Minggu, 29 Januari 2012

PENDAPAT 4 IMAM MADZHAB TENTANG SIKAP TAQLID



(beserta ulama-ulama Ahlus Sunnah lainnya)

Sebagian dari umat ini ada yang suka ber-taqlid buta dengan para Imam yang dianutnya, bahkan ada yang mengatakan ke-empat Imam tersebut adalah mujtahid mutlaq yang mengindikasikan bahwa apa yang di-ijtihadkan oleh semua Imam tersebut – walau menyalahi sunnah dari hadits-hadits Nabi yang shahih – tetap mutlak benar dan harus diikuti. Mereka memperlakukan semua pendapat Imam- Imam tersebut seolah-olah merupakan sebuah wahyu yang turun dari langit. ALLAH berfirman;

“Ikutilah oleh kalian apa yang telah diturunkan kepada kalian dari TUHAN kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain DIA. Sungguh sedikit sekali kamu ingat kepada-NYA.” (QS. Al-A’raf [7]: 3)

Berikut adalah pernyataan-pernyataan dari para Imam 4 Madzhab yang dinukil oleh para murid-muridnya;

  1. Abu Hanifah rahimahullah
Imam madzhab yang pertama adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Para muridnya telah meriwayatkan berbagai macam perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yakni kewajiban berpegang pada hadits Nabi dan meninggalkan sikap membeo pendapat-pendapat para Imam bila bertentangan dengan hadits Nabi. Ucapan beliau;
*      “Jika suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.” [1]

*      “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Orang yang tidak mengetahui dalilku, haram baginya menggunakan pendapatku untuk memberi fatwa.” [2]

*      “Kami hanyalah seorang manusia. Hari ini kami berpendapat demikian tetapi besok kami mencabutnya.” Dalam riwayat lain menyebutkan, “Wahai Ya’qub (Abu Yusuf), celakalah kamu! Janganlah kamu tulis semua yang kamu dengar dariku. Hari ini saya berpendapat demikian, tapi hari esok saya meninggalkannya. Besok saya berpendapat demikian, tapi hari berikutnya saya meninggalkannya.” [3]

*      “Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu.” [4]

  1. Malik bin Anas rahimahullah
Imam Malik menyatakan;

*      “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan bila tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah!” [5]

*      “Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam sendiri.” [6}

*      Ibnu Wahhab berkata, “Saya pernah mendengar Imam Malik menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki dalam wudhu, jawabnya, ‘Hal itu bukan urusan manusia.’” Ibnu Wahhab berkata, “Lalu saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit, kemudian saya berkata kepadanya, ‘Kita mempunyai hadits mengenai hal tersebut.’ Dia (Imam Malik) bertanya, ‘Bagaimana hadits itu?’ Saya menjawab, ‘Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, ‘Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dari Yazid bin ‘Amr Al Mu’afiri, dari Abi Abdurrahman Al Habali, dari Mustaurid bin Syaddad Al Qurasyiyyi, ujarnya; Saya melihat Rasulullah menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya.’ Imam Malik menyahut, ‘Hadits ini hasan, saya tidak (pernah) mendengar ini sama sekali kecuali kali ini.’ Kemudian di lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh orang itu untuk menyela-nyela jari-jari kakinya.” [7]

  1. Imam Syafi’I rahimahullah
Riwayat-riwayat yang dinukil dari Imam Syafi’i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus [8] dan para pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih beruntung. Beliau berpesan antara lain;

*      “Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku.” [9]

*      “Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang.” [10}

*      “Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah, peganglah hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku.” [11]

*      “Bila suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.” [12]

*      “Kalian lebih tahu tentang hadits dan para perawinya daripada aku. Apabila suatu hadits itu shahih, beri tahukanlah kepadaku biar di manapun orangnya, apakah di Kuffah Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya.” [13]

*      “Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah Shalallhu ‘alahi wa sallam menurut kalangan ahli hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.” [14]

*      “Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna.” [15]

*      “Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi, hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku.” [16]

*      “Setiap hadits yang datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku.” [17]

*      “Telah sepakat (ulama) kaum Muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut hanya karena ada perkataan orang lain.” [18]

  1. Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Ahmad bin Hanbal merupakan seorang Imam yang paling banyak menghimpun hadits dan berpegang teguh padanya, sehingga beliau benci menjamah kitab-kitab yang memuat masalah furu’ dan ra’yu. Beliau menyatakan sebagai berikut;

*      “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i, dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.” [19] Dalam riwayat lain disebutkan, “Janganlah kamu taqlid kepada siapa pun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menerima atau menolak pendapatnya).”  Kali lain dia berkata, “Yang dinamakan ittiba’ yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi’in boleh dipilih.” [20]

*      “Pendapat Auza’i, Malik, dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya semua ra’yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada atsar (hadits).” [21]

*      “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah, dia berada di jurang kehancuran.” [22]

Demikianlah pernyataan para imam dalam menyuruh orang untuk berpegang teguh pada hadits dan melarang mengikuti mereka tanpa sikap kritis. Mereka mewajibkan berpegang teguh pada semua hadits yang shahih sekalipun bertentangan dengan sebagian pendapat mereka tersebut dan sikap semacam itu tidak dikatakan menyalahi madzhab mereka dan keluar dari metode mereka, bahkan sikap itulah yang disebut mengikuti mereka dan berpegang pada tali yang kuat yang tiada akan putus.

ALLAH berfirman,

“Demi TUHANmu, mereka tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka, kemudian mereka tidak berkeberatan terhadap keputusanmu dan menerimanya dengan sepenuh ketulusan hati.” (QS. An Nisa [4]: 65)

  1. Pernyataan para ulama salafus shalih dan yang mengikuti mereka dengan baik:
Sahabat Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hampir-hampir batu-batu berjatuhan dari langit menimpa kalian, aku katakan ‘bersabda Rasulullah’, kalian justru mengatakan ‘berkata Abu Bakar dan Umar’.”

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Tidaklah diterima pendapat seseorang jika telah ada suatu sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.” [23]

Imam Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Kewajiban orang yang telah menerima dan mengetahui perintah Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa sallam adalah menyampaikan kepada ummat, menasihati mereka, dan menyuruh mereka untuk mengikutinya sekalipun bertentangan dengan pendapat mayoritas ummat. Perintah Rasulullah lebih berhak untuk dimuliakan dan diikuti dibandingkan dengan pendapat tokoh manapun yang menyalahi perintahnya yang terkadang pendapat mereka itu salah. Oleh karena itulah para sahabat dan para tabi’in selalu menolak pendapat yang menyalahi hadits yang shahih dengan penolakan yang keras yang mereka lakukan bukan karena benci, tetapi karena rasa hormat. Akan tetapi, rasa hormat mereka kepada Rasulullah jauh lebih tinggi daripada yang lain dan kedudukan Nabi jauh di atas makhluk lainnya. Bila perintah Rasulullah ternyata berlawanan dengan perintah yang lain, perintah beliau lebih utama didahulukan dan diikuti, tanpa sikap merendahkan orang yang berbeda dengan perintah beliau, sekalipun orang itu mendapatkan ampunan dari ALLAH. Bahkan orang yang mendapat ampunan dari ALLAH, yang pendapatnya menyalahi perintah Rasulullah tidak merasa benci bila seseorang meninggalkan pendapatnya, ketika ia mendapati bahwa ketentuan Rasulullah berlawanan dengan pendapatnya.” [24]

Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan, “Mengatasnamakan para Imam Mujtahid tentang berbagai masalah yang bertentangan dengan hadits shahih adalah haram.” [25]

Imam Asy Syahid Hasan Al Banna juga berkata, “Setiap orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya, kecuali Al-Ma'shum (Rasulullah) Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap yang datang dari kalangan salaf dan sesuai dengan Kitab dan sunnah, kita terima. Jika tidak sesuai dengannya, maka Kitabullah dan Sunnah Rasul-NYA lebih utama untuk diikuti. Namun demikian, kita tidak boleh melontarkan kepada orang-orang (oleh sebab sesuatu yang diperselisihkan dengannya), kata-kata caci maki dan celaan. Kita serahkan saja kepada niat mereka, dan mereka telah berlalu dengan amal-amalnya.” [26]

Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat para ulama dari kalangan salaf maupun khalaf yang senada dengan pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas. Semoga apa yang tertuang di sini bisa menjadi bahan konsiderasi atau pertimbangan bagi kita semua dalam mengambil sebuah pendapat dan memutuskan bahwa pandapat mereka adalah yang paling benar sebelum jelas bagi mereka pernyataan Al Ma’shum Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam yang shahih tentang masalah yang dipertentangkannya tersebut. Semoga kita senantiasa mendapatkan taufiq, rahmat, serta maghfirah-NYA. ALLAHumma Amin WALLAHu ‘alam bis shawab…

[1] Ibnu Abidin dalam kitab Al Hasyiyah (I/63), dan Kitab Rasmul Mufti (I/4). Syaikh Shalih Al Filani dalam kitab Iqazhu Al Humam hlm. 62 dan lain-lain. Ibnu Abidin menukil dari Syarah Al Hidayah, karya Ibnu Syahnah Al Kabir, seorang guru Ibnul Humam, yang berbunyi:

“Bila suatu hadits shahih sedangkan isinya bertentangan dengan madzhab kita, maka yang diamalkan adalah hadits.” Hal ini merupakan madzhab beliau dan tidak boleh seseorang muqallid menyalahi hadits shahih dengan alasan dia sebagai pengikut Hanafi, Sebab secara sah disebutkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau berpesan, “Jika suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.” Begitu juga Imam Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari Abu Hanifah dan para Imam lain pesan semacam itu.

[2] Ibnu Abdul Barr dalam kitab Al Intiqa’ fiy Fadha’il Ats Tsalatsah Al Aimmah Al Fuqaha hlm. 145, Ibnul Qayyim dalam kitab I’laamul Muwaqqi’in (II/309), Ibnu Abidin dalam kitab Hasyiyah Al Bahri Ar Ra’iq (VI/293) dan Rasmu Al Mufti hlm. 29 & 32, Sya’rani dalam kitab Al Mizan (I/55) dengan riwayat yang kedua.

[3] Dinukil oleh Abbas Ad Darawi dalam At Tarikh, karya Ibnu Ma’in (VI/77/1) dengan sanad shahih dari Zufar.

[4] Al Filani dalam kitab Al Iqazh hlm. 50, menisbatkannya kepada Imam Muhammad juga.

[5] Ibnu Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam kitabnya Ushul Al Ahkam (VI/149), begitu pula Al Fulani hlm. 72.

[6] Dinyatakan shahih dari Imam Malik oleh Ibnu Abdul Hadi dalam kitabnya Irsyad As Salik (I/227), Ibnu Abdul Barr dalam kitab Al Jami’ (II/291), Ibnu Hazm dalam kitab Ushul Al Ahkam (VI/145, 179), dari ucapan Hakam bin Utaibah dan Mujahid.

[7] Muqaddimah kitab Al Jarh wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hlm. 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam Sunan-nya (I/81).

[8] Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya (VI/118)

“Para ahli fiqh yang ditaqlidi telah menganggap batal taqlid itu sendiri. Mereka melarang para pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam Syafi’i. Beliau dengan keras menegaskan agar orang mengikuti hadits-hadits yang shahih dan berpegang pada ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah selama tidak ada orang lain yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau sepenuhnya berlepas  diri dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan dengan terang-terangan mengumumkan hal ini. Semoga ALLAH memberi manfaat kepada beliau dan memperbanyak pahalanya. Sungguh pernyataan beliau menjadi sebab mendapatkan kebaikan yang banyak.”

[9] Diriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi’i, seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu ‘Asakir (XV/1/3), I’laam Al Muwaqqi’in (II/363-364), Al Iqazh hlm. 100.

[10] Ibnul Qayyim dalam kitab I’laamul Muwaqqi’in (II/361), dan Al Filani hlm. 68.

[11] Harawi dalam kitab Dzamm Al Kalam (III/47/1), Al Khathib dalam Ihtijaj bi Asy Syafi’i (VIII/2), Ibnu ‘Asakir (XV/9/1), Nawawi dalam Al Majmu’ ((I/63), Ibnul Qayyim (II/361), Al Filani hlm. 100 dan riwayat lain oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (IX/107) dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (III/284, Al Ihsan) dengan sanad yang shahih dari beliau, riwayat yang semakna.

[12] Nawawi dalam Al Majmu’, Sya’rani (I/57) dan ia nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani hlm. 107.

[13] Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafi’i hlm.94-95, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (IX/106), Al Khatib dalam Al Ihtijaj (VIII/1), diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asakir dari beliau (XV/9/1), Ibnu Abdil Barr dalam Intiqa’ hlm. 75, Ibnu Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hlm. 499, Al Harawi (II/47/2) dengan tiga sanad dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya, bahwa Imam Syafi’i pernah berkata kepadanya demikian. Hal ini shahih dari beliau.

[14] Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (IX/107), Al Harawi (47/1), Ibnul Qayyim dalam Al I’laam Al Muwaqqi’in (II/363) dan Al Filani hlm. 104.

[15] Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy Syafi’i hlm. 93, Abul Qasim Samarqandi dalam Al Amali seperti pada Al Muntaqa, karya Abu Hafs Al Muaddib (I/234), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (IX/106), dan Ibnu ‘Asakir (15/10/1) dengan sanad shahih.

[16] Ibnu Abi Hatim hlm. 93, Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Asakir (15/9/2) dengan sanad shahih.

[17] Ibnu Abi Hatim hlm. 93-94.

[18] Habaqaatul Hanaabilah (II/15), dan Al Ibaanah (I/260)

[19] Al Filani hlm. 113 dan Ibnul Qayyim dalam Al I’lam (II/302)

120] Abu Dawud dalam Masa’il Imam Ahmad hlm. 276-277.

[21] Ibnu Abdil Barr dalam Al Jami’ (II/149)

[22] Ibnul Jauzi hlm. 142, dan di-takhrij pula oleh Imam Al Bukhari, no.1129.

[23] Ibnul Qayyim dalam kitab I’laamul Muwaqqi’in (2/282)

[24] Beliau nukil dalam kitab Ta’liq ‘ala Iqazhul Humam hlm. 93.

[25] Al Filani hlm 99.

[26] Majmu’atur Rasa’il Hasan Al Banna, bab Risalah Ta’lim point ke-6.