(beserta
ulama-ulama Ahlus Sunnah lainnya)
Sebagian dari umat ini
ada yang suka ber-taqlid buta dengan
para Imam yang dianutnya, bahkan ada yang mengatakan ke-empat Imam tersebut
adalah mujtahid mutlaq yang mengindikasikan bahwa apa yang di-ijtihadkan oleh semua Imam tersebut – walau menyalahi sunnah dari
hadits-hadits Nabi yang shahih –
tetap mutlak benar dan harus diikuti. Mereka memperlakukan semua pendapat Imam-
Imam tersebut seolah-olah merupakan sebuah wahyu yang turun dari langit. ALLAH
berfirman;
“Ikutilah
oleh kalian apa yang telah diturunkan kepada kalian dari TUHAN kalian dan
janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain DIA. Sungguh sedikit sekali
kamu ingat kepada-NYA.” (QS. Al-A’raf [7]: 3)
Berikut adalah
pernyataan-pernyataan dari para Imam 4 Madzhab
yang dinukil oleh para murid-muridnya;
- Abu Hanifah rahimahullah
Imam
madzhab yang pertama adalah Abu
Hanifah Nu’man bin Tsabit. Para muridnya telah meriwayatkan berbagai macam
perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yakni
kewajiban berpegang pada hadits Nabi dan meninggalkan sikap membeo
pendapat-pendapat para Imam bila bertentangan dengan hadits Nabi. Ucapan
beliau;
“Jika
suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.” [1]
“Tidak
halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami
mengambil sumbernya.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Orang yang tidak mengetahui dalilku, haram
baginya menggunakan pendapatku untuk memberi fatwa.” [2]
“Kami
hanyalah seorang manusia. Hari ini kami berpendapat demikian tetapi besok kami
mencabutnya.” Dalam riwayat lain menyebutkan, “Wahai Ya’qub (Abu Yusuf), celakalah kamu!
Janganlah kamu tulis semua yang kamu dengar dariku. Hari ini saya berpendapat
demikian, tapi hari esok saya meninggalkannya. Besok saya berpendapat demikian,
tapi hari berikutnya saya meninggalkannya.” [3]
“Kalau
saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu.”
[4]
- Malik bin Anas rahimahullah
Imam
Malik menyatakan;
“Saya
hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu,
telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan
bila tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah!”
[5]
“Siapa
pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi Shalallahu
‘alahi wa sallam sendiri.” [6}
Ibnu Wahhab berkata, “Saya pernah mendengar Imam Malik menjawab
pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki dalam wudhu, jawabnya,
‘Hal itu bukan urusan manusia.’” Ibnu Wahhab berkata, “Lalu saya tinggalkan
beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit, kemudian saya
berkata kepadanya, ‘Kita mempunyai hadits mengenai hal tersebut.’ Dia (Imam
Malik) bertanya, ‘Bagaimana hadits itu?’ Saya menjawab, ‘Laits bin Sa’ad, Ibnu
Lahi’ah, ‘Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dari Yazid bin ‘Amr Al
Mu’afiri, dari Abi Abdurrahman Al Habali, dari Mustaurid bin Syaddad Al
Qurasyiyyi, ujarnya; Saya melihat Rasulullah menggosokkan jari manisnya pada
celah-celah jari-jari kakinya.’ Imam Malik menyahut, ‘Hadits ini hasan, saya
tidak (pernah) mendengar ini sama sekali kecuali kali ini.’ Kemudian di lain
waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau
menyuruh orang itu untuk menyela-nyela jari-jari kakinya.” [7]
- Imam Syafi’I rahimahullah
Riwayat-riwayat
yang dinukil dari Imam Syafi’i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus [8]
dan para pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih
beruntung. Beliau berpesan antara lain;
“Setiap
orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa sallam dan
mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan
itu berasal dari Rasulullah tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa
yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku.”
[9]
“Seluruh
kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu
hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat
seseorang.” [10}
“Bila
kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah,
peganglah hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku.”
[11]
“Bila
suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.” [12]
“Kalian
lebih tahu tentang hadits dan para perawinya daripada aku. Apabila suatu hadits
itu shahih, beri tahukanlah kepadaku biar di manapun orangnya, apakah di Kuffah
Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya.”
[13]
“Bila
suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah Shalallhu ‘alahi wa sallam
menurut kalangan ahli hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan
mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.” [14]
“Bila
kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi hadits
Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna.”
[15]
“Setiap
perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi, hadits Nabi
lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku.”
[16]
“Setiap
hadits yang datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam berarti itulah pendapatku,
sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku.”
[17]
“Telah
sepakat (ulama) kaum Muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah
Rasulullah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut hanya
karena ada perkataan orang lain.” [18]
- Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Ahmad
bin Hanbal merupakan seorang Imam yang paling banyak menghimpun hadits dan
berpegang teguh padanya, sehingga beliau benci menjamah kitab-kitab yang memuat
masalah furu’ dan ra’yu. Beliau menyatakan sebagai
berikut;
“Janganlah
engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i, dan Tsauri, tetapi
ambillah dari sumber mereka mengambil.” [19] Dalam riwayat
lain disebutkan, “Janganlah kamu taqlid
kepada siapa pun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu
ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menerima atau menolak
pendapatnya).” Kali lain dia
berkata, “Yang dinamakan ittiba’ yaitu
mengikuti apa yang datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi’in boleh dipilih.” [20]
“Pendapat
Auza’i, Malik, dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya semua ra’yu
sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada atsar
(hadits).” [21]
“Barangsiapa
yang menolak hadits Rasulullah, dia berada di jurang kehancuran.”
[22]
Demikianlah
pernyataan para imam dalam menyuruh orang untuk berpegang teguh pada hadits dan
melarang mengikuti mereka tanpa sikap kritis. Mereka mewajibkan berpegang teguh
pada semua hadits yang shahih
sekalipun bertentangan dengan sebagian pendapat mereka tersebut dan sikap
semacam itu tidak dikatakan menyalahi madzhab
mereka dan keluar dari metode mereka, bahkan sikap itulah yang disebut
mengikuti mereka dan berpegang pada tali yang kuat yang tiada akan putus.
ALLAH
berfirman,
“Demi TUHANmu, mereka tidak
dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim
dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka, kemudian mereka tidak
berkeberatan terhadap keputusanmu dan menerimanya dengan sepenuh ketulusan
hati.” (QS. An Nisa [4]: 65)
- Pernyataan para ulama salafus shalih dan yang mengikuti mereka dengan baik:
Sahabat
Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Hampir-hampir batu-batu
berjatuhan dari langit menimpa kalian, aku katakan ‘bersabda Rasulullah’,
kalian justru mengatakan ‘berkata Abu Bakar dan Umar’.”
Umar
bin Abdul Aziz berkata, “Tidaklah
diterima pendapat seseorang jika telah ada suatu sunnah yang ditetapkan oleh
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.” [23]
Imam
Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Kewajiban
orang yang telah menerima dan mengetahui perintah Rasulullah Shalallahu ’alaihi
wa sallam adalah menyampaikan kepada ummat, menasihati mereka, dan menyuruh
mereka untuk mengikutinya sekalipun bertentangan dengan pendapat mayoritas
ummat. Perintah Rasulullah lebih berhak untuk dimuliakan dan diikuti
dibandingkan dengan pendapat tokoh manapun yang menyalahi perintahnya yang
terkadang pendapat mereka itu salah. Oleh karena itulah para sahabat dan para
tabi’in selalu menolak pendapat yang menyalahi hadits yang shahih dengan
penolakan yang keras yang mereka lakukan bukan karena benci, tetapi karena rasa
hormat. Akan tetapi, rasa hormat mereka kepada Rasulullah jauh lebih tinggi
daripada yang lain dan kedudukan Nabi jauh di atas makhluk lainnya. Bila
perintah Rasulullah ternyata berlawanan dengan perintah yang lain, perintah
beliau lebih utama didahulukan dan diikuti, tanpa sikap merendahkan orang yang
berbeda dengan perintah beliau, sekalipun orang itu mendapatkan ampunan dari
ALLAH. Bahkan orang yang mendapat ampunan dari ALLAH, yang pendapatnya
menyalahi perintah Rasulullah tidak merasa benci bila seseorang meninggalkan
pendapatnya, ketika ia mendapati bahwa ketentuan Rasulullah berlawanan dengan
pendapatnya.” [24]
Ibnu
Daqiq Al ‘Id mengatakan, “Mengatasnamakan
para Imam Mujtahid tentang berbagai masalah yang bertentangan dengan hadits
shahih adalah haram.” [25]
Imam
Asy Syahid Hasan Al Banna juga berkata, “Setiap
orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya, kecuali Al-Ma'shum (Rasulullah)
Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap yang datang dari kalangan salaf dan sesuai
dengan Kitab dan sunnah, kita terima. Jika tidak sesuai dengannya, maka
Kitabullah dan Sunnah Rasul-NYA lebih utama untuk diikuti. Namun demikian, kita
tidak boleh melontarkan kepada orang-orang (oleh sebab sesuatu yang
diperselisihkan dengannya), kata-kata caci maki dan celaan. Kita serahkan saja
kepada niat mereka, dan mereka telah berlalu dengan amal-amalnya.” [26]
Dan
masih banyak lagi pendapat-pendapat para ulama dari kalangan salaf maupun khalaf yang senada dengan pendapat-pendapat yang telah dipaparkan
di atas. Semoga apa yang tertuang di sini bisa menjadi bahan konsiderasi atau
pertimbangan bagi kita semua dalam mengambil sebuah pendapat dan memutuskan
bahwa pandapat mereka adalah yang paling benar sebelum jelas bagi mereka
pernyataan Al Ma’shum Muhammad
Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa ‘ala
alihi wa sallam yang shahih
tentang masalah yang dipertentangkannya tersebut. Semoga kita senantiasa
mendapatkan taufiq, rahmat, serta maghfirah-NYA. ALLAHumma Amin
WALLAHu ‘alam bis shawab…
[1]
Ibnu Abidin dalam kitab Al Hasyiyah
(I/63), dan Kitab Rasmul Mufti (I/4).
Syaikh Shalih Al Filani dalam kitab Iqazhu
Al Humam hlm. 62 dan lain-lain. Ibnu Abidin menukil dari Syarah Al Hidayah, karya Ibnu Syahnah Al
Kabir, seorang guru Ibnul Humam, yang berbunyi:
“Bila
suatu hadits shahih sedangkan isinya
bertentangan dengan madzhab kita,
maka yang diamalkan adalah hadits.” Hal ini merupakan madzhab beliau dan tidak boleh seseorang muqallid menyalahi hadits shahih
dengan alasan dia sebagai pengikut Hanafi, Sebab secara sah disebutkan dari
Imam Abu Hanifah bahwa beliau berpesan, “Jika suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.” Begitu juga Imam Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari Abu
Hanifah dan para Imam lain pesan semacam itu.
[2]
Ibnu Abdul Barr dalam kitab Al Intiqa’
fiy Fadha’il Ats Tsalatsah Al Aimmah Al Fuqaha hlm. 145, Ibnul Qayyim dalam
kitab I’laamul Muwaqqi’in (II/309),
Ibnu Abidin dalam kitab Hasyiyah Al Bahri
Ar Ra’iq (VI/293) dan Rasmu Al Mufti
hlm. 29 & 32, Sya’rani dalam kitab Al
Mizan (I/55) dengan riwayat yang kedua.
[3]
Dinukil oleh Abbas Ad Darawi dalam At
Tarikh, karya Ibnu Ma’in (VI/77/1) dengan sanad shahih dari Zufar.
[4]
Al Filani dalam kitab Al Iqazh hlm.
50, menisbatkannya kepada Imam Muhammad juga.
[5]
Ibnu Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam kitabnya Ushul Al Ahkam (VI/149), begitu pula Al Fulani hlm. 72.
[6]
Dinyatakan shahih dari Imam Malik
oleh Ibnu Abdul Hadi dalam kitabnya Irsyad
As Salik (I/227), Ibnu Abdul Barr dalam kitab Al Jami’ (II/291), Ibnu Hazm dalam kitab Ushul Al Ahkam (VI/145, 179), dari ucapan Hakam bin Utaibah dan
Mujahid.
[7]
Muqaddimah kitab Al Jarh wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hlm. 31-32 dan
diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam Sunan-nya (I/81).
[8]
Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya (VI/118)
“Para
ahli fiqh yang ditaqlidi telah menganggap batal taqlid
itu sendiri. Mereka melarang para pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam Syafi’i. Beliau
dengan keras menegaskan agar orang mengikuti hadits-hadits yang shahih dan berpegang pada
ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah
selama tidak ada orang lain yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau sepenuhnya berlepas diri dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan dengan
terang-terangan mengumumkan hal ini. Semoga ALLAH memberi manfaat kepada beliau
dan memperbanyak pahalanya. Sungguh pernyataan beliau menjadi sebab mendapatkan
kebaikan yang banyak.”
[9]
Diriwayatkan dengan sanad bersambung
kepada Imam Syafi’i, seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu ‘Asakir (XV/1/3), I’laam Al Muwaqqi’in (II/363-364), Al Iqazh hlm. 100.
[10]
Ibnul Qayyim dalam kitab I’laamul
Muwaqqi’in (II/361), dan Al Filani hlm. 68.
[11]
Harawi dalam kitab Dzamm Al Kalam
(III/47/1), Al Khathib dalam Ihtijaj bi Asy
Syafi’i (VIII/2), Ibnu ‘Asakir (XV/9/1), Nawawi dalam Al Majmu’ ((I/63), Ibnul Qayyim (II/361), Al Filani hlm. 100 dan
riwayat lain oleh Abu Nu’aim dalam Al
Hilyah (IX/107) dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
(III/284, Al Ihsan) dengan sanad yang shahih dari beliau, riwayat yang semakna.
[12]
Nawawi dalam Al Majmu’, Sya’rani
(I/57) dan ia nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani hlm. 107.
[13]
Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafi’i
hlm.94-95, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
(IX/106), Al Khatib dalam Al Ihtijaj
(VIII/1), diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asakir dari beliau (XV/9/1), Ibnu Abdil
Barr dalam Intiqa’ hlm. 75, Ibnu
Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hlm.
499, Al Harawi (II/47/2) dengan tiga sanad
dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya, bahwa Imam Syafi’i pernah
berkata kepadanya demikian. Hal ini shahih
dari beliau.
[14]
Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (IX/107),
Al Harawi (47/1), Ibnul Qayyim dalam Al
I’laam Al Muwaqqi’in (II/363) dan Al Filani hlm. 104.
[15]
Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy Syafi’i
hlm. 93, Abul Qasim Samarqandi dalam Al
Amali seperti pada Al Muntaqa,
karya Abu Hafs Al Muaddib (I/234), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (IX/106), dan Ibnu ‘Asakir (15/10/1) dengan sanad shahih.
[16]
Ibnu Abi Hatim hlm. 93, Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Asakir (15/9/2) dengan sanad shahih.
[17]
Ibnu Abi Hatim hlm. 93-94.
[18]
Habaqaatul Hanaabilah (II/15), dan Al Ibaanah (I/260)
[19]
Al Filani hlm. 113 dan Ibnul Qayyim dalam Al
I’lam (II/302)
120]
Abu Dawud dalam Masa’il Imam Ahmad
hlm. 276-277.
[21]
Ibnu Abdil Barr dalam Al Jami’ (II/149)
[22]
Ibnul Jauzi hlm. 142, dan di-takhrij
pula oleh Imam Al Bukhari, no.1129.
[23]
Ibnul Qayyim dalam kitab I’laamul
Muwaqqi’in (2/282)
[24]
Beliau nukil dalam kitab Ta’liq ‘ala
Iqazhul Humam hlm. 93.
[25]
Al Filani hlm 99.
[26]
Majmu’atur Rasa’il Hasan Al Banna,
bab Risalah Ta’lim point ke-6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar