Rabu, 30 November 2011

KEUTAMAAN BAITUL MAQDIS DAN AL AQSHA




Bagi umat Islam, Baitul Maqdis dan al Aqsha tidak hanya menjadi bukti sejarah terhadap dakwah dan perjuangan para Nabi dan generasi pelanjutnya. Lebih dari itu, al Quds dan al Aqsha menjadi simbol harga diri dan kemuliaan umat, karena al Quds dan al Aqsha memiliki kedudukan istimewa dan beberapa keutamaan yang ALLAH berikan baginya;

Kiblat Pertama Umat Islam

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Raja' berkata, telah menceritakan kepada kami Israil dari Abu Ishaq dari Al Bara' bin 'Aziz radhiyallahu 'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat menghadap baitul maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menginginkan kiblat tersebut dialihkan ke arah Ka'bah. Maka Allah menurunkan ayat (Al Baqarah [2]: 144): "Sungguh KAMI (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh KAMI akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari TUHANnya dan ALLAH sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan." (HR. Bukhari No. 384, dan diriwayatkan pula dengan matan yang serupa oleh Imam Bukhari pada No. 4130 & No. 4132)

Al Aqsha


Bumi Isra' dan Mi'raj

"Maha Suci ALLAH, yang telah memperjalankan hamba-NYA pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah KAMI berkahi sekelilingnya agar KAMI perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) KAMI. Sesungguhnya DIA adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al Israa' [17]: 1)

Tempat yang Dianjurkannya Melakukan Safar Terhadapnya

Dan telah menceritakan kepada kami Harun bin Sa'id Al Aili telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah menceritakan kepadaku Abdul Hamid bin Ja'far bahwa Imran bin Abu Anas telah menceritakan kepadanya bahwa Salman Al Agharr telah menceritakan kepadanya, bahwa ia mendengar Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tempat yang layak dijadikan tujuan safar hanyalah tiga masjid. Yaitu; masjid Ka'bah (masjidil Haram), masjidku (masjid Nabawi) dan masjid Iliya (masjidil Aqsha)." (HR. Muslim No. 2476)

Masjid Tertua Kedua di Muka Bumi

Telah bercerita kepadaku Umar bin Hafsh telah bercerita kepada kami bapakku telah bercerita kepada kami Al A'masy telah bercerita kepada kami Ibrahim at-Taymiy dari bapaknya dari Abu Dzarr radhiyallahu 'anhu berkata; Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "masjid apakah yang pertama di bangun di muka bumi ini?" Beliau menjawab, "al-masjidil Haram." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "al-masjidil Aqsha." Aku bertanya lagi, "Berapa lama selang waktu antara keduanya?" Beliau menjawab, "Empat puluh tahun." Kemudian Beliau bersabda, "di mana saja kamu berada dan waktu shalat sudah datang, maka shalatlah, karena bumi bagimu adalah masjid (boleh sebagai tempat shalat)." (HR. Bukhari No. 3172)

Tempat dilipatgandakan Pahala Ibadah

“Shalat di Masjidil Haram sebanding dengan 100.000 kali shalat, dan shalat di masjidku (masjid Nabawi) sebanding dengan 1.000 kali shalat, dan shalat di Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) sebanding dengan 500 kali shalat.” (HR. at Thabrani dan al Bazzar)

Dome of Rock at Baitul Maqdis


Tempat Umat Islam yang Istiqamah

Telah bercerita kepada kami Al Humaidiy telah bercerita kepada kami Al Walid berkata, telah bercerita kepadaku Ibnu Jabir berkata, telah bercerita kepadaku Umair bin Hani' bahwa dia mendengar Mu'awiyah berkata, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "senantiasa akan ada dari ummatku, (sekelompok) ummat yang tegak di atas urusan agama ALLAH, tidak dapat membahayakan mereka orang yang menghina mereka dan tidak pula orang yang menyelisih mereka hingga datang ketetapan ALLAH atas mereka dan mereka dalam keadaan seperti itu (tetap tegak dalam urusan agama ALLAH)." Umair berkata, "Maka Malik bin Yukhamir berkata, Muadz berkata, Mereka berada di negeri Syam (Baitul Maqdis)." Lalu Mu'awiyah berkata, "Ini Malik, yang mengaku bahwa dia mendengar bahwa Mu'adz menyatakan bahwa sekelompok ummat itu berada di negeri Syam (Baitul Maqdis)." (HR. Bukhari No. 3369)

Setelah mengetahui tentang keutamaan dari Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha yang ada di Palestina - yang kini sedang dalam genggaman penjajahan terorisme zionis Israel - apakah sebagai umat Islam, kita tidak tergerak hatinya untuk membantu dan berjihad demi saudara-saudara kita di Palestina? Ask yourself! ALLAHu Akbar...


Minggu, 20 November 2011

HABIB MUNZIR 'GAK PUNYA DALIL' UNTUK SALAH SATU AMALIAH BID'AHNYA

Habib Munzir Al Musawa


Habib Munzir Al Musawa yang dikenal sebagai salah seorang habaib pendiri Majelis Rasulullah ini pernah ditanya oleh salah seorang jamaahnya mengenai dalil bacaan bilal pada saat sedang istirahat di antara shalat tarawih pada setiap 2 rakaat. Seperti inilah jawaban beliau;

"para ulama salaf menjadikan setiap 4 rakaat agar muadzin/bilal menyerukan nama Rasul saw dan khulafa'urrasyidin, karena di masa itu para khulafa'urrasyidin dicaci maki di mimbar mimbar, dan hingga kini pada madzhab syafii khususnya hal itu dilanjutkan hingga kini, dan hal itu bukan hal yg mungkar namun kebiasaan yg baik, dan setiap dua rakaat diselingi dg dzikir bilal dijawab oleh jamaah, tiada lain mengisi waktu istirahat sebagaimana disunnahkan, daripada hanya diam saja.

tidak teriwayatkan atau sudah tak ada riwayat menyebutkan secara shahih apa yg dibaca Rasul saw saat antara tiap dua rakaat. karena tarawih berjamaah sudah dibubarkan oleh Rasul saw di masa beliau saw, lalu tidak dilakukan di masa Khalifah abubakar shiddiq ra, dan baru dimulai kembali dimasa khalifah Umar ra, diteruskan oleh khalifah utsman ra dan Ali kw dan hingga kini oleh seluruh madzhab"

dikutip dari website resmi Majelis Rasulullah yang bisa saudara baca sendiri dalam link berikut --> http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=26491&catid=8

Mengomentari apa yang dikatakan oleh Habib atas salah satu pertanyaan jamaahnya di atas, maka saya yang ilmu agamanya sedikit saja bisa tahu bahwa hal yang dikerjakan (bacaan bilal) adalah bathil dan merupakan bid'ah yang tidak berdasar sama sekali. Bagaimana bisa kita mengamalkan sesuatu yang tidak teriwayatkan atau sudah tak ada riwayat menyebutkan secara shahih apa yg dibaca Rasul saw saat antara tiap dua rakaat. Semua masalah agama terkait ibadah harus didasarkan pada suatu riwayat, dalil, atau nash-nash shahih dari Qur'an dan Sunnah.

و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي عَامِرٍ قَالَ عَبْدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَأَلْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ رَجُلٍ لَهُ ثَلَاثَةُ مَسَاكِنَ فَأَوْصَى بِثُلُثِ كُلِّ مَسْكَنٍ مِنْهَا قَالَ يُجْمَعُ ذَلِكَ كُلُّهُ فِي مَسْكَنٍ وَاحِدٍ ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan Abd bin Humaid semuanya dari Abu Amir. Abd berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Amru telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ja'far Az Zuhri dari Sa'd bin Ibrahim dia berkata; aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang seseorang yang memilki tiga tempat tinggal, lalu dia mewasiatkan sepertiga dari setiap satu tempat tinggal." Sa'd melanjutkan, "Kemudian dia mengumpulkannya menjadi satu." Al Qasim menjawab, " Aisyah radhiyallahu 'anhuma telah mengabarkan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa mengamalkan suatu perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak." (HR. Muslim No. 3243)

Karena perkara bacaan bilal merupakan sebuah amal ibadah, maka harus ada dalil yang menunjukkan bahwasannya hal tersebut berdasarkan apa yang Rasulullah Shalallahu 'alahi wa sallam lakukan. Jika tak terbukti bahwa beliau melakukannya, maka semua perbuatan itu tertolak dalam agama. Mengapa juga kita harus melakukan hal-hal yang jelas-jelas ditolak dan tak bisa dijadikan dasar?! Bukankah kita disuruh meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat?!


Hadist

Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dia berkata: “Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya".”
(Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi No. 2371, Ibnu Majah No. 3976, Ibnu Hibban No. 229, Ibnu Abid-Dunya dalam kitab ash-Shamtu (no. 108) dari Sahabat Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh: Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ‘ (VIII/273-274, no. 12181), Ahmad (I/201), ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabîr (no. 2886) dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Syawahid hadits ini dari Abu Bakar, Husain bin Ali, dan Zaid bin Tsabit. Yang diriwayatkan oleh para imam ahli hadits. Hadits Abu Hurairah di atas dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam at- Ta’lîqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban, no. 229).

Lalu jika memang beliau dan para jamaahnya mengaku mencintai Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, mengapa beliau berbuat demikian (bid'ah) yang tidak ada sunnahnya sama sekali?! Apalagi beliau juga berkata, "para ulama salaf menjadikan setiap 4 rakaat agar muadzin/bilal menyerukan nama Rasul saw dan khulafa'urrasyidin, karena di masa itu para khulafa'urrasyidin dicaci maki di mimbar mimbar, dan hingga kini pada madzhab syafii khususnya hal itu dilanjutkan hingga kini, dan hal itu bukan hal yg mungkar namun kebiasaan yg baik, dan setiap dua rakaat diselingi dg dzikir bilal dijawab oleh jamaah, tiada lain mengisi waktu istirahat sebagaimana disunnahkan, daripada hanya diam saja." Coba bandingkan dengan pernyataan bahwa dalil atau riwayat yang menyatakannya sudah tidak ada, artinya kemungkinan besar adalah;

1. Riwayat tersebut memang tidak pernah ada. Maka para salafus shalih malah justru tidak akan pernah mengerjakan amal ibadah yang tak ada keterangan atau riwayatnya dalam Qur'an dan Sunnah. Wajar saja bila al Habib berkata sudah hilang dan sebagainya, karena mungkin riwayat yang sebenarnya tak pernah ada!
 
2. Lalu jika tak ada riwayatnya atau sudah tidak pernah ditemukan kembali (hilang), lantas bacaan-bacaan bilal tersebut berasal dari mana? Apakah tidak sesat membuat perkara-perkara baru dalam agama (bid'ah)? Na'udzubillah...

3. Jika pun memang dulu pernah ada riwayatnya, maka para salaf akan lebih dahulu melakukannya bukan para khalaf (umat zaman sekarang). Tak ada bukti para salaf melakukannya, ini sebuah dusta atas nama mereka. Innalillahi wa inna ilahi raji'un...

4. Beliau juga mengatakan bahwa, "karena tarawih berjamaah sudah dibubarkan oleh Rasul saw di masa beliau saw" Hal tersebut walaupun sudah tak lagi dikerjakan lagi oleh Rasulullah, seharusnya masih memiliki dalil yang tetap akan ada yang meriwayatkannya, sekalipun sudah di-mansukh-kan (dihapuskan) hukumnya. Tidak bisa jadi alasan sesuatu yang sudah tidak pernah dikerjakan lagi oleh Nabiullah Muhammad ibn Abdullah Shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, lalu riwayat yang menceritakannya pun pudar atau hilang (sengaja dihilangkan). Contohnya saja dalil tentang Rasulullah yang sudah tidak lagi mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah di akhir-akhir masa hidup beliau. Kendatipun tarawih sudah 'dibubarkan olah Rasul' - sebagaimana kata Habib Munzir - tetap saja ada riwayat shahih yang menceritakan tentang awal mulanya shalat tarawih atau yang juga biasa disebut sebagai qiyamu Ramadhan ini. Riwayat ini tidak turut hilang walau pun shalatnya sendiri "tidak dilakukan di masa Khalifah abubakar shiddiq ra, dan baru dimulai kembali di masa khalifah Umar ra, diteruskan oleh khalifah utsman ra dan Ali kw dan hingga kini oleh seluruh madzhab."

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepada saya 'Urwah bahwa A'isyah radhiallahu 'anha mengabarkannya bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam (di bulan Ramadhan) keluar kamar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid. Maka orang-orang kemudian ikut shalat mengikuti shalat beliau. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut sehingga pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan mereka ikut shalat bersama beliau. kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama'ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak kemudian beliau membaca syahadat lalu bersabda, "Amma ba'du, Sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut nanti menjadi diwajibkan atas kalian sehingga kalian menjadi keberatan karenanya." kemudian setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia, tradisi shalat (tarawih) secara berjamaah terus berlangsung seperti itu. (HR. Bukhari No. 1873)

Beliau mengatakan, "setiap dua rakaat diselingi dg dzikir bilal dijawab oleh jamaah, tiada lain mengisi waktu istirahat sebagaimana disunnahkan, daripada hanya diam saja." Hanya dengan dalil daripada diam saja inilah beliau mengatakan sebagaimana disunnahkan. Jika memang disunnahkan atau berasal dari sunnah, maka tentu harus disertai dengan riwayat yang menjelaskannya.

Dapat disimpulkan bahwasannya beliau (Habib Munzir) tidak mampu menemukan alasan atau dalil yang shahih berkaitan dengan bacaan bilal tersebut. Maka hal tersebut dengan jelas mengisyaratkan bahwa bacaan-bacaan bilal yang dibaca di antara dua rakaat istirahat pada saat tarawih tak memiliki landasan syar'i dan bersifat bid'i (bid'ah). Sehingga tidak patut bagi seorang Muslim mengamalkan perbuatan tersebut, karena percuma saja - akan ditolak!

ALLAHu'alam bis shawab....
 
Abdullah ibnu Abi Abdillah

Senin, 14 November 2011

KEPRIBADIAN SEORANG MUSLIM


Imam Hasan Al Banna


Imam Asy Syahid Hasan Al Banna (Mursyid Amr pertama gerakan Islam, Ikhwanul Muslimin) telah merumuskan beberapa karakter yang sepatutnya dimiliki oleh seorang muslim yang disusun berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah. Ada beberapa karakteristik yang harus dipenuhi seseorang sehingga ia dapat disebut berkepribadian muslim, yaitu :
  1. Salimul ‘Aqidah /‘Aqidatus Salima (Aqidah yang lurus /selamat)

Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang lurus, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada ALLAH Subhanahu wa ta'ala, dan tidak akan menyimpang dari jalan serta ketentuan-ketentuan-NYA.
ALLAH berfirman, "Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada ALLAH, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada ALLAH-lah kesudahan segala urusan." (QS. Luqman [31]: 22)

Dengan kelurusan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada ALLAH sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’aam [6]:162).  Dengan hal ini kita sangat tidak dibenarkan beribadah kepada selain-NYA dengan menyekutukan maupun dengan riya' atau rasa ingin dipuji atau memperoleh ridha dari selain ALLAH ketika beribadah. 

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa'id dari Muhammad bin Ibrahim dari Alqamah bin Waqash dari Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena ALLAH dan Rasul-NYA, maka hijrahnya adalah kepada ALLAH dan Rasul-NYA. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan." (HR. Bukhari No. 52, Muslim No. 1907, Abu Dawud No.2201, At Tirmidzi No. 1646, Ibnu Majah 4227, Imam Ahmad 1/25, diriwayatkan pula oleh Daruquthni, Ibnu Hibban dan Al Baihaqi; dengan sanad yang shahih).
Aqidah yang lurus /selamat merupakan dasar ajaran tauhid, maka dalam awal da’wahnya kepada para shahabat di Mekkah, Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam mengutamakan pembinaan aqidah, iman, dan tauhid.

2.      Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)

Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam yang penting. Syarat diterimanya suatu ibadah di sisi ALLAH Subhanahu wa ta'ala adalah dengan ikhlas (sebagaimana telah dijelaskan pada hadits tentang niat sebelumnya) dan muttaba'atir Rasul (ittiba' atau mengikuti Rasulullah) dengan tidak berbuat bid'ah. Bila ibadah yang kita lakukan tidak sesuai dengan petunjuk Rasul, maka ia akan tertolak.

'Aisyah radhiallahu 'anha berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak." (HR. Bukhari No. 2499, 2550, Muslim No. 1718, 3242, 3243, Abu Dawud 4606, Ibnu Majah No. 14)

Dalam haditsnya yang lain, beliau bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Bukhari No. 6705).

Dalam hadits lain yang senada beliau juga bersabda, “Ambillah dariku tuntunan manasik haji kalian.” (HR. Muslim no. 1297)

Maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah ber-ittiba’ kepada sunnah Rasul Shalallahu 'alahi wasallam yang berarti tidak boleh ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi. Artinya dilarang membuat perkara-perkara baru atau bid'ah dalam urusan agama pada hal tata cara beribadah. Karena ALLAH telah mengisyaratkan untuk mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad yakni sunnah beliau agar diikuti. ALLAH Subhanahu wa ta'ala berfirman, "Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai ALLAH, ikutilah aku (Muhammad), niscaya ALLAH mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu!' ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran [3]: 31)
  1. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)

Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada ALLAH Subhanahu wa ta'ala maupun dengan makhluk-makhluk-NYA. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia terlebih lagi di akhirat. Karena akhlak yang mulia begitu penting bagi umat manusia, maka salah satu tugas diutusnya Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, di mana beliau sendiri langsung mencontohkan kepada kita bagaimana keagungan akhlaknya sehingga diabadikan oleh ALLAH Subhanahu wa ta'ala di dalam Al Qur’an sesuai firman-NYA yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung”. (QS. Al-Qalam [68]:4).

Dan dinukilkan dalam sebuah hadits bahwasannya beliau telah bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 273 [Shahiihul Adabil Mufrad no. 207], Ahmad II/381, dan al-Hakim II/613, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 45).

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah juga bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling mulia akhlaknya." (HR. Bukhari No. 5575)
  1. Mutsaqqoful Fikri (wawasan yg luas)

Mutsaqqoful fikri wajib dipunyai oleh pribadi muslim. Karena itu salah satu sifat Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam adalah fathanah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman ALLAH yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ' pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.' Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah ALLAH menerangkan ayat-ayat-NYA kepadamu supaya kamu berfikir”.(QS al-Baqarah [2]: 219)

Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Untuk mencapai wawasan yg luas maka manusia dituntut utk mencari/menuntut ilmu, seperti apa yg disabdakan beliau Shalallahu 'alahi wasallam, “Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim.” (Shahihul Jami’ No. 3913).

ALLAH juga sangat mengutamakan ilmu dan wawasan pada diri seorang Muslim. DIA berfirman, "Katakanlah, 'samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. az-Zumar [39]: 9). Hal ini menunjukkan bahwasannya orang yang berilmu itu tidak sama dengan orang yang itdak berilmu. Sedang ALLAH Subhanahu wa ta'ala juga membedakan derajat seseorang yang memiliki ilmu seperti dalam firman-NYA, "Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu, 'Berlapang-lapanglah dalam majlis', maka lapangkanlah niscaya ALLAH akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, 'Berdirilah kamu', maka berdirilah, niscaya ALLAH akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Mujaadilah {58]: 11)

Rasulullah bersabda, "Keutamaan sesorang ‘alim (berilmu) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya (warisan ilmu) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak." (HR. Tirmidzi). Dari keterangan Nabi Muhammad ini, kita bisa melihat salah satu dari keutamaan orang yang memiliki ilmu daripada yang hanya sekedar ahli ibadah saja. Terdapat banyak keutamaan-keutamaan lain dari ilmu seperti yang beliau juga sabdakan. “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan memahamkan baginya agama (Islam).” (HR. Bukhari No. 2948, Muslim No. 1037). Dan masih banyak lagi keutaman-keutamaan ilmu dalam agama ini yang mungkin akan membutuhkan banyak space dalam wacana di sini sehingga tidak bisa saya sebutkan semua.
  1. Qawiyyul Jismi (jasmani yg kuat)

Seorang muslim haruslah memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan kondisi fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Dan terkadang sakit atau musibah juga bisa menjadi penyebab dihapusnya suatu dosa, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh ucapan Nabi Shalallahu 'alahi wasallam, "
"Tidaklah suatu musibah yang menimpa seorang muslim bahkan duri yang melukainya sekalipun melainkan Allah akan menghapus (kesalahannya)." (HR. Bukhari No. 5209) 

Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Bahkan Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam menekankan pentingnya kekuatan jasmani seorang muslim seperti sabda beliau, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala daripada orang mukmin yang lemah.” (HR. Muslim No. 4816).
  1. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)

Hal ini penting bagi seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah bersabda yang artinya: "Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-NYA, tidak beriman seseorang dari kamu sekalian sehingga menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa dengannya (yakni Islam ini)." (HR. Al-Hakim dari sahabat 'Amru bin 'Ash radhiyallahu 'anhu, dengan sanad yang hasan shahih menurut Imam An-Nawawi di dalam Hadits Arba’in No. 41)

Hal ini senada dengan firman ALLAH, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila ALLAH dan Rasul-NYA telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai ALLAH dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab [33] : 36)

Dan firman-NYA, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS An-Nisaa’ [4] : 65)

Juga pada ayat lain disebutkan, "Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. Al-Jaatsiyah [45]: 18) Hal ini mengisyaratkan diwajibkannya untuk memerangi hawa nafsu demi mengikuti apa yang telah disyari'atkan oleh agama.
  1. Harishun Ala Waqtihi (disiplin menggunakan waktu)

Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari ALLAH dan Rasul-NYA. ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri (demi waktu fajar), wad dhuha (demi waktu matahari naik sepenggalahan / dhuha), wal asri (demi masa), wallaili (demi malam) dan seterusnya. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk disiplin mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Shalallahu 'alahi wasallam adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara.

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara; Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadraknya, dikatakan shahih oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini juga dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir).
  1. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)

Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Dimana segala suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat, berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas. ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala berfirman, "Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain." (QS. Al-Insyirah [94]: 7)
  1. Qodirun 'Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri / mandiri)

Qodirun 'alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah harus miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umrah, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi. Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala. Rezeki yang telah ALLAH sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau keterampilan.
Dalam meraih itu semua, ALLAH mewajibkan kita untuk selalu berusaha dan tidak menggantungkan diri pada takdir serta diharapkan untuk mampu mandiri tanpa pula harus bergantung kepada orang lain. Hal ini tersirat dalam salah satu firman-NYA yang amat terkenal yakni, "Sesungguhnya ALLAH tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar Ra'd [13]: 11).
  1. Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)

Manfaat yang dimaksud di sini adalah manfaat yang baik sehingga di manapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak memiliki pengaruh apapun terhadapa keadaan di lingkungan sekitarnya. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Ada sebuah ungkapan yang oleh sebagian Muslim dianggap sebagai sebuah sabda Nabi yakni, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. (HR. Qudhy dari Jabir radhiyallahu 'anhu). Namun tak ada penjelasan yang jelas mengenai derajat sanad hadits ini sehingga tidak bisa langsung dikatakan bahwa itu berasal dari Rasulullah. Namun yang harus kita perhatikan dari ungkapan tersebut adalah matan atau kandungannya yang baik (hasan).

Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka ALLAH akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka ALLAH menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari qiyamat. Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka ALLAH akan menutup aibnya pada hari qiyamat." (HR. Bukhari No. 2262, dan hadits senada telah di-takhrij juga oleh Imam Muslim No. 2699 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang tertera dalam urutan hadits ke-36 dalam kitab Arba'in An Nawawiyah dengan tambahan lafadz, "ALLAH senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya. .......").

Untuk meraih kriteria Pribadi Muslim di atas membutuhkan mujahadah dan mulazamah atau kesungguhan dan kesinambungan. ALLAH Subhanahu wa Ta'ala berjanji akan memudahkan hamba-NYA yang bersungguh-sungguh meraih keridhaan-NYA. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya ALLAH benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut [29]: 69). ALLAHu Ta'ala 'alam bis shawwab...

Rabu, 09 November 2011

Aku Pasti Datang

Muhammad Vicky Nur Iman
This is my brother named Vicky, his complete name is Muhammad Vicky Nur Iman. He is now work as a Financial Director at a new company he have found with his best friend which is called NURECO Energy.


But I will not telling you more about his personal life anyway. I will just show you one of my movie where's my brother here become the main actor. It's called "Aku Pasti Datang" or in english "I Will Surely Come." Check it out below!


Selasa, 08 November 2011

Penyakit Hati (tamak)


SERAKAH yaitu sikap tidak puas dengan yang menjadi hak atau miliknya, sehingga berupaya meraih yang bukan haknya. Setiap orang berpotensi bersikap serakah.

“Jika seseorang sudah memiliki dua lembah emas, pastilah ia akan mencari yang ketiganya sebagai tambahan dari dua lembah yang sudah ada itu” (H.R. Bukhari dan Muslim).

“Jika seorang anak Adam telah memiliki harta benda sebanyak satu lembah, pasti ia akan berusaha lagi untuk memiliki dua lembah. Dan andaikata ia telah memiliki dua lembah, ia akan berusaha lagi untuk memiliki tiga lembah. Memang tidak ada sesuatu yang dapat memenuhi keinginan anak Adam kecuali tanah (tempat kubur, yakni mati). Dan Allah akan menerima tobat mereka yang bertobat” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).

Sikap serakah dapat mendorong orang mencari harta sebanyak-banyaknya dan jabatan setinggi-tingginya, tanpa menghiraukan cara halal atau haram. Karena serakahlah banyak pejabat korupsi, padahal mereka sudah bergaji besar, lebih dari cukup, plus berbagai tunjangan.

Keserakahan pun dapat membuat seseorang bersikap kikir alias tidak dermawan dan tidak peduli akan nasib orang lain. Serakah dan tamak telah membinasakan kaum sebelum umat Muhammad Shalallahu 'alahi wasallam.

“Jauhkanlah kikir dan tamak, karena hal itu telah membinasakan orang-orang sebelum kamu” (HR Muslim).  

Wallahu a’lam.

Kamis, 27 Oktober 2011

Dengan Nama-MU

Ini adalah film Tugas Akhir (TA) D3 gua di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), yang gua bikin bersama teman-teman gua sebagai syarat kelulusan kuliah pada tahun 2011. Check this out!


Judul:
"Dengan Nama-MU"

Produser:
Jehan Fransisca

Penulis & Sutradara:
Muhammad Valdy Nur Fattah

Director of Photography:
Farhan Bastian Sanjaya

Music Director:
Yocktan Tobhias
Kevin Radyan

Original Soundtrack "Tersesat" by:
Akhina, Arnan Maming Paturusi (Music Arranger)
Muhammad Valdy Nur Fattah (Vocal, Song, & Lyric)
Laa Tahzan Music Recording Manggarai

Durasi:
15 menit 40 detik (15 minutes and 40 seconds)

Pemain:
Vana Balweel, Udin Mandarin, & Rachmat Udin

Lokasi:
SMA Islam Putra Pesantren As Syafi'iyah, Jatiwaringin, Bekasi

Sinopsis:
Seorang santriwati yang meminta cincinnya kembali setelah dipinjam oleh seorang Kakek. Kakek tersebut bersumpah telah mengembalikan cincin Safira, tapi Safira tetap yakin jika Kakek itu berbohong. Apakah Safira mampu membuktikan bahwa si Kakek bersalah, atau justru dia yang berdusta?

Note:
Ending Credit Title akan muncul sedikit lambat di bagian akhir film. So, jangan terburu-buru menghentikan film dan tunggu hingga credit title-nya muncul hingga selesai. Enjoy The Movie! (^_^)

Untuk menonton film ini, silahkan buka di link berikut ini; "Dengan Nama-MU The Movie"

Atau langsung menyaksikan dari Video YouTube berikut;

Rabu, 26 Oktober 2011

MENAMAKAN DIRI SALAFY ADALAH BID'AH!




Bismillahirrahmanirrahim...

                Sebagai seorang Muslim yang baik, sudah sepatutnya lah kita untuk tegar lurus di atas sunnah sebagaimana manhaj para Salafus Shalih atau yang lebih dikenal secara syar'i itu sebagai kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Nama Ahlus Sunnah wal Jama'ah dinisbatkan kepada para Muslimin dan Muslimat yang memiliki cara beragama Islam sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa 'ala alihi wasallam, para shahabat, tabi'in dan para tabi'ut tabi'in atau dikenal sebagai tiga generasi terbaik (Salafus Shalih). Perhatikan nash-nash shahih sebagai berikut;

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, ALLAH ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada ALLAH dan ALLAH menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah [9]: 100)

Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)

Sesungguhnya kalian akan hidup setelahku, kalian akan mendapati banyak perselisihan. Maka, pegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang teguh sunnah dan gigit dengan gerahammu. Dan hati-hatilah dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. At-Tirmidzi No. 2676)

                Jalan atau manhaj beragama Islam yang benar adalah dengan mengikuti para salaf (generasi terbaik umat ini). Adapun penisbatan nama Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang telah disepakati oleh para ulama berdasarkan dalil sebagai berikut;

Dari Abu Amir Abdullah bin Luhai, dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya ia (Mu'awiyah) pernah berdiri dihadapan kami, lalu ia berkata : "Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda : "Ketahuilah sesungguhnya orang‐orang sebelum kami dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. Adapun yang tujuh puluh dua (72) akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu Al‐Jama'ah." (HR. Abu Dawud No. 4597, Ad Darimi 2/241, Imam Ahmad 4/102, Al Hakim 1/128)

                Sementara yang dimaksud dengan Al Jama'ah pada hadits di atas dijelaskan dalam hadits yang lain; Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 millah (agama), sementara umatku berpecah menjadi 73 millah (agama). Semuanya di dalam neraka, kecuali satu millah." Shahabat bertanya, "Millah apa itu?" Beliau Saw menjawab, "Yang aku berada di atasnya dan juga para shahabatku." (HR. At Tirimidzi No. 2565, Ibnu Majah No. 3981)

Untuk lebih memahami tentang takhrij dan tashih serta derajat sanad hadits ini, bisa dilihat di link berikut: Tulisan Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

                Sehingga dapat disimpulkan bahwasannya untuk menempuh firqatun najiyah (jalan yang selamat) adalah dengan manhaj yang diikuti oleh para salafus shalih atau dikenal sabagai manhaj salaf. Namun, ada sebagian golongan umat ini yang mengklaim dirinya sebagai 'aliran yang paling benar' dan menamakan jama'ah dakwah mereka sebagai Salafiy atau Salafiyyun. Dakwah mereka mengajak kita kepada tauhid (mengesakan ALLAH) dengan memurnikan aqidah dengan berpegang teguh pada Al Qur'an Al karim dan As Sunnah As Shahihah dengan pemahaman para Salafus Shalih yang diberi petunjuk, menjauhi segala bid'ah dan khurafat dalam umat ini; tapi kelemahan dakwah mereka adalah rentan menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Muslimin yang lain. Mereka cenderung mudah membid'ahkan atau bahkan mengkafirkan (memurtadkan) golongan Muslim yang berada di luar kalangan mereka. Padahal ALLAH berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al Hujurat [49]: 11-13)

Dari sahabat Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Saw bersabda;
"Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan 'kafir' atau 'musuh' ALLAH, padahal tidak demikian (pada kenyataannya), maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh." (HR. Bukhari No. 3317 & No. 5698, Muslim No. 214)

Kita tidak akan membahas apa penyimpangan dakwah dari golongan yang mengklaim diri mereka sebagai Ahlus Sunnah wl Jama'ah dan menyebut diri mereka sebagai Salafi. Adapun jika ingin melihat tanggapan seorang ikhwan yang kecewa dengan cara berdakwah 'extreme' dari golongan Salafi ini silahkan dibaca pada link berikut:  kepada-saudaraku-salafi

                Bermanhaj dengan manhaj salaf adalah dibenarkan secara syar'i, akan tetapi adapun penisbatan dan menamakan diri sebagai tidak pernah secara gamblang atau jelas dituturkan oleh nash-nash shahih. Sebagian mereka berpendapat dengan dalil shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Fatimah Radhiyalahu ‘anha ketika sakit yang membuatnya meninggal, beliau berkata : “Bertakwa dan bersabarlah engkau wahai Fatimah, sungguh pendahulu (salaf) yang paling baik bagimu adalah aku.” Namun tak ada keterangan yang pasti bahwa Rasulullah memerintahkan kita untuk menjadi seorang Salafy atau Salafiyyun. Bahkan yang shahih dan datangnya dari Al Qur'an telah jelas bahwa kita tidak bisa menamakan diri kita selain Muslim atau Mukmin sebagaimana nash-nash shahih berikut;

"(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (ALLAH) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali ALLAH. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong." (QS. Al Hajj [22]: 78)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada ALLAH sebenar-benar takwa kepada-NYA; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam (keadaan beragama) Islam." (QS. Ali Imran [3]: 102) Dengan kalimat 'laa tamuwtunna illa wa antum muslimun' yang memiliki pengertian bahwa hanya seseorang atau golongan yang bernama Muslim (beragama Islam) yang diridhai ALLAH sebagaimana Firman-NYA, " Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi ALLAH hanyalah Islam." (QS. Ali Imran [3]: 19)

                Bahkan dalam suatu riwayat dari jalur Imam al Harits al Asy'ari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Panggillah kaum Muslimin dengan nama mereka dan dengan panggilan yang diberikan oleh ALLAH kepada mereka; Muslim, Mukmin, dan Ibadullah (hamba ALLAH)." (HR. Imam Ahmad dalam Musnad-nya, Vol. 4 hal. 161)

                Sudah seharusnya kita dengan PeDe (percaya diri) atau dengan tegas mengatakan bahwa diri kita adalah seorang Muslim, bukan seorang Salafy, bukan Ikhwaniy atau Ikhwah (pengikut Al Ikhwanul Muslimin), bukan Nahdhliyyin (pengikut Nahdhlatul Ulama), dan lain-lain.

                Hal yang senada diutarakan oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang paling terkenal yaitu Majmu' Al Fattawa pada Volume 3 halaman 415. Beliau Rahimahullah berkata, "Menjadi sebuah kewajiban bagi seorang Muslim, jika seseorang bertanya, 'bagaimana aku harus memanggil/ menamai diriku?' agar menjawab, 'Saya bukan Shukaili, bukan Kurfandi, Imam Muslim, dan saya mengikuti Al Qur'an dan As Sunnah.' - pada zaman itu ada seorang pria yang bernama Shukaili dan orang-orang yang mengikutinya, menamai diri mereka Shukaili - Kita tidak akan berpaling dari nama-nama yang diberikan ALLAH Subhanahu wa ta'ala kepada kita, ke dalam nama-nama yang dibuat orang dan orang tuanya, yang tidak diizinkan ALLAH Subhanahu wa ta'ala."

                Imam Malik rahimahullahu ta'ala pernah ditanya oleh seseorang, "Siapa Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu?" Lalu beliau menjawab, "Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah mereka yang tidak memiliki gelar, baik Jahmiy (pengikut aliran sesat Jahmiyyah), ataupun Qadariy (pengikut aliran sesat Qadariyah), maupun Rafidhiy (pengikut aliran sesat Syi'ah)." Hal ini termaktub dalam Kitabul Intiqa'.

                Juga dibukukan Ad Durr Al mantsur dari Imam As Suyuthi; jilid 2 halaman 63, bahwa Imam Malik bin Maghul (wafat 195 H) berkata, "Jika seseorang memanggil dirinya dengan suatu panggilan yang tidak diajarkan Islam atau As Sunnah, maka sesungguhnya dia telah memanggilnya dengan panggilan ajaran agama (selain Islam) sesuai agama yang kamu ingini."

                Jadi menamakan diri dengan selain nama-nama yang telah diajarkan oleh ALLAH dan Rasul-NYA adalah bid'ah dan belum ada satu dalil pun yang membolehkannya. Termasuk menamakan diri sebagai Salafiy atau berkata, "Saya Salafiy" merupakan bid'ah yang tak ada dasar serta tuntunannya dalam ajaran Rasulullah Muhammad Shalallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam!

Walau ada pendapat dari Imam besar ahli hadits terkemuka abad ke-20; Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah yang membolehkan hal tersebut. Beliau berkata ketika ditanya tentang masalah ini, "Akan tetapi ada orang yang mengaku berilmu mengingkari nisbah salafiyah dengan menyangka bahwa penisbahan ini tidak ada landasannya sehingga dia mengatakan : “Tidak boleh, seorang muslim berkata, "Saya salafi”. Seakan-akan dia mengatakan, "Tidak boleh seorang Muslim mengatakan, 'Saya mengikuti salafush shalih dalam jalan mereka dalam aqidah, dan suluk!'. Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini mengharuskan berlepas diri dari Islam yang shahih yang ditempuh oleh salafush shalih." Namun bila kita menelaah perkataan beliau ini, tak ada isyarat bahwa kita harus berpisah dengan jama'ah Muslimin yang lain dengan menyebut "Saya Salafi!"

                Jika sebagian orang berdalil dengan perkataan beliau - yang kemungkinan besarnya disalahpahami ini - maka dia telah menentang apa yang telah ALLAH dan Rasul-NYA turunkan. Dan penting untuk kita ingat bahwa tak ada ucapan salah seorang manusia pun yang boleh menyelisihi apa yang telah shahih dan qath'i (pasti) datang dari ALLAH Subhanahu wa ta'ala dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam

Telah tetap sebuah atsar shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau berkata :

يوشك أن تنزل عليكم حجارة من السماء أقول: قال رسول الله وتقولون: قال أبو بكر وعمر
Sungguh nyaris kalian ditimpa hujan batu dari langit. Saya mengatakan sabda Rasulullah, kalian malah menjawab dengan ucapan Abu Bakar dan ’Umar.

Bahkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam pun tidak boleh diselisihi pendapatnya dengan seorang Nabi pun sebelumnya sebagaimana tersirat pada hadits beliau, "Umar ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa sebuah kitab (taurat) yang diperolehnya dari sebagian ahlul kitab. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun membacanya lalu beliau marah seraya bersabda: “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada mereka (ahlul kitab), sehingga mereka mengabarkan al-haq (kebenaran) kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.” (HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/387 dan Ad-Darimi dalam muqaddimah kitab Sunan-nya no. 436. Demikian pula Ibnu Abi ‘Ashim Asy-Syaibani dalam kitabnya As-Sunnah no. 50. Hadits ini dihasankan oleh imam ahlul hadits di jaman ini Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani v dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah dan Irwa`ul Ghalil no. 1589.)

ALLAH Subhanahu ta'ala berfirman, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya." (QS. Al Hasyr [59]: 7)

                Mengikuti manhaj para generasi terbaik umat ini atau As Salafus Shalih merupakan sebuah kewajiban, namun menamakan diri dengan As Salaf (orang-orang terdahulu) atau menisbatkan diri pada mereka adalah bid'ah. Karena jika begitu, maka manhaj yang diikuti oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Shahabatnya juga berasal dari pendahulunya yang notabene adalah kaum jahiliyah. Karena kaum sebelum Nabi Muhammad adalah kaum jahiliyah yang berasal dari sebagian umat Yahudi dan Nasrani serta umat-umat jahiliyah lain yang tidak mentauhidkan ALLAH Subhanahu wa ta'ala dalam keyakinannya. Maka sungguh Rasulullah sendiri yang memerintahkan kita untuk tidak mengikuti kaum-kaum sebelum mereka. Hal ini didasari oleh sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ  
  قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
"Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti tradisi/kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak-pun kalian pasti akan mengikuti mereka." Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka?" (HR. Muslim No. 4822)

Wallahu'alam bis shawab...

Ana tulis sendiri dari berbagai reference. Untuk lebih memahami siapakah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang sebenarnya, bisa merujuk pada buku "Ahlus Sunnah wal Jama'ah; Their Belief, Attributes, and Qualities (Ahlus Sunnah wal Jama'ah; Keyakinan, Sifat, dan Kualitasnya)" yang dituls oleh Syaikh Omar Bakri Muhammad, cetakan 1 - Jakarta: Gema Insani Press: 2005.

27 Oktober 2011/ 29 Dzulqaidah 1432 H
Muhammad Valdy Nur Fattah ibn Mohammad Safiq a.k.a Abdulkhaliq Al Majriti a.k.a Abdullah ibnu Abi Abdillah