Senin, 14 November 2011

KEPRIBADIAN SEORANG MUSLIM


Imam Hasan Al Banna


Imam Asy Syahid Hasan Al Banna (Mursyid Amr pertama gerakan Islam, Ikhwanul Muslimin) telah merumuskan beberapa karakter yang sepatutnya dimiliki oleh seorang muslim yang disusun berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah. Ada beberapa karakteristik yang harus dipenuhi seseorang sehingga ia dapat disebut berkepribadian muslim, yaitu :
  1. Salimul ‘Aqidah /‘Aqidatus Salima (Aqidah yang lurus /selamat)

Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang lurus, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada ALLAH Subhanahu wa ta'ala, dan tidak akan menyimpang dari jalan serta ketentuan-ketentuan-NYA.
ALLAH berfirman, "Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada ALLAH, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada ALLAH-lah kesudahan segala urusan." (QS. Luqman [31]: 22)

Dengan kelurusan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada ALLAH sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’aam [6]:162).  Dengan hal ini kita sangat tidak dibenarkan beribadah kepada selain-NYA dengan menyekutukan maupun dengan riya' atau rasa ingin dipuji atau memperoleh ridha dari selain ALLAH ketika beribadah. 

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa'id dari Muhammad bin Ibrahim dari Alqamah bin Waqash dari Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena ALLAH dan Rasul-NYA, maka hijrahnya adalah kepada ALLAH dan Rasul-NYA. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan." (HR. Bukhari No. 52, Muslim No. 1907, Abu Dawud No.2201, At Tirmidzi No. 1646, Ibnu Majah 4227, Imam Ahmad 1/25, diriwayatkan pula oleh Daruquthni, Ibnu Hibban dan Al Baihaqi; dengan sanad yang shahih).
Aqidah yang lurus /selamat merupakan dasar ajaran tauhid, maka dalam awal da’wahnya kepada para shahabat di Mekkah, Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam mengutamakan pembinaan aqidah, iman, dan tauhid.

2.      Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)

Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam yang penting. Syarat diterimanya suatu ibadah di sisi ALLAH Subhanahu wa ta'ala adalah dengan ikhlas (sebagaimana telah dijelaskan pada hadits tentang niat sebelumnya) dan muttaba'atir Rasul (ittiba' atau mengikuti Rasulullah) dengan tidak berbuat bid'ah. Bila ibadah yang kita lakukan tidak sesuai dengan petunjuk Rasul, maka ia akan tertolak.

'Aisyah radhiallahu 'anha berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak." (HR. Bukhari No. 2499, 2550, Muslim No. 1718, 3242, 3243, Abu Dawud 4606, Ibnu Majah No. 14)

Dalam haditsnya yang lain, beliau bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Bukhari No. 6705).

Dalam hadits lain yang senada beliau juga bersabda, “Ambillah dariku tuntunan manasik haji kalian.” (HR. Muslim no. 1297)

Maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah ber-ittiba’ kepada sunnah Rasul Shalallahu 'alahi wasallam yang berarti tidak boleh ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi. Artinya dilarang membuat perkara-perkara baru atau bid'ah dalam urusan agama pada hal tata cara beribadah. Karena ALLAH telah mengisyaratkan untuk mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad yakni sunnah beliau agar diikuti. ALLAH Subhanahu wa ta'ala berfirman, "Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai ALLAH, ikutilah aku (Muhammad), niscaya ALLAH mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu!' ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran [3]: 31)
  1. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)

Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada ALLAH Subhanahu wa ta'ala maupun dengan makhluk-makhluk-NYA. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia terlebih lagi di akhirat. Karena akhlak yang mulia begitu penting bagi umat manusia, maka salah satu tugas diutusnya Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, di mana beliau sendiri langsung mencontohkan kepada kita bagaimana keagungan akhlaknya sehingga diabadikan oleh ALLAH Subhanahu wa ta'ala di dalam Al Qur’an sesuai firman-NYA yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung”. (QS. Al-Qalam [68]:4).

Dan dinukilkan dalam sebuah hadits bahwasannya beliau telah bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 273 [Shahiihul Adabil Mufrad no. 207], Ahmad II/381, dan al-Hakim II/613, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 45).

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah juga bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling mulia akhlaknya." (HR. Bukhari No. 5575)
  1. Mutsaqqoful Fikri (wawasan yg luas)

Mutsaqqoful fikri wajib dipunyai oleh pribadi muslim. Karena itu salah satu sifat Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam adalah fathanah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman ALLAH yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ' pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.' Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah ALLAH menerangkan ayat-ayat-NYA kepadamu supaya kamu berfikir”.(QS al-Baqarah [2]: 219)

Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Untuk mencapai wawasan yg luas maka manusia dituntut utk mencari/menuntut ilmu, seperti apa yg disabdakan beliau Shalallahu 'alahi wasallam, “Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim.” (Shahihul Jami’ No. 3913).

ALLAH juga sangat mengutamakan ilmu dan wawasan pada diri seorang Muslim. DIA berfirman, "Katakanlah, 'samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. az-Zumar [39]: 9). Hal ini menunjukkan bahwasannya orang yang berilmu itu tidak sama dengan orang yang itdak berilmu. Sedang ALLAH Subhanahu wa ta'ala juga membedakan derajat seseorang yang memiliki ilmu seperti dalam firman-NYA, "Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu, 'Berlapang-lapanglah dalam majlis', maka lapangkanlah niscaya ALLAH akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, 'Berdirilah kamu', maka berdirilah, niscaya ALLAH akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Mujaadilah {58]: 11)

Rasulullah bersabda, "Keutamaan sesorang ‘alim (berilmu) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya (warisan ilmu) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak." (HR. Tirmidzi). Dari keterangan Nabi Muhammad ini, kita bisa melihat salah satu dari keutamaan orang yang memiliki ilmu daripada yang hanya sekedar ahli ibadah saja. Terdapat banyak keutamaan-keutamaan lain dari ilmu seperti yang beliau juga sabdakan. “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan memahamkan baginya agama (Islam).” (HR. Bukhari No. 2948, Muslim No. 1037). Dan masih banyak lagi keutaman-keutamaan ilmu dalam agama ini yang mungkin akan membutuhkan banyak space dalam wacana di sini sehingga tidak bisa saya sebutkan semua.
  1. Qawiyyul Jismi (jasmani yg kuat)

Seorang muslim haruslah memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan kondisi fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Dan terkadang sakit atau musibah juga bisa menjadi penyebab dihapusnya suatu dosa, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh ucapan Nabi Shalallahu 'alahi wasallam, "
"Tidaklah suatu musibah yang menimpa seorang muslim bahkan duri yang melukainya sekalipun melainkan Allah akan menghapus (kesalahannya)." (HR. Bukhari No. 5209) 

Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Bahkan Rasulullah Shalallahu 'alahi wasallam menekankan pentingnya kekuatan jasmani seorang muslim seperti sabda beliau, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala daripada orang mukmin yang lemah.” (HR. Muslim No. 4816).
  1. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)

Hal ini penting bagi seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah bersabda yang artinya: "Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-NYA, tidak beriman seseorang dari kamu sekalian sehingga menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa dengannya (yakni Islam ini)." (HR. Al-Hakim dari sahabat 'Amru bin 'Ash radhiyallahu 'anhu, dengan sanad yang hasan shahih menurut Imam An-Nawawi di dalam Hadits Arba’in No. 41)

Hal ini senada dengan firman ALLAH, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila ALLAH dan Rasul-NYA telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai ALLAH dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab [33] : 36)

Dan firman-NYA, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS An-Nisaa’ [4] : 65)

Juga pada ayat lain disebutkan, "Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. Al-Jaatsiyah [45]: 18) Hal ini mengisyaratkan diwajibkannya untuk memerangi hawa nafsu demi mengikuti apa yang telah disyari'atkan oleh agama.
  1. Harishun Ala Waqtihi (disiplin menggunakan waktu)

Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari ALLAH dan Rasul-NYA. ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri (demi waktu fajar), wad dhuha (demi waktu matahari naik sepenggalahan / dhuha), wal asri (demi masa), wallaili (demi malam) dan seterusnya. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk disiplin mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Shalallahu 'alahi wasallam adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara.

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara; Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadraknya, dikatakan shahih oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini juga dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir).
  1. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)

Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Dimana segala suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat, berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas. ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala berfirman, "Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain." (QS. Al-Insyirah [94]: 7)
  1. Qodirun 'Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri / mandiri)

Qodirun 'alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah harus miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umrah, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi. Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari ALLAH Subhanahu wa Ta 'ala. Rezeki yang telah ALLAH sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau keterampilan.
Dalam meraih itu semua, ALLAH mewajibkan kita untuk selalu berusaha dan tidak menggantungkan diri pada takdir serta diharapkan untuk mampu mandiri tanpa pula harus bergantung kepada orang lain. Hal ini tersirat dalam salah satu firman-NYA yang amat terkenal yakni, "Sesungguhnya ALLAH tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar Ra'd [13]: 11).
  1. Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)

Manfaat yang dimaksud di sini adalah manfaat yang baik sehingga di manapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak memiliki pengaruh apapun terhadapa keadaan di lingkungan sekitarnya. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Ada sebuah ungkapan yang oleh sebagian Muslim dianggap sebagai sebuah sabda Nabi yakni, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. (HR. Qudhy dari Jabir radhiyallahu 'anhu). Namun tak ada penjelasan yang jelas mengenai derajat sanad hadits ini sehingga tidak bisa langsung dikatakan bahwa itu berasal dari Rasulullah. Namun yang harus kita perhatikan dari ungkapan tersebut adalah matan atau kandungannya yang baik (hasan).

Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka ALLAH akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka ALLAH menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari qiyamat. Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka ALLAH akan menutup aibnya pada hari qiyamat." (HR. Bukhari No. 2262, dan hadits senada telah di-takhrij juga oleh Imam Muslim No. 2699 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang tertera dalam urutan hadits ke-36 dalam kitab Arba'in An Nawawiyah dengan tambahan lafadz, "ALLAH senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya. .......").

Untuk meraih kriteria Pribadi Muslim di atas membutuhkan mujahadah dan mulazamah atau kesungguhan dan kesinambungan. ALLAH Subhanahu wa Ta'ala berjanji akan memudahkan hamba-NYA yang bersungguh-sungguh meraih keridhaan-NYA. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Sesungguhnya ALLAH benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut [29]: 69). ALLAHu Ta'ala 'alam bis shawwab...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar