ulama) kaum Muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut hanya karena ada perkataan orang lain.” [18]

  1. Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Ahmad bin Hanbal merupakan seorang Imam yang paling banyak menghimpun hadits dan berpegang teguh padanya, sehingga beliau benci menjamah kitab-kitab yang memuat masalah furu’ dan ra’yu. Beliau menyatakan sebagai berikut;

*      “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i, dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.” [19] Dalam riwayat lain disebutkan, “Janganlah kamu taqlid kepada siapa pun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menerima atau menolak pendapatnya).”  Kali lain dia berkata, “Yang dinamakan ittiba’ yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi’in boleh dipilih.” [20]

*      “Pendapat Auza’i, Malik, dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya semua ra’yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada atsar (hadits).” [21]

*      “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah, dia berada di jurang kehancuran.” [22]

Demikianlah pernyataan para imam dalam menyuruh orang untuk berpegang teguh pada hadits dan melarang mengikuti mereka tanpa sikap kritis. Mereka mewajibkan berpegang teguh pada semua hadits yang shahih sekalipun bertentangan dengan sebagian pendapat mereka tersebut dan sikap semacam itu tidak dikatakan menyalahi madzhab mereka dan keluar dari metode mereka, bahkan sikap itulah yang disebut mengikuti mereka dan berpegang pada tali yang kuat yang tiada akan putus.

ALLAH berfirman,

“Demi TUHANmu, mereka tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka, kemudian mereka tidak berkeberatan terhadap keputusanmu dan menerimanya dengan sepenuh ketulusan hati.” (QS. An Nisa [4]: 65)

  1. Pernyataan para ulama salafus shalih dan yang mengikuti mereka dengan baik:
Sahabat Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hampir-hampir batu-batu berjatuhan dari langit menimpa kalian, aku katakan ‘bersabda Rasulullah’, kalian justru mengatakan ‘berkata Abu Bakar dan Umar’.”

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Tidaklah diterima pendapat seseorang jika telah ada suatu sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.” [23]

Imam Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Kewajiban orang yang telah menerima dan mengetahui perintah Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa sallam adalah menyampaikan kepada ummat, menasihati mereka, dan menyuruh mereka untuk mengikutinya sekalipun bertentangan dengan pendapat mayoritas ummat. Perintah Rasulullah lebih berhak untuk dimuliakan dan diikuti dibandingkan dengan pendapat tokoh manapun yang menyalahi perintahnya yang terkadang pendapat mereka itu salah. Oleh karena itulah para sahabat dan para tabi’in selalu menolak pendapat yang menyalahi hadits yang shahih dengan penolakan yang keras yang mereka lakukan bukan karena benci, tetapi karena rasa hormat. Akan tetapi, rasa hormat mereka kepada Rasulullah jauh lebih tinggi daripada yang lain dan kedudukan Nabi jauh di atas makhluk lainnya. Bila perintah Rasulullah ternyata berlawanan dengan perintah yang lain, perintah beliau lebih utama didahulukan dan diikuti, tanpa sikap merendahkan orang yang berbeda dengan perintah beliau, sekalipun orang itu mendapatkan ampunan dari ALLAH. Bahkan orang yang mendapat ampunan dari ALLAH, yang pendapatnya menyalahi perintah Rasulullah tidak merasa benci bila seseorang meninggalkan pendapatnya, ketika ia mendapati bahwa ketentuan Rasulullah berlawanan dengan pendapatnya.” [24]

Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan, “Mengatasnamakan para Imam Mujtahid tentang berbagai masalah yang bertentangan dengan hadits shahih adalah haram.” [25]

Imam Asy Syahid Hasan Al Banna juga berkata, “Setiap orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya, kecuali Al-Ma'shum (Rasulullah) Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap yang datang dari kalangan salaf dan sesuai dengan Kitab dan sunnah, kita terima. Jika tidak sesuai dengannya, maka Kitabullah dan Sunnah Rasul-NYA lebih utama untuk diikuti. Namun demikian, kita tidak boleh melontarkan kepada orang-orang (oleh sebab sesuatu yang diperselisihkan dengannya), kata-kata caci maki dan celaan. Kita serahkan saja kepada niat mereka, dan mereka telah berlalu dengan amal-amalnya.” [26]

Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat para ulama dari kalangan salaf maupun khalaf yang senada dengan pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas. Semoga apa yang tertuang di sini bisa menjadi bahan konsiderasi atau pertimbangan bagi kita semua dalam mengambil sebuah pendapat dan memutuskan bahwa pandapat mereka adalah yang paling benar sebelum jelas bagi mereka pernyataan Al Ma’shum Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam yang shahih tentang masalah yang dipertentangkannya tersebut. Semoga kita senantiasa mendapatkan taufiq, rahmat, serta maghfirah-NYA. ALLAHumma Amin WALLAHu ‘alam bis shawab…

[1] Ibnu Abidin dalam kitab Al Hasyiyah (I/63), dan Kitab Rasmul Mufti (I/4). Syaikh Shalih Al Filani dalam kitab Iqazhu Al Humam hlm. 62 dan lain-lain. Ibnu Abidin menukil dari Syarah Al Hidayah, karya Ibnu Syahnah Al Kabir, seorang guru Ibnul Humam, yang berbunyi:

“Bila suatu hadits shahih sedangkan isinya bertentangan dengan madzhab kita, maka yang diamalkan adalah hadits.” Hal ini merupakan madzhab beliau dan tidak boleh seseorang muqallid menyalahi hadits shahih dengan alasan dia sebagai pengikut Hanafi, Sebab secara sah disebutkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau berpesan, “Jika suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.” Begitu juga Imam Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari Abu Hanifah dan para Imam lain pesan semacam itu.

[2] Ibnu Abdul Barr dalam kitab Al Intiqa’ fiy Fadha’il Ats Tsalatsah Al Aimmah Al Fuqaha hlm. 145, Ibnul Qayyim dalam kitab I’laamul Muwaqqi’in (II/309), Ibnu Abidin dalam kitab Hasyiyah Al Bahri Ar Ra’iq (VI/293) dan Rasmu Al Mufti hlm. 29 & 32, Sya’rani dalam kitab Al Mizan (I/55) dengan riwayat yang kedua.

[3] Dinukil oleh Abbas Ad Darawi dalam At Tarikh, karya Ibnu Ma’in (VI/77/1) dengan sanad shahih dari Zufar.

[4] Al Filani dalam kitab Al Iqazh hlm. 50, menisbatkannya kepada Imam Muhammad juga.

[5] Ibnu Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam kitabnya Ushul Al Ahkam (VI/149), begitu pula Al Fulani hlm. 72.

[6] Dinyatakan shahih dari Imam Malik oleh Ibnu Abdul Hadi dalam kitabnya Irsyad As Salik (I/227), Ibnu Abdul Barr dalam kitab Al Jami’ (II/291), Ibnu Hazm dalam kitab Ushul Al Ahkam (VI/145, 179), dari ucapan Hakam bin Utaibah dan Mujahid.

[7] Muqaddimah kitab Al Jarh wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hlm. 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam Sunan-nya (I/81).

[8] Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya (VI/118)

“Para ahli fiqh yang ditaqlidi telah menganggap batal taqlid itu sendiri. Mereka melarang para pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam Syafi’i. Beliau dengan keras menegaskan agar orang mengikuti hadits-hadits yang shahih dan berpegang pada ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah selama tidak ada orang lain yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau sepenuhnya berlepas  diri dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan dengan terang-terangan mengumumkan hal ini. Semoga ALLAH memberi manfaat kepada beliau dan memperbanyak pahalanya. Sungguh pernyataan beliau menjadi sebab mendapatkan kebaikan yang banyak.”

[9] Diriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi’i, seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu ‘Asakir (XV/1/3), I’laam Al Muwaqqi’in (II/363-364), Al Iqazh hlm. 100.

[10] Ibnul Qayyim dalam kitab I’laamul Muwaqqi’in (II/361), dan Al Filani hlm. 68.

[11] Harawi dalam kitab Dzamm Al Kalam (III/47/1), Al Khathib dalam Ihtijaj bi Asy Syafi’i (VIII/2), Ibnu ‘Asakir (XV/9/1), Nawawi dalam Al Majmu’ ((I/63), Ibnul Qayyim (II/361), Al Filani hlm. 100 dan riwayat lain oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (IX/107) dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (III/284, Al Ihsan) dengan sanad yang shahih dari beliau, riwayat yang semakna.

[12] Nawawi dalam Al Majmu’, Sya’rani (I/57) dan ia nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani hlm. 107.

[13] Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafi’i hlm.94-95, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (IX/106), Al Khatib dalam Al Ihtijaj (VIII/1), diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asakir dari beliau (XV/9/1), Ibnu Abdil Barr dalam Intiqa’ hlm. 75, Ibnu Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hlm. 499, Al Harawi (II/47/2) dengan tiga sanad dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya, bahwa Imam Syafi’i pernah berkata kepadanya demikian. Hal ini shahih dari beliau.

[14] Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (IX/107), Al Harawi (47/1), Ibnul Qayyim dalam Al I’laam Al Muwaqqi’in (II/363) dan Al Filani hlm. 104.

[15] Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy Syafi’i hlm. 93, Abul Qasim Samarqandi dalam Al Amali seperti pada Al Muntaqa, karya Abu Hafs Al Muaddib (I/234), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (IX/106), dan Ibnu ‘Asakir (15/10/1) dengan sanad shahih.

[16] Ibnu Abi Hatim hlm. 93, Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Asakir (15/9/2) dengan sanad shahih.

[17] Ibnu Abi Hatim hlm. 93-94.

[18] Habaqaatul Hanaabilah (II/15), dan Al Ibaanah (I/260)

[19] Al Filani hlm. 113 dan Ibnul Qayyim dalam Al I’lam (II/302)

120] Abu Dawud dalam Masa’il Imam Ahmad hlm. 276-277.

[21] Ibnu Abdil Barr dalam Al Jami’ (II/149)

[22] Ibnul Jauzi hlm. 142, dan di-takhrij pula oleh Imam Al Bukhari, no.1129.

[23] Ibnul Qayyim dalam kitab I’laamul Muwaqqi’in (2/282)

[24] Beliau nukil dalam kitab Ta’liq ‘ala Iqazhul Humam hlm. 93.

[25] Al Filani hlm 99.

[26] Majmu’atur Rasa’il Hasan Al Banna, bab Risalah Ta’lim point ke-6.

Rabu, 30 November 2011

KEUTAMAAN BAITUL MAQDIS DAN AL AQSHA




Bagi umat Islam, Baitul Maqdis dan al Aqsha tidak hanya menjadi bukti sejarah terhadap dakwah dan perjuangan para Nabi dan generasi pelanjutnya. Lebih dari itu, al Quds dan al Aqsha menjadi simbol harga diri dan kemuliaan umat, karena al Quds dan al Aqsha memiliki kedudukan istimewa dan beberapa keutamaan yang ALLAH berikan baginya;

Kiblat Pertama Umat Islam

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Raja' berkata, telah menceritakan kepada kami Israil dari Abu Ishaq dari Al Bara' bin 'Aziz radhiyallahu 'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat menghadap baitul maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menginginkan kiblat tersebut dialihkan ke arah Ka'bah. Maka Allah menurunkan ayat (Al Baqarah [2]: 144): "Sungguh KAMI (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh KAMI akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari TUHANnya dan ALLAH sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan." (HR. Bukhari No. 384, dan diriwayatkan pula dengan matan yang serupa oleh Imam Bukhari pada No. 4130 & No. 4132)

Al Aqsha


Bumi Isra' dan Mi'raj

"Maha Suci ALLAH, yang telah memperjalankan hamba-NYA pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah KAMI berkahi sekelilingnya agar KAMI perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) KAMI. Sesungguhnya DIA adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al Israa' [17]: 1)

Tempat yang Dianjurkannya Melakukan Safar Terhadapnya

Dan telah menceritakan kepada kami Harun bin Sa'id Al Aili telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah menceritakan kepadaku Abdul Hamid bin Ja'far bahwa Imran bin Abu Anas telah menceritakan kepadanya bahwa Salman Al Agharr telah menceritakan kepadanya, bahwa ia mendengar Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tempat yang layak dijadikan tujuan safar hanyalah tiga masjid. Yaitu; masjid Ka'bah (masjidil Haram), masjidku (masjid Nabawi) dan masjid Iliya (masjidil Aqsha)." (HR. Muslim No. 2476)

Masjid Tertua Kedua di Muka Bumi

Telah bercerita kepadaku Umar bin Hafsh telah bercerita kepada kami bapakku telah bercerita kepada kami Al A'masy telah bercerita kepada kami Ibrahim at-Taymiy dari bapaknya dari Abu Dzarr radhiyallahu 'anhu berkata; Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "masjid apakah yang pertama di bangun di muka bumi ini?" Beliau menjawab, "al-masjidil Haram." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "al-masjidil Aqsha." Aku bertanya lagi, "Berapa lama selang waktu antara keduanya?" Beliau menjawab, "Empat puluh tahun." Kemudian Beliau bersabda, "di mana saja kamu berada dan waktu shalat sudah datang, maka shalatlah, karena bumi bagimu adalah masjid (boleh sebagai tempat shalat)." (HR. Bukhari No. 3172)

Tempat dilipatgandakan Pahala Ibadah

“Shalat di Masjidil Haram sebanding dengan 100.000 kali shalat, dan shalat di masjidku (masjid Nabawi) sebanding dengan 1.000 kali shalat, dan shalat di Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) sebanding dengan 500 kali shalat.” (HR. at Thabrani dan al Bazzar)

Dome of Rock at Baitul Maqdis


Tempat Umat Islam yang Istiqamah

Telah bercerita kepada kami Al Humaidiy telah bercerita kepada kami Al Walid berkata, telah bercerita kepadaku Ibnu Jabir berkata, telah bercerita kepadaku Umair bin Hani' bahwa dia mendengar Mu'awiyah berkata, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "senantiasa akan ada dari ummatku, (sekelompok) ummat yang tegak di atas urusan agama ALLAH, tidak dapat membahayakan mereka orang yang menghina mereka dan tidak pula orang yang menyelisih mereka hingga datang ketetapan ALLAH atas mereka dan mereka dalam keadaan seperti itu (tetap tegak dalam urusan agama ALLAH)." Umair berkata, "Maka Malik bin Yukhamir berkata, Muadz berkata, Mereka berada di negeri Syam (Baitul Maqdis)." Lalu Mu'awiyah berkata, "Ini Malik, yang mengaku bahwa dia mendengar bahwa Mu'adz menyatakan bahwa sekelompok ummat itu berada di negeri Syam (Baitul Maqdis)." (HR. Bukhari No. 3369)

Setelah mengetahui tentang keutamaan dari Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha yang ada di Palestina - yang kini sedang dalam genggaman penjajahan terorisme zionis Israel - apakah sebagai umat Islam, kita tidak tergerak hatinya untuk membantu dan berjihad demi saudara-saudara kita di Palestina? Ask yourself! ALLAHu Akbar...


Minggu, 20 November 2011

HABIB MUNZIR 'GAK PUNYA DALIL' UNTUK SALAH SATU AMALIAH BID'AHNYA

Habib Munzir Al Musawa


Habib Munzir Al Musawa yang dikenal sebagai salah seorang habaib pendiri Majelis Rasulullah ini pernah ditanya oleh salah seorang jamaahnya mengenai dalil bacaan bilal pada saat sedang istirahat di antara shalat tarawih pada setiap 2 rakaat. Seperti inilah jawaban beliau;

"para ulama salaf menjadikan setiap 4 rakaat agar muadzin/bilal menyerukan nama Rasul saw dan khulafa'urrasyidin, karena di masa itu para khulafa'urrasyidin dicaci maki di mimbar mimbar, dan hingga kini pada madzhab syafii khususnya hal itu dilanjutkan hingga kini, dan hal itu bukan hal yg mungkar namun kebiasaan yg baik, dan setiap dua rakaat diselingi dg dzikir bilal dijawab oleh jamaah, tiada lain mengisi waktu istirahat sebagaimana disunnahkan, daripada hanya diam saja.

tidak teriwayatkan atau sudah tak ada riwayat menyebutkan secara shahih apa yg dibaca Rasul saw saat antara tiap dua rakaat. karena tarawih berjamaah sudah dibubarkan oleh Rasul saw di masa beliau saw, lalu tidak dilakukan di masa Khalifah abubakar shiddiq ra, dan baru dimulai kembali dimasa khalifah Umar ra, diteruskan oleh khalifah utsman ra dan Ali kw dan hingga kini oleh seluruh madzhab"

dikutip dari website resmi Majelis Rasulullah yang bisa saudara baca sendiri dalam link berikut --> http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=26491&catid=8

Mengomentari apa yang dikatakan oleh Habib atas salah satu pertanyaan jamaahnya di atas, maka saya yang ilmu agamanya sedikit saja bisa tahu bahwa hal yang dikerjakan (bacaan bilal) adalah bathil dan merupakan bid'ah yang tidak berdasar sama sekali. Bagaimana bisa kita mengamalkan sesuatu yang tidak teriwayatkan atau sudah tak ada riwayat menyebutkan secara shahih apa yg dibaca Rasul saw saat antara tiap dua rakaat. Semua masalah agama terkait ibadah harus didasarkan pada suatu riwayat, dalil, atau nash-nash shahih dari Qur'an dan Sunnah.

و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي عَامِرٍ قَالَ عَبْدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ رَجُلٍ لَهُ ثَلَاثَةُ مَسَاكِنَ فَأَوْصَى بِثُلُثِ كُلِّ مَسْكَنٍ مِنْهَا قَالَ يُجْمَعُ ذَلِكَ كُلُّهُ فِي مَسْكَنٍ وَاحِدٍ ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan Abd bin Humaid semuanya dari Abu Amir. Abd berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Amru telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ja'far Az Zuhri dari Sa'd bin Ibrahim dia berkata; aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang seseorang yang memilki tiga tempat tinggal, lalu dia mewasiatkan sepertiga dari setiap satu tempat tinggal." Sa'd melanjutkan, "Kemudian dia mengumpulkannya menjadi satu." Al Qasim menjawab, " Aisyah radhiyallahu 'anhuma telah mengabarkan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa mengamalkan suatu perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak." (HR. Muslim No. 3243)

Karena perkara bacaan bilal merupakan sebuah amal ibadah, maka harus ada dalil yang menunjukkan bahwasannya hal tersebut berdasarkan apa yang Rasulullah Shalallahu 'alahi wa sallam lakukan. Jika tak terbukti bahwa beliau melakukannya, maka semua perbuatan itu tertolak dalam agama. Mengapa juga kita harus melakukan hal-hal yang jelas-jelas ditolak dan tak bisa dijadikan dasar?! Bukankah kita disuruh meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat?!


Hadist

Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dia berkata: “Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya".”
(Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi No. 2371, Ibnu Majah No. 3976, Ibnu Hibban No. 229, Ibnu Abid-Dunya dalam kitab ash-Shamtu (no. 108) dari Sahabat Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh: Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ‘ (VIII/273-274, no. 12181), Ahmad (I/201), ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabîr (no. 2886) dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Syawahid hadits ini dari Abu Bakar, Husain bin Ali, dan Zaid bin Tsabit. Yang diriwayatkan oleh para imam ahli hadits. Hadits Abu Hurairah di atas dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam at- Ta’lîqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban, no. 229).

Lalu jika memang beliau dan para jamaahnya mengaku mencintai Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, mengapa beliau berbuat demikian (bid'ah) yang tidak ada sunnahnya sama sekali?! Apalagi beliau juga berkata, "para ulama salaf menjadikan setiap 4 rakaat agar muadzin/bilal menyerukan nama Rasul saw dan khulafa'urrasyidin, karena di masa itu para khulafa'urrasyidin dicaci maki di mimbar mimbar, dan hingga kini pada madzhab syafii khususnya hal itu dilanjutkan hingga kini, dan hal itu bukan hal yg mungkar namun kebiasaan yg baik, dan setiap dua rakaat diselingi dg dzikir bilal dijawab oleh jamaah, tiada lain mengisi waktu istirahat sebagaimana disunnahkan, daripada hanya diam saja." Coba bandingkan dengan pernyataan bahwa dalil atau riwayat yang menyatakannya sudah tidak ada, artinya kemungkinan besar adalah;

1. Riwayat tersebut memang tidak pernah ada. Maka para salafus shalih malah justru tidak akan pernah mengerjakan amal ibadah yang tak ada keterangan atau riwayatnya dalam Qur'an dan Sunnah. Wajar saja bila al Habib berkata sudah hilang dan sebagainya, karena mungkin riwayat yang sebenarnya tak pernah ada!
 
2. Lalu jika tak ada riwayatnya atau sudah tidak pernah ditemukan kembali (hilang), lantas bacaan-bacaan bilal tersebut berasal dari mana? Apakah tidak sesat membuat perkara-perkara baru dalam agama (bid'ah)? Na'udzubillah...

3. Jika pun memang dulu pernah ada riwayatnya, maka para salaf akan lebih dahulu melakukannya bukan para khalaf (umat zaman sekarang). Tak ada bukti para salaf melakukannya, ini sebuah dusta atas nama mereka. Innalillahi wa inna ilahi raji'un...

4. Beliau juga mengatakan bahwa, "karena tarawih berjamaah sudah dibubarkan oleh Rasul saw di masa beliau saw" Hal tersebut walaupun sudah tak lagi dikerjakan lagi oleh Rasulullah, seharusnya masih memiliki dalil yang tetap akan ada yang meriwayatkannya, sekalipun sudah di-mansukh-kan (dihapuskan) hukumnya. Tidak bisa jadi alasan sesuatu yang sudah tidak pernah dikerjakan lagi oleh Nabiullah Muhammad ibn Abdullah Shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, lalu riwayat yang menceritakannya pun pudar atau hilang (sengaja dihilangkan). Contohnya saja dalil tentang Rasulullah yang sudah tidak lagi mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah di akhir-akhir masa hidup beliau. Kendatipun tarawih sudah 'dibubarkan olah Rasul' - sebagaimana kata Habib Munzir - tetap saja ada riwayat shahih yang menceritakan tentang awal mulanya shalat tarawih atau yang juga biasa disebut sebagai qiyamu Ramadhan ini. Riwayat ini tidak turut hilang walau pun shalatnya sendiri "tidak dilakukan di masa Khalifah abubakar shiddiq ra, dan baru dimulai kembali di masa khalifah Umar ra, diteruskan oleh khalifah utsman ra dan Ali kw dan hingga kini oleh seluruh madzhab."

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepada saya 'Urwah bahwa A'isyah radhiallahu 'anha mengabarkannya bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam (di bulan Ramadhan) keluar kamar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid. Maka orang-orang kemudian ikut shalat mengikuti shalat beliau. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut sehingga pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan mereka ikut shalat bersama beliau. kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama'ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak kemudian beliau membaca syahadat lalu bersabda, "Amma ba'du, Sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut nanti menjadi diwajibkan atas kalian sehingga kalian menjadi keberatan karenanya." kemudian setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia, tradisi shalat (tarawih) secara berjamaah terus berlangsung seperti itu. (HR. Bukhari No. 1873)

Beliau mengatakan, "setiap dua rakaat diselingi dg dzikir bilal dijawab oleh jamaah, tiada lain mengisi waktu istirahat sebagaimana disunnahkan, daripada hanya diam saja." Hanya dengan dalil daripada diam saja inilah beliau mengatakan sebagaimana disunnahkan. Jika memang disunnahkan atau berasal dari sunnah, maka tentu harus disertai dengan riwayat yang menjelaskannya.

Dapat disimpulkan bahwasannya beliau (Habib Munzir) tidak mampu menemukan alasan atau dalil yang shahih berkaitan dengan bacaan bilal tersebut. Maka hal tersebut dengan jelas mengisyaratkan bahwa bacaan-bacaan bilal yang dibaca di antara dua rakaat istirahat pada saat tarawih tak memiliki landasan syar'i dan bersifat bid'i (bid'ah). Sehingga tidak patut bagi seorang Muslim mengamalkan perbuatan tersebut, karena percuma saja - akan ditolak!

ALLAHu'alam bis shawab....
 
Abdullah ibnu Abi Abdillah

Senin, 14 November 2011

KEPRIBADIAN SEORANG MUSLIM


Imam Hasan Al Banna


Imam Asy Syahid Hasan Al Banna (Mursyid Amr pertama gerakan Islam, Ikhwanul Muslimin) telah merumuskan beberapa karakter yang sepatutnya dimiliki oleh seorang muslim yang disusun berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah. Ada beberapa karakteristik yang harus dipenuhi seseorang sehingga ia dapat disebut berkepribadian muslim, yaitu :
  1. Salimul ‘Aqidah /‘Aqidatus Salima (Aqidah yang lurus /selamat)

Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang lurus, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada ALLAH Subhanahu wa ta'ala, dan tidak akan menyimpang dari jalan serta ketentuan-ketentuan-NYA.
ALLAH berfirman, "Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada ALLAH, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada ALLAH-lah kesudahan segala urusan." (QS. Luqman [31]: 22)

Dengan kelurusan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada ALLAH sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’aam [6]:162).  Dengan hal ini kita sangat tidak dibenarkan beribadah kepada selain-NYA dengan menyekutukan maupun dengan riya' atau rasa ingin dipuji atau memperoleh ridha dari selain ALLAH ketika beribadah. 

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa'id dari Muhammad bin Ibrahim dari Alqamah bin Waqash dari Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena ALLAH dan Rasul-NYA, maka hijrahnya adalah kepada ALLAH dan Rasul-NYA. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan." (HR. Bukhari No. 52, Muslim No. 1907, Abu Dawud No.2201, At Tirmidzi No. 1646, Ibnu Majah 4227, Imam Ahmad 1/25, diriwayatkan pula oleh Daruquthni, Ibnu Hibban dan Al Baihaqi; dengan sanad yang shahih).
Aqidah yang lurus /selamat merupakan dasar ajaran tauhid, maka dalam awal da’wahnya kepada para shahabat di Mekkah, Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam mengutamakan pembinaan aqidah, iman, dan tauhid.

2.      Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)

Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam yang penting. Syarat diterimanya suatu ibadah di sisi ALLAH Subhanahu wa ta'ala adalah dengan ikhlas (sebagaimana telah dijelaskan pada hadits tentang niat sebelumnya) dan muttaba'atir Rasul (ittiba' atau mengikuti Rasulullah) dengan tidak berbuat bid'ah. Bila ibadah yang kita lakukan tidak sesuai dengan petunjuk Rasul, maka ia akan tertolak.

'Aisyah radhiallahu 'anha berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak." (HR. Bukhari No. 2499, 2550, Muslim No. 1718, 3242, 3243, Abu Dawud 4606, Ibnu Majah No. 14)

Dalam haditsnya yang lain, beliau bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Bukhari No. 6705).

Dalam hadits lain yang senada beliau juga bersabda, “Ambillah dariku tuntunan manasik haji kalian.” (HR. Muslim no. 1297)

Maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah ber-ittiba’ kepada sunnah Rasul Shalallahu 'alahi wasallam yang berarti tidak boleh ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi. Artinya dilarang membuat perkara-perkara baru atau bid'ah dalam urusan agama pada hal tata cara beribadah. Karena ALLAH telah mengisyaratkan untuk mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad yakni sunnah beliau agar diikuti. ALLAH Subhanahu wa ta'ala berfirman, "Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai ALLAH, ikutilah aku (Muhammad), niscaya ALLAH mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu!' ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran [3]: 31)
  1. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)

Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada ALLAH Subhanahu wa ta'ala maupun dengan makhluk-makhluk-NYA. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia terlebih lagi di akhirat. Karena akhlak yang mulia begitu penting bagi umat manusia, maka salah satu tugas diutusnya Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, di mana beliau sendiri langsung mencontohkan kepada kita bagaimana keagungan akhlaknya sehingga diabadikan oleh ALLAH Subhanahu wa ta'ala di dalam Al Qur’an sesuai firman-NYA yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung”. (QS. Al-Qalam [68]:4).

Dan dinukilkan dalam sebuah hadits bahwasannya beliau telah bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 273 [Shahiihul Adabil Mufrad no. 207], Ahmad II/381, dan al-Hakim II/613, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 45).

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah juga bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling mulia akhlaknya." (HR. Bukhari No. 5575)
  1. Mutsaqqoful Fikri (wawasan yg luas)

Mutsaqqoful fikri wajib dipunyai oleh pribadi muslim. Karena itu salah satu sifat Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam adalah fathanah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman ALLAH yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ' pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.' Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah ALLAH menerangkan ayat-ayat-NYA kepadamu supaya kamu berfikir”.(QS al-Baqarah [2]: 219)

Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Untuk mencapai wawasan yg luas maka manusia dituntut utk mencari/menuntut ilmu, seperti apa yg disabdakan beliau Shalallahu 'alahi wasallam, “Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim.” (Shahihul Jami’ No. 3913).

ALLAH juga sangat mengutamakan ilmu dan wawasan pada diri seorang Muslim. DIA berfirman, "Katakanlah, 'samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. az-Zumar [39]: 9). Hal ini menunjukkan bahwasannya orang yang berilmu itu tidak sama dengan orang yang itdak berilmu. Sedang ALLAH Subhanahu wa ta'ala juga membedakan derajat seseorang yang memiliki ilmu seperti dalam firman-NYA, "Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu, 'Berlapang-lapanglah dalam majlis', maka lapangkanlah niscaya ALLAH akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, 'Berdirilah kamu', maka berdirilah, niscaya ALLAH akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Mujaadilah {58]: 11)

Rasulullah bersabda, "Keutamaan sesorang ‘alim (berilmu) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya (warisan ilmu) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak." (HR. Tirmidzi). Dari keterangan Nabi Muhammad ini, kita bisa melihat salah satu dari keutamaan orang yang memiliki ilmu daripada yang hanya sekedar ahli ibadah saja. Terdapat banyak keutamaan-keutamaan lain dari ilmu seperti yang beliau juga sabdakan. “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan memahamkan baginya agama (Islam).” (HR. Bukhari No. 2948, Muslim No. 1037). Dan masih banyak lagi keutaman-keutamaan ilmu dalam agama ini yang mungkin akan membutuhkan banyak space dalam wacana di sini sehingga tidak bisa saya sebutkan semua.
  1. Qawiyyul Jismi (jasmani yg kuat)

Seorang muslim haruslah memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan kondisi fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Dan terkadang sakit atau musibah juga bisa menjadi penyebab dihapusnya suatu dosa, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh ucapan Nabi Shalallahu 'alahi wasallam, "
"Tidaklah suatu musibah yang menimpa seorang muslim bahkan duri yang melukainya sekalipun melainkan Allah akan menghapus (kesalahannya)." (HR. Bukhari No. 5209) 

Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Bahkan Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam menekankan pentingnya kekuatan jasmani seorang muslim seperti sabda beliau, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala daripada orang mukmin yang lemah.” (HR. Muslim No. 4816).
  1. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)

Hal ini penting bagi seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah bersabda yang artinya: "Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-NYA, tidak beriman seseorang dari kamu sekalian sehingga menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa dengannya (yakni Islam ini)." (HR. Al-Hakim dari sahabat 'Amru bin 'Ash radhiyallahu 'anhu, dengan sanad yang hasan shahih menurut Imam An-Nawawi di dalam Hadits Arba’in No. 41)

Hal ini senada dengan firman ALLAH, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila ALLAH dan Rasul-NYA telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai ALLAH dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab [33] : 36)

Dan firman-NYA, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS An-Nisaa’ [4] : 65)

Juga pada ayat lain disebutkan, "Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. Al-Jaatsiyah [45]: 18) Hal ini mengisyaratkan diwajibkannya untuk memerangi hawa nafsu demi mengikuti apa yang telah disyari'atkan oleh agama.
  1. Harishun Ala Waqtihi (disiplin menggunakan waktu)

Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari ALLAH dan Rasul-NYA. ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri (demi waktu fajar), wad dhuha (demi waktu matahari naik sepenggalahan / dhuha), wal asri (demi masa), wallaili (demi malam) dan seterusnya. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk disiplin mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Shalallahu 'alahi wasallam adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara.

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara; Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadraknya, dikatakan shahih oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini juga dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir).
  1. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)

Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Dimana segala suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat, berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas. ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala berfirman, "Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain." (QS. Al-Insyirah [94]: 7)
  1. Qodirun 'Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri / mandiri)

Qodirun 'alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah harus miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umrah, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi. Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala. Rezeki yang telah ALLAH sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau keterampilan.
Dalam meraih itu semua, ALLAH mewajibkan kita untuk selalu berusaha dan tidak menggantungkan diri pada takdir serta diharapkan untuk mampu mandiri tanpa pula harus bergantung kepada orang lain. Hal ini tersirat dalam salah satu firman-NYA yang amat terkenal yakni, "Sesungguhnya ALLAH tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar Ra'd [13]: 11).
  1. Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)

Manfaat yang dimaksud di sini adalah manfaat yang baik sehingga di manapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak memiliki pengaruh apapun terhadapa keadaan di lingkungan sekitarnya. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Ada sebuah ungkapan yang oleh sebagian Muslim dianggap sebagai sebuah sabda Nabi yakni, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. (HR. Qudhy dari Jabir radhiyallahu 'anhu). Namun tak ada penjelasan yang jelas mengenai derajat sanad hadits ini sehingga tidak bisa langsung dikatakan bahwa itu berasal dari Rasulullah. Namun yang harus kita perhatikan dari ungkapan tersebut adalah matan atau kandungannya yang baik (hasan).

Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka ALLAH akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka ALLAH menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari qiyamat. Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka ALLAH akan menutup aibnya pada hari qiyamat." (HR. Bukhari No. 2262, dan hadits senada telah di-takhrij juga oleh Imam Muslim No. 2699 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang tertera dalam urutan hadits ke-36 dalam kitab Arba'in An Nawawiyah dengan tambahan lafadz, "ALLAH senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya. .......").

Untuk meraih kriteria Pribadi Muslim di atas membutuhkan mujahadah dan mulazamah atau kesungguhan dan kesinambungan. ALLAH Subhanahu wa Ta'ala berjanji akan memudahkan hamba-NYA yang bersungguh-sungguh meraih keridhaan-NYA. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya ALLAH benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut [29]: 69). ALLAHu Ta'ala 'alam bis shawwab...