Selasa, 17 April 2012

Sanggahan Terhadap Buku Membela ALLAH (Agus Mustofa)


Agus Mustofa

Buku "Membela Allah"
Dalam sebuah buku berjudul "Membela Allah" yang ditulis oleh salah seorang pencetus ideologi Tasawuf Modern di Indonesia, Agus Mustofa, nampak terlihat sekali kerancuan pemikiran dan kedangkalan ilmunya dalam menyikapi hal berkenaan dengan tafsir Al Qur'an dan penggunaan Hadits (sunnah) Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa sallam. Beliau (Agus Mustofa) enggan disebut dirinya sebagai munkaris sunnah (orang yang ingkar terhadap sunnah), namun dari buku-bukunya kita bisa mengetahui bahwa beliau ini adalah seorang Ingkar Sunnah namun beliau tak menyadarinya. Berikut akan saya paparkan tulisan-tulisan beliau yang mengindikasikan bahwa ia ingkar sunnah disertai bantahannya Insya ALLAH:

1. Kontroversi penggunaan As Sunnah (Hadits)

Pernyataan:

Saya memang merujuk sumber Al Qur'an jauh lebih banyak dibandingkan dengan sumber hadits. Tentu saja saya punya alasan. Tetap saya sama sekali tidak inkar sunnah. Apalagi, dituduh ingkar kepada Rasulullah SAW yang sangat saya cintai dan saya muliakan. Itu benar-benar tidak bertanggung jawab.

Ada dua hal yang sangat mendasar yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini. Yang pertama, kenapa saya mengambil sumber ayat-ayat Qur'an lebih banyak dari hadits. Dan yang kedua, masa iya saya dituduh tidak taat pada Rasulullah hanya karena lebih banyak mengambil ayat-ayat Qur'an dibandingkan hadits. Padahal kita tahu, bahwa Al Qur'an adalah warisan utama beliau, di samping keteladanan yang beliau tunjukkan dalam amalan maupun ucapan sepanjang hidup dan masa kenabiannya.

Yang pertama, kenapa saya lebih banyak mengambil ayat-ayat Qur'an daripada hadits. Ada sejumlah alasan yang ringkasnya sebagai berikut.

1.) Karena Al Qur'an adalah petunjuk utama yang kebenaran dan keontetikannya terjaga 100%. Dan siapa saja yang tidak mengambil Al Qur'an sebagai sumber petunjuknya, dijamin ia sedang berkawan dengan setan. Dia akan disesatkan olehnya, dan mengira sedang mendapat petunjuk padahal bukan.

QS. Al Hijr (15): 9


"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya."

QS. Al Baqarah (2): 2


"Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa."

QS. Az Zukhruf (43): 36-37


"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.

"Dan Sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk."

2.) Terjadi pertengkaran yang sangat serius di kalangan umat Islam sendiri, terkait dengan sumber-sumber hadits dan periwayatnya. Terutama antara Syi'i dan Sunni. Kelompok yang satu mengharamkan yang lain. Bahkan saling menghancurkan dan saling membunuh, sejak zaman para sahabat sampai sekarang, ratusan tahun. Apakah kita akan ikut mengabadikan dengan tetap memelihara perbedaan antara mereka? Sebenarnya, mereka tidak memiliki perbedaan serius terkait pengambilan ayat-ayat Qur'an. Artinya, penggunaan ayat-ayat Qur'an sebagai sumber petunjuk utama bisa digunakan untuk 'mendamaikan' perbedaan yang sangat mencolok antara kalangan umat Islam sendiri, disebabkan keontetikannya yang terjamin sampai kini. Sedangkan penggunaan hadits sering memunculkan perdebatan tak ada akhirnya disebabkan berbagai hal, mulai dari ketidaksetujuan pada periwayatnya, ketidakcocokan isinya dengan realitas ilmu pengetahuan, keasliannya, dan sebagainya. Masing-masing memiliki metodologi yang sulit untuk disatukan. Dan berakhir dengan pertengkaran yang rumit serta tidak ada habisnya. Penggunaan hadits sesedikit mungkin, dan memperbanyak penggunaan ayat-ayat Qur'an yang sudah diyakini bersama keotentikannya menjadi jalan keluar yang menyejukkan bagi persatuan umat Islam.

3.) Secara simultan, penggunaan hadits tidaklah bersifat mutlak dalam memahami al Qur'an. Karena tidak semua ayat Qur'an ada penjelasannya di hadits.  Karena itu, juga tidak semua ayat Qur'an ada asbabun nuzul-nya. Tidak sampai separonya saja ayat Qur'an yang ada asbabun nuzul-nya, dan ada penjelasannya di dalam hadits. Sehingga, sebagaimana telah kita bahas di depan, tafsir menggunakan metode periwayatan -metode ma'tsur- mengalami masalah serius disebabkan oleh pertengkaran di sekitar keontentikan sumber periwayatannya. Sehingga Imam Ahmad mengatakan, bahwa pakar riwayat sebenarnya tidak menjamin kemutlakannya, melainkan sekadar menyodorkan hasil karyanya untuk diteliti lebih jauh kebenarannya. Dan memang pada kenyataannya, redaksi untuk peristiwa yang sama bisa beragam seiring dengan periwayat yang berbeda. Bahkan isinya juga bisa bertabrakan. Sebagaimana telah saya bahas dalam buku serial ke-18, Metamorfosis Sang Nabi. Bisa bertabrakan antara sesama periwayat, atau bertabrakan dengan realitas.

4. Penggunaan hadits sebagai sumber informasi tidak boleh berdiri sendiri, melainkan haruslah menyertakan ayat-ayat Qur'an yang menjadi rujukannya. Sebaliknya, penggunaan ayat al Qur'an tidak harus menggunakan hadits sebagai penjelas. Ini dikarenakan fungsi hadits adalah penjelas ayat al Qur'an, tetapi tidak semua ayat al Qur'an ada penjelasannya di hadits. [1]

Tanggapan saya:

Kitab Hadits
1.) Benar bahwa sumber utama dalam agama ini (Islam) adalah merujuk kepada kitabullah (Al Qur'an) yang keautentikannya dijamin keterjagaannya oleh ALLAH Azza wa Jalla. Namun adalah sebuah kesalahan besar apabila ada seseorang yang ingin berpegang teguh dengan al Qur'an al Karim tanpa memahaminya dengan bantuan al Hadits (Sunnah). 

Kita dapat melihat sendiri kebanyakan firqah (kelompok) sesat mengklaim telah berpegang teguh kepada Al Qur'an, padahal mereka berpedoman kepada takwil dan penafsiran yang menyimpang, sebagaimana yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Mereka semua merasa telah cukup dengan berpedoman pada Al Qur'an saja tanpa bantuan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah pernah bersabda;

“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga,).”[2]

Sungguh ini adalah sebuah kesombongan yang besar terhadap Rasulullah dengan menganggap dirinya bisa menguasai hakikat kebenaran Al Qur'an tanpa menggunakan hadits atau sunnah dalam memahami ayat-ayat-NYA. Ini mengindikasikan bahwa penting sekali menggandengkan antara Qur'an dan Sunnah dalam berbagai macam permasalahan agama.

2.) Menarik juga untuk diketahui bahwasannya, Agus Mustofa tidak benar-benar memahami perbedaan yang mendasar dan sangat bertolak belakang antara kelompok Sunni (Ahlu Sunnah wal Jama'ah) dengan Syi'i (Syi'ah Rafidhah) dalam menukil hadits dikarenakan perbedaan yang besar di antara aqidah mereka. Syi'ah termasuk golongan sesat yang sejatinya telah keluar dari Islam sehingga tak bisa dibilang bahwa kehadiran hadits telah menjadi perdebatan yang sangat besar di kalangan umat Islam, melainkan perdebatan besar dengan yang berada di luar barisan Islam yang haq.

Untuk mengetahui di mana letak perbedaan aqidah Syi'ah dengan aqidah Ahlus Sunnah yang haq, bisa dilihat di link berikut: Syi'ah Memang Beda

3.) Agus Mustofa mengatakan bahwa tidak perlu menggunakan hadits untuk menjelaskan Al Qur'an. Lantas bila demikian, apakah di dalam Al Qur'an terdapat perincian tentang shalat, zakat, haji, atau dzikir-dzikir? Bahkan dalam Al Qur'an sendiri menerangkan pentingnya untuk mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam. Sunnah Rasulullah itu telah ada di Al Qur'an, jadi tidaklah benar apabila mengabaikannya. ALLAH berfirman:

"Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seseorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al Baqarah [2]: 129)

Imam Abdullah An-Nasafi (w. 710 H) berkata, "Yang dimaksud membacakan kepada mereka ayat-ayat-MU yaitu membacakan dan menyampaikan kepada mereka bukti-bukti keesaan ALLAH dan kebenaran para nabi yang diutus berdasarkan wahyu yang diturunkan. Dan, yang dimaksud mengajari mereka Al-Kitab yaitu mengajarkan Al-Qur`an kepada mereka. Sedangkan yang maksud al-hikmah yaitu Sunnah Nabi dan pemahaman Al-Qur`an. Adapun maksud menyucikan mereka adalah membersihkan mereka dari perbuatan syirik dan segala najis. Jadi, makna al-hikmah dalam ayat ini adalah Sunnah."

Tentang ayat ini, Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan dalam kitab tafsirnya, bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat ALLAH adalah ayat-ayat Al-Qur`an. Sedangkan yang dimaksud al-hikmah yaitu Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan keduanyalah (Al-Qur`an dan Sunnah) seorang mukmin dapat memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan. [3]

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Yang kudengar dari keterangan para ulama Al Quran, mereka mengatakan bahwa Al Hikmah adalah Sunnah (hadits) Rasulullah.” [4]

Di dalam Al Qur'an pula terdapat perintah untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam. ALLAH Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai ALLAH, ikutilah aku, niscaya ALLAH mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran [3]: 31)

Katakanlah, "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan ALLAH kepadamu semua, yaitu ALLAH yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada TUHAN (yang berhak disembah) selain DIA, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada ALLAH dan Rasul-NYA, nabi yang ummi yang beriman kepada ALLAH dan kepada kalimat-kalimat-NYA (kitab-kitab-NYA) dan  ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." (QS. Al A'raaf [7]: 158)

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah ALLAH dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu." (QS. Muhammad [47]: 33)

Maka sudah menjadi suatu kewajiban bagi seorang Muslim untuk mengikuti Sunnah Rasul-NYA sebagai bentuk pengejawantahan dari Al Qur'an. Bahkan secara shahih diriwayatkan bahwa wasiat terakhir Rasulullah itu adalah untuk berpegang teguh kepada Sunnahnya serta Sunnah Khulafa'urrasyidin. Rasulullah bersabda;

بِالنَّوَاجِذِ عَلَيْهَا عَضُّوا عْدِيبَ مِنْ الرَّاشِدِينَ الخُلَفَاءِ وَسُنَّةِ بِسُنَّتِي عَلَيْكُمْ

Hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa Ar-Rasyidin setelahku, gigitlah dengannya dengan gigi geraham kalian.” [5]

Bahkan Rasulullah mengatakan bahwasannya siapa saja yang tidak mengikuti sunnah beliau atau benci dengan sunnahnya, tidaklah termasuk dari golongan umat beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam sabdanya;

مِنِّي فَلَيْسَ سُنَّتِي عَنْ رَغِبَ فَمَنْ

"Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku." (HR. Bukhari No. 4675, Muslim No. 2487)

Karena sesungguhnya, As Sunnah merupakan segala macam hal yang datangnya dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam dan Sunnah Rasulullah itu merupakan sebuah wahyu. ALLAH berfirman:

 
"Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya." (QS. An Najm [53]: 3)

Shahih Bukhari-Muslim
Abdullah bin Amr mengatakan, “Dahulu aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena) aku ingin menghafalkannya. Maka orang-orang Quraisy pun menghalang-halangiku. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya kamu telah menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia biasa. Beliau terkadang berbicara dalam keadaan marah.” Maka aku (Abdullah bin Amr) menghentikan diri dari menulis (hadits-hadits Nabi). Kemudian kejadian itu aku laporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda, Tulislah! [6] Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah keluar dariku melainkan al haq (kebenaran).” [7]

2. Metode penafsiran Qur'an tanpa menggunakan As Sunnah (Al Hadits)

Pernyataan:

Tuduhan bahwa saya tidak taat kepada Rasulullah karena tidak menggunakan hadits dalam penafsiran adalah terlalu berlebihan, sangat provokatif, dan tidak bertanggung jawab. Tidak digunakannya hadits untuk melakukan penafsiran al Qur'an tidak serta merta menyebabkan kita mengingkari Rasulullah SAW.

Kenapa? Karena sesungguhnyalah hadits-hadits yang dimaksudkan sebagai kutipan ucapan dan perbuatan Rasulullah SAW itu adalah hasil penelusuran yang panjang pada zaman pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz dan setelahnya. Karena itu redaksi hadits selalu diceritakan oleh sahabat kepada orang lain, lalu kepada orang lain lagi, sampai ke generasi penulisnya, setelah lebih dari 100 tahun zaman Rasulullah.
Al Qur'an Al Karim

Berbeda dengan al Qur'an yang redaksinya langsung berasal dari Allah, dan teksnya terjaga selama belasan abad. Tidak ada perbedaan antara teks al Qur'annya Syi'i dengan Sunni, atau pun golongan manapun yang mengaku dirinya Islam. Perbedaannya adalah bagaimana mereka menafsirkan lewat metodologi yang mereka bikin sendiri. Karena itu, jika terjadi perbedaan maka Allah memerintahkan untuk melakukan tabayyun

Jadi, hadits adalah karya ilmiah dari pakar-pakar hadits yang dibukukan, dan kemudian dibuat kesepakatan-kesepakatan tentang kualitas dan ketepercayaannya. Sangat banyak ayat-ayat Qur'an yang tidak ada penjelasan haditsnya, terutama ayat-ayat ilmu pengetahuan, yang justru mendorong umat Islam untuk melakukan pengamatan langsung di lapangan lewat penelitian-penelitian secara ilimiah.

Ini pendapat yang lebih lengkap dari Agus Mustofa tentang pengertian hadits & sunnah, bisa dibaca di link berikut iniSalah Kaprah Pendefinisian Agus Mustofa Terhadap Snnah dan Hadits

Saya sudah banyak membahas ini di buku-buku sebelumnya. Perintah untuk melakukan penelitian biologi, fisika, geologi, astronomi, kedokteran, pertanian, dan lain sebagainya, ditegaskan oleh al Qur'an karena anda tidak akan menemukan penjelasan detilnya di hadits. Bahkan juga tidak di dalam al Qur'an.

Pemahaman ayat-ayat Kauniyah adalah salah satu tema yang sering diulang-ulang oleh Allah dalam al Qur'an, agar seorang hamba menemukan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya. Dan itulah proses sains.

Dengan demikian, al Qur'an sendiri yang mengajari kita, bahwa ayat-ayat Qur'an sebenarnya bisa langsung ditafsiri dengan menggunakan data-data ilmu pengetahuan. Bahwa kemudian, data-data itu bersifat relatif dan selalu mengalami update, ya memang begitulah kenyataannya. Seluruhnya bersifat relatif, sebagaimana ilmu pengetahuan juga relatif.

Yang penting, proses relatif itu bisa terus mengantarkan kita untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Penguasa Segala. Semakin kagum kepada-Nya. Bertasbih dan memuji keagungan-Nya. Serta menaati perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. [8]

Bila ingin melihat salah satu tulisan beliau (Agus Mustofa) tentang metode tafsir, bisa dilihat di link berikut: Metode Tafsir menurut Agus Mustofa

Tanggapan saya:
Syarah Shahih Bukhari "Fathul Baari" karya Imam Ibnu Hajar

1.) Para ulama ahli hadits mendefinisikan Sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak. 

Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.

Hadits menurut istilah ahli hadits adalah: Apa yang disandarkan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.

Sedangkan menurut ahli ushul fiqh, hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan, yang disandarkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam setelah kenabian. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. [9]

Jadi pengertian hadits itu tidak jauh dengan pengertian sunnah atau bisa dikatakan hadits itu juga bisa disebut sebagai As Sunnah. Tidak seperti yang dipaparkan oleh Agus Mustofa di dalam bukunya sebagaimana telah saya sebutkan di atas, ahlus sunnah tidak membuat definisi yang berbeda jauh antara Sunnah dan Hadits. Ini dikarenakan mungkin Agus Mustofa belum mempelajari secara benar tentang ushulus sunnah sehingga banyak tercampur dengan pemikiran akalnya semata ketika menafsirkan sesuatu. Jadi, hadits bukan merupakan hasil karya ilmiah seorang pakar hadits yang dibukukan. Ini adalah pendapat yang bathil!

2.) Pernyataan beliau bahwa banyak ayat Qur'an yang tidak ada penjelasannya dalam hadits. Namun hal ini tidaklah seutuhnya benar, karena memang fungsi hadits adalah sebagai penjelas Kitabullah. Imam Ibnu Al Qoyyim rahimahullah mengatakan bahwa hubungan hadits dengan al-Qur`an ada tiga:

  1. Hadits sesuai dengan al-Qur`an dari berbagai segi, sehingga datang al-Qur`an dan hadits pada satu hukum menunjukkan ada dan banyaknya dalil (semakin menguatkan).
  2. Hadits sebagai penjelas maksud al-Qur`an dan penafsirnya.
  3. Hadits menentukan satu hukum wajib atau haram pada sesuatu yang al-Qur`an diamkan.
As-Sunnah tidak akan keluar dari tiga kategori ini, sehingga As-Sunnah tidak akan menentang al-Qur`an sama sekali. [10]

Musnad Imam Ahmad
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah: bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan argumentasi (yang menjelaskan makna) al-Qur’an.” [11]

Sebagaimana kita ketahui bahwasannya akhlak Rasulullah itu merupakan bagian dari Sunnah dan seperti yang telah banyak kita ketahui bersama, bahwa akhlak Rasulullah adalah akhlak yang diajarkan oleh Qur'an atau dengan kata lain Sunnah Rasulullah yang terdapat dalam akhlak beliau yang mulia merupakan intepretasi hidup dari Al Qur'anul Karim. Ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al Qur’an.” (HR. Muslim no. 746).

Bahkan ada ulama yang menganggap bahwa Sunnah itu merupakan ajaran Islam itu sendiri yang menjadi indikasi pentingnya untuk berpegang teguh padanya. Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu ialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang lainnya.” [12]

3.) Agus Mustofa mengatakan bahwa Qur'an sebenarnya bisa langsung ditafsiri dengan menggunakan data-data ilmu pengetahuan. Padahal sejatinya, bila beliau mengetahui, sebagaimana beliau mengatakan bahwa tidak semua ayat Qur'an ada penjelasannya di dalam hadits; maka terlebih lagi semua ayat Qur'an tidak selalu bisa ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan dan akal saja karena sifatnya yang relatif dan selalu berubah sementara ilmu ALLAH yang berasal dari Qur'an dan Sunnah itu bersifat tsawabbit (tetap).  Bila ilmu ALLAH itu dianggap relatif maka ini akan menimbulkan kerancuan berpikir serta keraguan dalam mengimani ayat-ayat-NYA. ALLAH berfirman:

"Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa." (QS. Al Baqarah [2]: 2)

Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, tidak relatif atau memiliki cabang-cabang lain yang berada di antara Haq dan Bathil. ALLAH berfirman:

"Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKU yang lurus, Maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan ALLAH agar kamu bertakwa." (QS. Al An'am [6]: 153)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini- berkata: “Firman ALLAH, “Ikutilah (jalan-Ku) dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.” (Di sini) sungguh ALLAH menyebutkan tentang jalan-NYA dengan bentuk kata tunggal karena kebenaran itu hanya satu. Oleh sebab itu, ALLAH menyebutkan tentang jalan-jalan yang lain dengan bentuk kata jamak (banyak). Karena jalan-jalan yang lain terpisah-pisah dan bercabang-cabang….” [11]

Dan point yang paling penting yang harus saya sampaikan di sini adalah bahwa metodologi penafsiran ayat Qur'an tidak bisa sembarang apalagi metode bil ra'yi sebagaimana yang dipahami dan dianut oleh Agus Mustofa. Ini jelas bertentangan dengan qa'idah Ahlus sunnah dalam menafsirkan Al Qur'an. ALLAH Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al A'raaf [17]: 36)

Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda,


من قالأ في القرآن برأيه فأصاب فقد خطأ
 
"Barangsiapa membaca/mengartikan Al Quran dengan pendapatnya sendiri (tanpa manqul), walaupun benar maka sungguh-sungguh hukumnya tetap salah." (HR. Abu Daud)

Dalam riwayat lain disebutkan, "Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Muslim)

Tafsir Ibnu Katsir
Maka dari itu dibutuhkan untuk memahami tafsir Qur'an sebagaimana para Salaf dulu telah menafsirkannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab Majmu' Fatawa-nya menjelaskan, "Ayat al-Quran ditafsirkan oleh ayat lain pada tempat lain, karena terkadang ayat al-Quran saling menafsirkan satu sama lainnya. Apa bila tidak ditemukan ayat lain yang menafsirkannya maka carilah tafsirnya pada hadits Nabi. Dan apa bila tidak ditemukan tafsirnya pada hadits Nabi maka carilah tafsirnya pada perkataan para sahabat, karena mereka belajar langsung tafsirnya pada Nabi dan al-Quran diturunkan di tengah-tengah mereka, mereka menyaksikan langsung diturunkannya al-Quran. Dan apa bila tidak dijumpai tafsirnya pada perkataan para sahabat maka tafsirkanlah dengan penafsiran para tabi’in karena mereka belajar langsung kepada para sahabat.

Kenapa kita harus mengikuti metode sebagaimana yang dilakukan para Salafush Shalih umat ini? Hal ini tak terlepas dari keberadaan mereka yang berada di tengah-tengah turunnya ayat Al Qur'an. Mereka adalah para pioneer dan pendahulu dalam amal kebaikan. Ilmu dan kebenaran kebanyakan berada di tangan mereka.

Hal ini diindikasikan oleh beberapa hadits yang menunjukkan kefahaman seorang sahabat akan ilmu agama ini sebagaimana dalam riwayat berikut.

Abu Ma’mar telah menceritakan kepada kami, Abdul Warits telah menceritakan kepada kami, Khalid telah menceritakan kepada kami, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas radhiallahu'ahu, “Rasulullah saw. telah memelukku (ke dadanya) dan berdo'a,

لْكِتَابَ عَلِّمْهُ االلَّهُمَّ

Ya Allah, ajarkanlah ia al-Kitab (Al-Qur’an).’” (HR. Bukhari)

Bahkan Ibnu Abbas radhiallahu'anhu tatkala beliau mendatangi kelompok khawarij yang memusuhi para ulama dan menafsirkan al-Quran menurut pendapatnya sendiri, beliau berkata, “aku datang dari para sahabat Rasulullah, dari kalangan muhajirin dan anshar dan dari anak paman Nabi serta menantunya (Ali bin Abi Thalib) dan tidak satupun seorang sahabat yang bersama kalian, padahal kepada mereka al-Quran diturunkan dan mereka lebih tahu tentang tafsirnya dari pada kalian” [14]

Jadi tidak dibenarkan kita menafsirkan Qur'an mengikuti kemauan hawa nafsu kita sendiri. Tidak dibenarkan menafsirkannya hanya dengan mengandalkan akal pikiran saja. Maka yang patut kita ikuti adalah cara bagaimana para ulama Salaf dahulu memahaminya.

Ali bin Abu Thalib radhiallahu'anhu berkata: kalau agama adalah dengan akal maka tentu bagian bawah khuf lebih layak untuk dihusap dari pada bagian atasnya”.

Dan Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “jika agama tolak ukurnya adalah akal tentu Allah tidak akan menurunkan al-Quran karena secara fitrah manusia mampu menggunakan akal”.

Untuk lebih jelas dalam memahami kaidah penafsiran Al Qur'an, bisa dilihat di link berikut: larangan-menafsirkan-al-quran-dengan-pendapat-sendiri

4.) Sebagai penutup argumentasi saya. Saya akan coba untuk memaparkan sebuah kisah percakapan yang terjadi antara Abdullah ibnu Mas'ud radhiallahu'anhu dengan Ummu Ya'qub radhiallahu'anha, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Alqamah, dia berkata; Ibnu Mas'ud radhiallahu'anhu telah melaknati perempuan-perempuan yang minta ditato, perempuan yang minta dicukur alisnya, dan perempuan-perempuan yang merenggangkan giginya agar tampak cantik, mereka mengubah ciptaan ALLAH.

Ummu Ya'qub berkata, "Mengapa engkau melaknati mereka?" Sahabat Ibnu Mas'ud pun menjelaskan, "Bagaimana aku tidak melaknati orang yang telah dilaknati oleh Rasulullah, dan itu disebutkan di dalam Al Qur'an." Ummu Ya'qub berkata, "Demi ALLAH, aku telah membaca seluruh ayat yang ada di dalam Al Qur'an ini, namun aku tidak pernah menjumpainya." Lalu Ibnu Mas'ud berkata, "Jika engkau membacanya, niscaya engkau akan menjumpainya. Bukankah engkau pernah membaca;
 
"...apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah..." (QS. Al Hasyr [59]: 7) [15]

Maka tak layak bagi kita, seorang manusia biasa yang ilmunya jauh di bawah Rasulullah dan para sahabatnya, menolak untuk menafsirkan ayat-ayat Qur'an dengan sunnah maupun atsar dari para sahabat radhiallahu'anhuma yang telah diberikan petunjuk serta pemahaman langsung dari Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam. Coba bersama kita renungkan sebuah nasihat yang mulia dari Nabi kita Muhammad Shalallahu'alaihi wa sallam berikut.

سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Di akhir jaman nanti muncul suatu kaum yang umur-umur mereka masih muda, pikiran-pikiran mereka bodoh, mereka mengatakan dari sebaik-baik manusia, padahal iman mereka tak sampai melewati kerongkongan, mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari busurnya, di manapun kalian menemukannya, bunuhlah dia, sebab siapa membunuhnya mendatangkan ganjaran pagi pelakunya di hari kiamat." (HR. Bukhari No. 6418)

Ashdaqal Hadiitsi Kitabullah
Demikian beberapa catatan terhadap sebagian pokok dari buku "Membela Allah" yang ditulis oleh Agus Mustofa. Saya sangat tidak merekomendasikan buku ini untuk dibaca terutama bagi para penuntut ilmu agama yang masih terlalu awam untuk memahami agama yang haq ini. Di dalam buku ini terdapat banyak penyimpangan fikrah yang bisa menyesatkan pemikiran kita semua. Semoga ulasan ini membawa manfaat bagi ikhwah sekalian. Dan hanya kepada ALLAH sajalah kita meminta tambahan ilmu serta petunjuk dan hidayah-NYA.
والله أعلم بالصواب
(by Muhammad Abdullah ibnu Abi Abdillah; 17th April 2012/ ۲۵ Jumadil Awwal ۱۴۳۳ H)

Footnotes:

[1] Mustofa, Agus (2010). Membela Allah hal. 93-97. Surabaya: PADMA Press.

[2] HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) - dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/172)

[3] Shafwatu At-Tafasir/Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni/juz 2/hlm 481/Penerbit: Dar Ash-Shabuni, Kairo/Cetakan I/1997 M 1417 H

[4] Kitab Ar Risalah hal. 78 (dinukil dengan sedikit perubahan dari Ma’alim Ushul Fiqih ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 122)

[5] HR. At-Tirmidzi  No. 2891,  Ibnu Majah dalam muqaddimah No. 44, Ahmad No. 17606, dari hadits Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam silsilah Ash-shahihah No. 936.

[6] Hadits di atas juga merupakan sanggahan terhadapa pernyataan Agus Mustofa yang lain berkaitan halnya dengan menulis Hadits (Sunnah). Agus Mustofa menyatakan, "Banyak diantara kita yang masih rancu dalam memahami As Sunnah dan Al Hadits. Mengira sama, padahal keduanya adalah hal yang sangat berbeda. As Sunnah adalah segala ucapan dan perbuatan Rasulullah, saat beliau masih hidup. Sedangkan Al Hadits adalah catatan para ulama hadits, yang baru dilakukan setelah Rasulullah wafat.

Saat Rasulullah masih hidup, beliau justru melarang para sahabat untuk mencatat ucapan dan perbuatan beliau. Karena dikhawatirkan akan mengacaukan catatan al Qur’an yang sedang dalam masa penulisan. Yakni, selama 23 tahun masa kenabian. Hal itu diungkap, salah satunya, dalam muqadimah Al Qur’an keluaran Arab Saudi, dalam bab penyusunan al Qur’an.

Bersabda Rasulullah SAW: Janganlah kalian tuliskan ucapan-ucapanku! Siapa yang (telanjur) menuliskan ucapanku selain al Qur’an hendaklah dihapuskan. Dan kamu boleh meriwayatkan (secara lisan) perkataan-perkataan ini. Siapa yang dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah di neraka.  (HR Muslim dari Abu Al Khudri).

Hadits baru mulai ditulis dan dibukukan di zaman khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720 M) dan khalifah-khalifah penerusnya. Meskipun, Rasulullah sudah melarang untuk menulisnya, dan tidak pernah memberikan perintah untuk membukukannya. Tetapi, sang Khalifah memutuskan berijtihad untuk melakukannya dengan sejumlah pertimbangan."

Ini jelas telah menyalahi dua hadits shahih yang mana Rasulullah membolehkan sahabatnya untuk menulis ucapan-ucapan beliau Shalallahu'alaihi wa sallam dengan tujuan untuk dihafalkan. Adapun hadits yang melarang untuk menuliskannya, tak lain sebagai pembeda antara wahyu Qur'an dengan Sunnahnya. Namun hal ini sudah tidak lagi menjadi larangan ketika kaum Muslimin telah bisa membedakan mana yang Qur'an dan mana yang Sunnah. ALLAHu'alam bis  shawab.

[7] Hadits Shahih, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 1196, lihat Tafsir Ibnu Katsir VII/340, cet. Maktabah At Taufiqiyah

[8] Mustofa, Agus (2010). Membela Allah hal. 97-99. Surabaya: PADMA Press.

[9] Ushulul Hadits, Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, hal 27

[10] ‘Ilam Muwaqi’in: 307, Maktabah Syamilah

[11] Ushuulus Sunnah, hal. 3

[12] Syarhus Sunnah, hal. 59

[13] Tafsir Ibnu Katsir, 2/256

[14] Diriwayatkan Abu Dawud No. 4037, Ath-Thabary dalam Mu’jam Kabir: 10/257-258

[15] Diriwayatkan Al Bukhari No. 5939 dan Muslim No. 2125

29 komentar:

  1. Mas Muhammad Abdullah yg dirahmati Allah SWT.

    Izinkan saya menanggapi posting anda mengenai sanggahan anda terhadap buku Membela Allah (karya Agus Mustofa). Mohon maaf bila kurang berkenan karena setelah membaca keseluruhan halaman ini, dari atas sampai bawah, dari tiap kutipan yg anda garis bawahi dan dari setiap sanggahannya, saya merasa tergelitik karena ada hal-hal yg melenceng, tidak objectif dan tidak tepat sasaran, bahkan buat saya pribadi terkesan seperti mem-fitnah si pengarang buku. Saya belum pernah membaca buku ini tetapi saya tertarik dengan cara anda menjastifikasi setiap paragraphnya, sehingga terkesan anda belum betul-betul memahami maksud penulis tetapi sudah keburu memberi penilaian yg negatif.

    Berikut dasar pertimbangan dan penilaian saya :

    1. Anda menilai penulis dengan tidak fair sebagaimana dalam tulisan anda berikut;

    “… seseorang yang ingin berpegang teguh dengan al Qur'an al Karim TANPA memahaminya dengan bantuan al Hadits (Sunnah).” Dan

    “… Mereka semua merasa telah cukup dengan berpedoman pada Al Qur'an saja TANPA bantuan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.”

    Anda mendasarkan pada kalimat si penulis yg anda garis bawahi kutipannya sbg brikut:

    “Saya memang merujuk sumber Al Qur'an JAUH LEBIH BANYAK dibandingkan dengan sumber hadits….“ dan

    “… penggunaan hadits TIDAKLAH bersifat MUTLAK dalam memahami al Qur'an.”

    Anda memvonis penulis sebagai seseorang yg TANPA ATAU SAMA SEKALI TIDAK MENGGUNAKAN HADITS, padahal dalam kutipan kalimat yg anda garis bawahi, menurut saya bermakna bahwa si penulis JUGA MENGGUNAKAN HADITS, tetapi porsinya tidak dominan. Secara tidak langsung anda telah men-zalimi penulis. Dalam hal ini bijaksanakah anda men-cap penulis sebagai ‘Munkaris Sunnah’ padahal anda sendiri mengutip sunnah yg digunakan penulis (Footnotes anda no. 6)?.

    2. Dalam kutipan ke dua, mengenai keotentikan hadist yg beredar di zaman ini;
    Menurut pemahaman saya, si penulis ingin menerangkan bahwa hadits2 yg ada sekarang MUNGKIN SAJA berasal dari hadist2 hasil konflik antara Sunni & Syiah di . Dimana dikuatirkan hadist2 yg jadi pedoman kita sekarang ini bukanlah sejatinya hadist yg mencerminkan perkataan & perilaku Rasulullah SAW. Seperti kita ketahui bersama bahwa pada masa pemerintahan Ali ra, mendekati pertengahan abad ke-1 Hijriyah, banyak sekali beredar hadist2 palsu (mawdhu’) terutama saat terjadi konflik politik antara pendukung Ali, pendukung Mu’awiyah, non pendukung keduanya dan kelompok pemberontak yg anti terhadap perdamaian Ali dan Mu’awiyah. Pada masa itu banyak hadist2 palsu yg beredar/disebarkan utk memperkuat kondisi politik masing2 kubu.

    Jadi maksud penulis bukan fokus pada historical story perbedaan Syi’ah atau Sunni, tetapi sebagai langkah antisipasi agar tidak terjebak dalam penggunaan hadis palsu. Makanya si penulis menyarankan “Penggunaan hadits sesedikit mungkin, dan memperbanyak penggunaan ayat-ayat Qur'an yang sudah diyakini bersama keotentikannya menjadi jalan keluar yang menyejukkan bagi persatuan umat Islam.”

    (1/3) Bersambung...

    BalasHapus
  2. 3. Anda mem-fitnah penulis dengan mengatakan;

    “ Agus Mustofa mengatakan bahwa TIDAK PERLU menggunakan hadits untuk menjelaskan Al Qur'an.”

    Padahal tidak saya temukan ada kalimat seperti itu dalam kutipan anda. Yg mungkin mendekati maksud anda adalah kalimat penulis sbg berikut;

    “… penggunaan hadits TIDAKLAH BERSIFAT MUTLAK dalam memahami al Qur'an.”
    “… Sebaliknya, penggunaan ayat al Qur'an TIDAK HARUS menggunakan hadits sebagai penjelas.”

    Adalah tidak bijaksana apabila menilai suatu kalimat tidak secara utuh tetapi hanya pada bagian negatifnya saja. Itupun tidak bisa langsung disamakan dengan versi bahasa semaunya anda. Kalimat penulis “TIDAKLAH BERSIFAT MUTLAK” dan “TIDAK HARUS” sangat berbeda artinya dengan kalimat anda “TIDAK PERLU”.

    Kalimat penulis “TIDAKLAH BERSIFAT MUTLAK” dan “TIDAK HARUS”, menurut kaidah bahasanya berarti, untuk memahami suatu ayat Al Qur’an tidak harus menggunakan hadits karena ada ayat-ayat yg sudah dijelaskan secara langsung dalam ayat-ayat yg lain di dalam Al Qur’an itu sendiri. Bila tidak dijelaskan dalam ayat yg lain dalam Al Quran, baru bisa dijelaskan dengan Hadits atau bahkan bisa dijelaskan dari ayat-ayat Kauniyah.
    Sedangkan kalimat anda “TIDAK PERLU”, mempunyai konotasi seolah-olah penulis mengatakan bahwa Al Qur’an bisa dijelaskan dengan menggunakan sumber-sumber lain (semaunya sendiri).

    Sungguh, bila saya tidak berhati-hati membaca sanggahan anda dan kemudian saya mempercayainya, secara tidak langsung saya ikut mem-fitnah penulis. Nauzu billahi min dzalik… Semoga Allah SWT menjaga kita dari perkara-perkara buruk seperti ini.

    4. Anda menuduh penulis mengatakan ilmu Allah itu relatif ("Bila ilmu ALLAH itu dianggap relatif..."),
    dan secara tersirat anda juga menuduh penulis mengatakan bahwa kebenaran Allah itu relatif ("Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, tidak relative…"), padahal tidak saya temukan dalam kutipan penulis tentang hal2 tersebut.

    Kutipan yang mungkin mendekati maksud anda adalah
    “…ayat-ayat Qur'an sebenarnya bisa langsung ditafsiri dengan menggunakan data-data ilmu pengetahuan. Bahwa kemudian, DATA-DATA ITU BERSIFAT RELATIF dan selalu mengalami update, ya memang begitulah kenyataannya. Seluruhnya bersifat relatif, sebagaimana ilmu pengetahuan juga relatif.”

    Dari kalimat tersebut, menurut saya, penulis menyimpulkan bahwa ILMU PENGETAHUAN (duniawi) bersifat relatif, tetapi anda justru mengartikan bahwa penulis menganggap ILMU ALLAH DAN KEBENARAN-NYA itu relatif. Anda membuat sendiri perbandingan antara ilmu pengetahuan dan ilmu Allah (kebenaran-Nya). Saya yakin anda tahu bahwa Ilmu Allah itu meliputi seluruh jagad alam semesta dan baru sebagian kecil saja yg terdata oleh ilmu pengetahuan manusia saat ini. Sifat ‘relatif’ itu sendiri adalah suatu kondisi yg bersifat sementara dikarenakan ilmu pengetahuan manusia masih bergantung pada kemajuan iptek.

    Contohnya dulu saat SMP (20an tahun yg lalu), saya dikenalkan bahwa planet yg terjauh dari Matahari adalah planet Pluto, tetapi baru saja beberapa tahun yg lalu diklarifikasi bahwa Pluto bukan sebuah planet, setelah diketahui/ditemukan fakta-fakta baru atau data-data yg lebih akurat dari hasil rekayasa teropong modern. Kasus seperti inilah yg dimaksudkan dalam kutipan penulis di atas. Sehingga tidak bisa disejajarkan antara ilmu Allah dan ilmu pengetahuan manusia. Membandingkan ilmu pengetahuan manusia terhadap ilmu Allah sama dengan meng-kerdil-kan kekuasaan Allah SWT.

    Bila anda mengatakan bahwa penulis menganggap ilmu Allah itu relatif, berarti anda telah menuduh penulis meng-kerdil-kan ilmu Allah. Sungguh ini bukan tindakan yg diajarkan oleh Rasulullah SAW.

    (2/3) Masih bersambung...

    BalasHapus
  3. Mengakhiri komentar saya di atas, secara keseluruhan, saya menilai sanggahan dan bantahan anda tidak fair karena anda juga menyelipkan peniliaian2 pribadi seperti:
    - Penulis adalah orang yg ingkar sunnah,
    - Penulis termasuk dari kelompok sesat,
    - Penulis melakukan kesombongan yg besar kepada Rasulullah SAW,
    - Dll.

    Seharusnya sebelum anda membuat penilaian pribadi, anda bertanya dulu kepada diri anda sendiri bahwa:
    - Apakah anda yakin atau anda pernah mengamati kehidupan sehari-hari si penulis bahwa ia tidak pernah sama sekali melaksanakan ibadah sunnah?.
    - Apakah anda yakin selama ini anda telah mengikuti hadits yg asli se-asli-aslinya seperti yg dimaksudkan si perawi?.
    - Dan pertanyaan2 lain yg bisa membuktikan penilaian anda benar.

    Dan hal terakhir yg membuat saya sangat ingin menanggapi sanggahan anda adalah dicantumkannya hadits yg tidak relevan (HR. Bukhari No. 6418) yg seakan-akan si penulis adalah orang yg pantas dibunuh. Padahal anda dan penulis sama-sama muslim dan anda tahu sesama muslim adalah bersaudara. Apakah orang-orang yg tidak sepaham dengan anda secara otomatis adalah orang kafir?. Apakah seperti itu yg dimaksudkan Islam Rohmatan Lil ‘Alamin?... Nauzu billahi min dzalik…

    Marilah kita sama-sama lebih bijaksana dan lebih objektif dalam menilai suatu karya tulis. Dan tanggapilah atau sanggahlah dengan baik karena kita tidak tahu siapa diantara kita yg lebih sesat dan siapa yg mendapat petunjuk. Seperti firman Allah SWT dalam QS. 16 : 125 yg artinya,

    “125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

    Semoga kita semua selalu diberikan hidayah oleh Allah SWT.

    Wallahu a’lam bishshowab.
    (3/3) Habis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Tanggapan anda jauh lebih bijaksan

      Hapus
    2. Trimakasih ... tanggapannya bisa diterima nalar.

      Hapus
  4. Wa'alaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh. Yaa Abdullah, semoga ALLAH merahmati dan memberimu petunjuk yang lurus.

    Terima kasih banyak atas tanggapan dan masukan dari antum ya akhi. Sebagaimana anda telah mengatakan sendiri bahwasannya anda belum membaca buku ini, maka seperti itulah ketidaktahuan anda menganggap saya menfitnah. Kalau anda membacanya Insya ALLAH akan anda dapati beliau itu telah meremehkan para ulama hadits yang telah meneliti keshahihan derajat sebuah hadits tertentu dan bagaimana para ulama mengambilnya. Penulis buku ini memang tidak secara eksplisit menolak hadits Nabi shallallahu'alaihi wa sallam. Tetapi secara implisit beliau menolaknya.

    Manusia yang mengerti ilmu Qur'an maka dia akan pula mengagungkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam. Bahkan Imam Syafi'i rahimahullahu ta'ala yang sedari kecil telah hafal dan mempelajari Qur'an pun berkata bahwasannya mereka (para ulama ahlus sunnah) memberi perhatian lebih besar terhadap sunnah Nabi ketimbang Qur'an itu sendiri. Kenapa demikian? Karena sunnah Nabi adalah praktik nyata dari ajaran Qur'an itu sendiri.

    Jadi sebelum anda menanggapi sanggahan saya lebih lanjut sebaiknya anda kenali dulu hakikat sunnah Nabi dan apa yang tercantum dalam buku ini. Dalam buku-buku beliau yang lain, semua ilmu dari hadits bisa ditolak selama bertentangan dengan akal sehat. That's the problem! Mengandalkan ra'yu dan meninggalkan wahyu (sunnah Nabi). Buku-buku Agus Musthafa yang lain tegas menyatakan bahwa, akhirat itu tidak kekal, Nabi Adam itu dilahirkan (bukan manusia pertama), Nabi Adam 'alaihissalam tidak diusir dai surga karena surganya memang berada di bumi ini juga (entah tafsir dari mana beliau mengatakan demikian), dan berbagai pendapat-pendapat bathil lainnya yang sesat dan menyesatkan serta tidak berlandaskan ilmu dan faham Islam yang haq. Tapi lebih mengekor pada kaum liberalis.

    ALLAHu'alam bish shawab.

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya kira akhi perlu membaca secara cermat buku buku pak agus mustofa terlebih dahulu dg segala argumentasinya dari ayat qauliyah ataupun kauniyah . YANG anda pahami sekarang ini , yang tdk sama dg pendapat pak agus adalah salah satu versi tafsir terhadap teks agama. Karena tafsir tentu kebenarannya relatif. Contoh sederhana, tafsir masa lalu terhadap teks alquran tentang 7 langit yg bertingkat tingkat ditafsiri planet planet yg konon jumlahnya ada 7. Sy kira tafsir seperti itu untuk zaman sekarang jadi lucu dan ditertawakan orang. Maka boleh to kalau tafsir nya dirubah. Nah, saya khawatir anda belum membaca sepenuhnya argumen yang dibangun pak agus mustofa. Jadi ya apriori Dan mengambil kesimpulan terlalu dini untuk mengatakan bahwa pak agus mustofa sesat menyesatkan.

      Hapus
    2. Perkara yang sudah jelas tak akan tertutupi dengan argumen para pendukung SEPILIS (Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme) akhi :) Sudah banyak kajian dan ceramah asaatiudz ahlus sunnah yang membantahnya. Dan bagi seorang yang iman dan aqidahnya kokoh tak akan bergeming dengan ratusan argumen yang 'diada-adakan' oleh Agus Mustofa - semoga ALLAH mengampuni dan mengembalikannya ke jalan yang haq -. Di internet juga bisa antum dapatkan berbaga sanggahannya kok, antara lain di blog ini: http://hukmulislam.blogspot.com/2011/03/bantahan-terhadap-buku-agus-mustofa.html

      Atau di sini: http://abangdani.wordpress.com/2012/07/19/hadits-lemah-pegangan-ingkarus-sunnah/

      Hapus
    3. Dan saya mendapatkan salah satu respon dari salah seorang ustadz lulusan LIPIA yang pernah menjabat sebagai PemRed Era Muslim.com, yang mengemukakan ketidaksepahamannya dengan metode tafsir dari Agus Mustofa ini dengan kata-kata yang sangat santun dan mudah dipahami, Insya ALLAH:

      Sekilas kami pernah membaca buku itu. Pengarangnya agak bersemangat dengan tesisnya bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam bukan manusia pertama. Juga bahwa beliau tidak diciptakan langsung dari tanah, melainkan lewat proses kelahiran seperti umumnya manusia.

      Kalau dilihat dari dalil-dalil yang dikemukakan, boleh dibilang tidak ada yang salah. Mengapa tidak ada yang salah? Karena dalil-dalil itu berupa ayat Al-Quran. Siapa yang menyalahkan ayat Al-Quran?

      Yang kurang tepat justru dalam melakukan penyimpulan dalil ayat Al-Quran itu sendiri. Di dalam istilah para ulama, menarik kesimpulan dari dalil-dalil itu disebut dengan istilah istidlal. Yaitu proses mengambil kesimpulan dari ayat Al-Quran dan Al-Hadits, di mana keduanya adalah sumber utama ajaran Islam.

      Maka kalau boleh kami memberikan sedikit garis bawah, setidaknya ada tiga kejanggalan utama dari tesisnya.

      Kejanggalan Pertama:

      Kejanggalan pertama adalah ketika dalil berupa ayat Al-Quran dikemukakan, kita sama sekali tidak dikenalkan dengan tafsir dari ulama mufassirin yang muktabar.

      Ayat-ayat Al-Quran yang dikemukakan tiba-tiba ditarik kesimpulannya begitu saja, tanpa pernah tengok kanan atau tengok kiri lagi. Ibarat orang menyeberang jalan, dengan sangat yakinnya penulis buku itu ngeloyor ke tengah jalan

      Padahal biasanya para ulama setiap kali beristidlal, selalu menampilkan komentar para ahlitafsir yang muktamad dan aqwal (pendapat) para ahli ilmu lainnya, sebelum bicara tentang pendapat dirinya sendiri. Jadidari sisi metodologi, kelihatan bahwa penulisan buku itu tidak memenuhi kaidah ilmiyah.

      Hapus
    4. Kejanggalan Kedua

      Kejanggalan ini agak parah, yaitu tidak ada satu pun hadits Nabi SAW yang dicantumkan sebagai dalil. Nyaris tidak ada satu pun hadits shahih yang dijadikan dalil. Entah apa motivasi penulisnya. tapi yang jelas keterangan detail, tegas, sharih dan eksplisit tentang Nabi Adam sebagai manusia pertama ada di dalam hadits-hadits nabawi. Di antaranya

      “Sesunguhnya manusia itu berasal dari Adam dan Adam itu (diciptakan) dari tanah.” (HR Bukhari)

      Kami tidak menuduhnya penganut inkarussunnah, namun amat mengherankan bila ada sebuah buku tentang Islam, terlebih terkait dengan tema aqidah yang cukup berat, tetapi sama sekali tidak mencantumkan hadits nabawi.

      Entahlah bila pengarangnya memang menghindari penggunaan hadits nabawi. Tetapi yang jelas, hadits nabawi adalah salah satu sumber rujukan ajaran Islam yang utama. Meninggalkan keterangan hadits nabi tentu bukan tindakan yang dibenarkan.

      Hapus


    5. Kejanggalan Ketiga

      Buku itu sama sekali tidak mencantumkan pendapat para ulama aqidah, khususnya dalam tesis bahwa Nabi Adam as dilahirkan dan bukan manusia pertama. Setidaknya, penulis buku itu mencantumkan siapa saja orang yang berpendapat sama dengan dirinya. Sayangnya hal itu tidak dilakukannya. Apalagi kutipan pendapat para ulama aqidah yang menentang pendapatnya, sama sekali tidak ada.

      Apa yang dikemukakan boleh dibilang sebuah bentuk penafsiran ayat Al-Quran murni hanya dengan ra’yu dan meninggalkan ilmu tafsir, hadits serta aqwal para fuqaha yang muktabar.

      Hapus
    6. Ayat Yang Ditafsirkan Lewat Akal

      Di antara ayat Al-Quran yang biasanya dijadikan sebagai bahan landasan logika aneh yang dikembang adalah ayat berikut ini:

      إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِندَ اللّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثِمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونُ

      Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (QS. Ali Imran: 59)

      Kalau kita pernah belajar tentang ilmu tafsir, meski tidak menguasai sepenuhnya, namun seharusnya kita tahu bahwa ayat ini turun untuk membantah keyakinan orang nasrani. Allah SWT mematahkan argumentasi mereka dengan menggunakanqiyas, bahwa penciptaan Nabi Isa yang lahir tanpa ayah adalah suatu hal yang bukan mustahil. Sebab Nabi Adam bahkan lahir tanpa ayah dan ibu. Ada kemiripan antara keduanya, meski bukan berarti sama persis.

      Sayangnya, penulis buku itu malah menjadikan ayat ini di luar tujuan dan konteksnya. Padahal tidak ada satu pun kitab tafsir yang mengatakan demikian. Entah dari mana dia mendapatkan pemikiran seperti itu. Dia malah mengatakan bukan Nabi Isa yang kasusnya mirip Nabi Adam, tetapi justru Nabi Adam yang harus ikut keadaan Nabi Isa, yaitu punya ibu dan dilahirkan oleh seorang ibu.

      Padahal jelas-jelas Allah mengatakan bahwa kasus kelahiran Nabi Isa itu ada kemiripan dengan kasus Nabi Adam, bukan kasus Nabi Adam seperti kasus Nabi Isa. Dan titik kemiripannya adalah bahwa nabi Adam tercipta tanpa ayah, bahkan tanpa ibu.

      Logika yang dikembangkan memang agak aneh dan janggal. Dan lucunya, penulis buku itu sama sekali tidak melengkapi logika yang dibangun sendiri. Seharusnya dia menuliskan juga tentang siapakah ibu Nabi Adam serta hal-hal yang dialami pasca kelahirannya. Dan tidak ada keterangan bahwa setelah itu, orang-orang menuduh ibu Nabi Adam itu sebagai wanita pezina. Juga tidak dijelaskan bahwa saat masih bayi, Nabi Adam bisa bicara seperti orang dewasa.

      Logika yang dikembangkannya justru dipungkirinya sendiri. Kalau benar Nabi Adam mengalami proses seperti Nabi Isa, maka seharusnya ibunya Nabi Adam (kalau memang ada) sebelumnya harus didatangi Jibril yang mengabarkan kehamilannya, lalu dia hamil dan merintih kesakitan saat melahirkan, kemudian diperintahan untuk memakan buah kurma muda (ruthab), lalu kembali ke masyarakat dan dihina sebagai wnaita pezina, kemudian Adam pun seharusnya bisa bicara meski masih bayi. Karena Maryam ibu Nabi Isa mengalami semua proses itu.

      Tetapi karena yang dikejar memang bukan itu, melainkan hanya ingin sekedar menguatkan keyakinannya bahwa Nabi Adam itu tidak diciptakan langsung oleh Allah dari tanah dan bukan manusia pertama, maka dia tidak sadar bahwa logika itu sendiri sebenarnya punya konsekuensi yang pasti tidak disetujuinya.

      Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

      Ahmad Sarwat, Lc


      Tidak ada gunanya didebat di sini, bukti dan indikasinya sudah tercium kok akhi :) antum bisa membuktikannya sendiri, tapi ingat jika rujukannya adalah dari orang-orang penganut paham SePiLis, maka akan menjadi sia-sia, karena mereka mengikuti hawa nafsu dan jalannya syaithan la'natullah. ALLAHu'alam bish shawab

      Hapus
    7. Dari penampilan saja sudah meragukan Agus Mustofa ini seorang ahlus sunnah (bukan berarti memang bukan ahlus sunnah, hanya terindikasi). Lihat saja penampilannya, berkumis tanpa jenggot. Padahal Rasulullah - shallallahu 'alaihi wa sallam - menyuruh untuk memelihar janggut dan mencukur kumis. Hehehe, ustadz gadungan nih yee...

      Hapus
    8. Kalau jenggot yg jadi patokan, bagaimana dengan nasibnya Bilal ya?. Bilal bin Rabbah tdk berjenggot tetapi suara terompahnya sudah terdengar di surga.
      Sepicik inikah penilaian kita terhadapa sesama saudara muslim.

      Hapus
    9. Tapi kan berkumis akhi, kumis adalah identitas tasyabuh dengan kaum kuffar dan sudah diperintahkan untuk mencukur kumis. Gak berjenggot sih gak masalah, kalo memang tidak tumbuh. Yang bermasalah itu kan;

      1. Jika memiliki jenggot, lalu ia potong. Hal ini dibanci Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam.
      2. Agus Mushtofa memelihara kumis, jelas sudah menyelisihi sunnah Rasulullah. Punya kumis, ya cukur dong...

      Ini yang bilang Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, haditsnya maqbul/shahih. Bukan picik, tapi realita masbro :)

      Tapi untuk menghukumi orang memang tidak bisa serta merta hanya melalui dari sudut pandang penampilannya semata. Hanya saja, bisa dilihat dari pemikirannya yang tertuang dalam buku yang beliau tulis. Jelas bukan ahlus sunnah, bukan ahlul hadits, bukan ahli atsar, karena sunnah saja tidak mengikuti, bahkan hadits saja tidak dicantumkan dalam bukunya. Malah hadits palsu yang dijadikan rujukan, ALLAHul Musta'an. Islam macam apa kalau udah begini.

      Memang antek-antek Syi'ah, Liberalis, Sekuleris, Pluralis dan Zionis saling bahu-membahu dalam mengaburkan aqidah dan pemahaman ummat Islam.

      Hapus
  5. ayolah ada metode lebih baik daripada sesat menyesatkan. salafi itu bijaksana bukan semena mena. silahkan buay buku sanggahan klo sudah cukup ilmu. dengan perkataan baik,karena maksud baikpun tak cukup jika disampaikan dg cara yg tidak baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Akhi, ana bukan salafi, walau memang menganut manhaj salaf. Saya mungkin setengahnya salafi, setengahnya lagi Ikhwanul Muslimin, hehehe... Yang pasti saya belajar dari mereka dan juga belajar dari kelompok-kelompok ahlus sunnah yang lain. Namun isi buku yang seperti ini, tidak pantas untuk dibela. Sudah banyak asaatidz yang telah menghujatnya, bukan hanya dari kelompok salafiyyin saja, tapi kelompok-kelompok lain juga (biasanya sih akan disebut sebagai wahabi lah, sururi lah, ikhwani lah, dll. Buku ini telah jelas kesalahannya, kesalahan yang nyata. Toh kata-kata sesat atau sikap menyesatkan itu juga datangnya dari ALLAH dan Rasul-NYA, bukan orang kemarin sore yang bilang sesat. Kalau memang sudah jelas sesat, terus kita mau bilang apa lagi selain kata itu akhi? Kalau memang gak mau dibilang sesat, yah sebut saja; hilang arah, salah jalan, kebingungan, salah kaprah, jahil, dlsb. Antum dah puas?

      Hapus
  6. Sebaiknya yang membantah dan yang dibantah berkumpul untuk musyawarah dalam masalah2 yang diperdebatkan ini. Bukan "Show Off" memamerkan kepandaian masing2 dengan bungkusan dalil2. Sebagai orang awam... saya jadi bingung... karena orang2 pandai dan terpelajar dari golongan Islam lebih senang berdebat dan berpolemik mencari dukungan umat islam lainnya dalam media yang bersifat umum. Akan lebih elegan apabila dalam pembahasan masalah ini kumpulkan seluruh ahli pada sebuah forum yang ilmiah dan dapat dipertanggung-jawabkan tanpa mendatangkan kerisauan bagi orang2 awam seperti saya. Bukankah seharusnya "Yang merasa lebih tinggi, lebih pintar, harusnya Lebih Bijaksana"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Antum mau sponsori yaa akhi al karim? Silakan saja, Insya ALLAH akan banyak ikhwah yang siap memfasilitasi, bahkan akan didokumentasikan lalu di-upload di sos-med sebagai bukti. Tapi ada yang mau gak merealisasikannya? Kalau memang belum sanggup, ya melalui blog-blog seperti ini saja dulu, setidaknya untuk prefensi.

      Hapus
  7. petunjuk itu datang bagi orang2 yg berfikir, bukan bagi orang2 pendebat,,,, kebenaran akan datang langsung dari allah bukan dari adu argumentasi selama berabad-abad,,,,
    umat islam sudah lama tertinggal dri umat lain,,, klo dlm islam sndri,, kita terus saling berpendapat bahwa pendapat kita paling benar, kapan kita bisa maju?!? apakah kita mau seperti katak dalam tempurung?!? Saya sbgai org yg awam sllu dibuat pusing karnA banyknya pendapat yg berbeda-beda dari alim ulama islam sndri?! umat sllu terombang-ambing karna para imamnya egois,,, ... menurut hemat sy,,, kita memilki pertanggung jwaban diri kita sndri kepada Tuhan,, jadi biar lah Tuhan yg menilai individu kita masing2,,, jdi tidak prlu sesama umat sling salah m3nyalahkan pendapat....

    BalasHapus
  8. Buat Islamic cekeker..
    assalamu alaikum, mau tahu siapa yang sebenarnya sesat tak terbantahkan ? Jawabnya LHI, bekas presiden PKS, yang jenggotan...tapi sejak dipenjara kumisnya dibiarkan tumbuh. Itu hanya satu bukti bahwa sesat itu relatif, sebelum terjadi kasus LHI adalah panutan. Yang harus dicincang bukan Agus Mustafa, tapi LHI. LHI hanya satu dari banyak yang belum ketahuan KPK.
    Mbok kayak Sunan Kalijogo itu lho, Islam subur tanpa harus bunuh membunuh..tanpa menyesatkan budaya setempat.
    Yaa..pantas kalo anda agak keras, pikiran anda sudah kemesiran atau kearapan..

    BalasHapus
  9. Hari gini masih meributkan masalah "jenggot" dan "kumis" ??? Apakah orang jenggot cerminan orang suci ?? Saya tidak berjenggot tpi berkumis , sekejam itukah Islam menilai diri saya ???

    BalasHapus
  10. Masyaaaloh kapan umat Islam bisa maju kalo masih suka saling menghujat begini? Alloh lebih mencintai hamba Nya yg berpengetahuan yg mau menggunakan akal pikirannya dalam rangka menemukan dan memuji Kebesaran NYa.
    orang lain sibuk memanfaatkan nikmat otak utk mengeksplorasi alam semesta, kita masih saja berkutat seputar debat kafir mengkafirkan, bunuh membunuh, ingkar dan sunnah. Kalo masalah ibadah dan tata caranya kita mmng harus merujuk sepenuhnya kpd As Sunnah. Mutlak. Ga boleh berpendapat sendiri. Tapi kalo masalah pengetahuan Alloh membekali Al Qur'an sbg referensi. dan itu tergantung kemampuan si manusia itu sendiri utk memahaminya.
    Oya... saya bnyak lihat orang berjenggot tanpa kumis tapi ibadahnya biasa2 sj, bahkan ada yg kafir. dan orang yg berkumis sj tanpa jenggot justru ibadahnya lebih khusyu' dan ada juga yg kafir sih...hhh

    BalasHapus
  11. "Barangsiapa membaca/mengartikan Al Quran dengan pendapatnya sendiri (tanpa manqul), walaupun benar maka sungguh-sungguh hukumnya tetap salah."

    Hadist ini tadi bilangnya benar tapi tetap salah, aneh ga ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kebenaran itu Mutlak hanya milik ALLAH semata, bukan milik mahluk ciptaanNYA
      pada zaman Rasullulah dan para Sahabat Hanya berpedoman Pada Al Quran sebagai Hal Utama
      yg harus baca ,dipahami dan diamalkan dipertegas dengan Sunnah Rasulullah atas petunjuk ALLAH
      AlQuran dan Sunnah Rasulullah keduanya sumber kebenaran sampai akhir zaman. semua ciptaan ALLAH tidak ada yang salah pasti benar, yang pasti salah itu manusia, itu sebabnya ALLAH Maha Pengampun. wassalam

      Hapus
  12. Bersihkan diri bersihkan hati..ilmu ALLAH hanya bisa di mengerti oleh hati yang bersih dan suci...sebanyak apapun dalil & hadis yang anda baca toh tidak akan menjamin pemahaman andalah yang paling benar...kalau hati anda kotor??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya setuju dg pendapat anda, karena yg anda maksud adalah hati nurani yg bersifat rohaniah, tapi yg saya lihat dari peryataanya pak agus mustofa di youtube, beliau menafsirkan hadis nabi, "Didalam diri manusia ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh, apabila ia buruk maka buruklah seluruh tubuh" Beliau mengatakan yg dimaksud dg "Qolbu" disini adalah benar² daging secara fisikal, apa benar daging yg bersih itu bisa sampai kpd Allah, lagi pula apa urusannya Rosulullah dg daging wadak itu, yg notabene itu urusan kedokteran

      Hapus
  13. Pa Agus itu mengarahkan supaya ke mbali kpd Al Quranul Karim, yg autentik dan tetap terjaga kebenarannya karena dijaga oleh Allah SWT. Kalau kita mau merenung sedikit, Islam yg kita dapat sebagian besar umat muslim adalah dr mazhab syafii. Dan ada 3 mazhab lain yg diikuti oleh kaum muslimin di penjuru dunia. Artinya apa? Al Quran adalah satu yg juga diturunkan kepada Rosulnya Nabi besar Muhammad SAW, yg juga hanya satu2nya. Kenapa ajaran ini sampai kpd umatnya dg 4 mazhab yg berbeda2, kemudian juga pemahaman yg berbeda2, sampai2 setiap saat perdebatan, klaim yg paling benar, mendeskriditkan hanya kaum ku lah yg benar. Ada pernyata 73 golongan..dan lain2 berbagai kegaduhan yg tampak, shg umat ini terpecah! Apakah ada yg salah dg Al Quran?
    Al Quran itu dijamin kebenarannya oleh Allah SWT. Logikanya, apabila yg menjadi acuan itu Al Quran yg sdh dijamin kebenarannya, kenapa banyak perselisihan? Dari sini saja, kita ssh bisa berpikir. Bukan dr Al Quran yg menyebabkan perselisihan.
    Perselisihan itu terjadi di level hadist, tafsir, dan juga ada kepentingan yg ikut mengotorinya. Kalau sdh bisa memahami ini, sebenarnya kita harus "reset" lagi, dan tafakur. Dan juga mengembalikannya kpd Al Quran. Sementara, tinggalkan dogma bhw hadist itu suci, para perawi hadist itu pasti benar, para ulama jumhur itu suci...dsb. Kita akan masuk ke default bahwa yg ada hanya Al Quran. Mulai dg verifikasi, Al Quran itu hrs dijadikan rujukan hadist. Dan hadist2 yg ada hrs dikritisi, apakah benar tdk bertentangan dg Al Quran?

    BalasHapus
  14. Ahli hadist ,syareat tok ,sp uwanen bisanya hanya mengkafirkan menyalahkan orang ,ngk nyambung ,AM bpk nya pendiri torekoh ,ilmu tasawuf ..beliu belajar tarekat sejak kecil wes nembus langit ,ladalah jauh dari panggang cuma sareat sama muter2 di hadist.

    BalasHapus