Bismillahirrahmanirrahim...
Sebagai
seorang Muslim yang baik, sudah sepatutnya lah kita untuk tegar lurus di atas sunnah sebagaimana manhaj para Salafus Shalih
atau yang lebih dikenal secara syar'i
itu sebagai kalangan Ahlus Sunnah wal
Jama'ah. Nama Ahlus Sunnah wal
Jama'ah dinisbatkan kepada para Muslimin dan Muslimat yang memiliki cara
beragama Islam sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa 'ala alihi wasallam, para shahabat, tabi'in dan para tabi'ut
tabi'in atau dikenal sebagai tiga generasi terbaik (Salafus Shalih). Perhatikan nash-nash
shahih sebagai berikut;
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, ALLAH ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada ALLAH dan ALLAH
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”
(QS. At-Taubah [9]: 100)
“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang
setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)
“Sesungguhnya kalian akan
hidup setelahku, kalian akan mendapati banyak perselisihan. Maka, pegang teguh sunnahku dan sunnah
khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang teguh sunnah
dan gigit dengan gerahammu. Dan hati-hatilah dari perkara yang diada-adakan,
karena setiap bid’ah itu sesat.”
(HR. At-Tirmidzi No. 2676)
Jalan
atau manhaj beragama Islam yang benar
adalah dengan mengikuti para salaf (generasi terbaik umat ini). Adapun
penisbatan nama Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang telah disepakati oleh para ulama
berdasarkan dalil sebagai berikut;
Dari Abu Amir Abdullah bin Luhai,
dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya ia (Mu'awiyah) pernah berdiri
dihadapan kami, lalu ia berkata : "Ketahuilah,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berdiri di hadapan
kami, kemudian beliau bersabda : "Ketahuilah sesungguhnya orang‐orang
sebelum kami dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh
puluh dua) golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh
puluh tiga) golongan. Adapun yang tujuh puluh dua (72) akan masuk neraka dan
satu golongan akan masuk surga, yaitu Al‐Jama'ah." (HR. Abu Dawud No. 4597, Ad
Darimi 2/241, Imam Ahmad 4/102, Al Hakim 1/128)
Sementara
yang dimaksud dengan Al Jama'ah pada hadits di atas
dijelaskan dalam hadits yang lain; Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi
72 millah (agama), sementara umatku berpecah menjadi 73 millah (agama).
Semuanya di dalam neraka, kecuali satu millah." Shahabat bertanya, "Millah apa
itu?" Beliau Saw menjawab, "Yang aku berada di atasnya dan juga para shahabatku." (HR.
At Tirimidzi No. 2565, Ibnu Majah No. 3981)
Untuk lebih memahami tentang takhrij dan tashih serta derajat sanad hadits ini, bisa dilihat di link berikut: Tulisan Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Sehingga
dapat disimpulkan bahwasannya untuk menempuh firqatun najiyah (jalan yang selamat) adalah dengan manhaj yang
diikuti oleh para salafus shalih atau
dikenal sabagai manhaj salaf. Namun, ada sebagian golongan umat
ini yang mengklaim dirinya sebagai 'aliran yang paling benar' dan menamakan jama'ah dakwah mereka sebagai Salafiy
atau Salafiyyun.
Dakwah mereka mengajak kita kepada tauhid
(mengesakan ALLAH) dengan memurnikan aqidah
dengan berpegang teguh pada Al Qur'an Al karim dan As Sunnah As Shahihah dengan
pemahaman para Salafus Shalih yang diberi petunjuk, menjauhi segala bid'ah dan khurafat dalam umat ini; tapi kelemahan dakwah mereka adalah rentan
menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Muslimin yang lain. Mereka cenderung
mudah membid'ahkan atau bahkan
mengkafirkan (memurtadkan) golongan Muslim yang berada di luar kalangan mereka.
Padahal ALLAH berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah
sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim. Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang. Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al Hujurat [49]:
11-13)
Dari sahabat Abu
Dzar Al Ghifari radhiyallahu 'anhu, Rasulullah
Saw bersabda;
"Dan barangsiapa yang memanggil seseorang
dengan 'kafir' atau 'musuh' ALLAH, padahal tidak demikian (pada kenyataannya),
maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh." (HR. Bukhari No. 3317
& No. 5698, Muslim No. 214)
Kita tidak akan membahas apa penyimpangan dakwah dari golongan yang mengklaim diri mereka sebagai Ahlus Sunnah wl Jama'ah dan menyebut diri mereka sebagai Salafi. Adapun jika ingin melihat tanggapan seorang ikhwan yang kecewa dengan cara berdakwah 'extreme' dari golongan Salafi ini silahkan dibaca pada link berikut: kepada-saudaraku-salafi
Bermanhaj dengan manhaj salaf adalah dibenarkan secara syar'i, akan tetapi adapun
penisbatan dan menamakan diri sebagai tidak pernah secara gamblang atau jelas
dituturkan oleh nash-nash shahih.
Sebagian mereka berpendapat dengan dalil shahih
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah berkata kepada Fatimah Radhiyalahu
‘anha ketika sakit yang membuatnya meninggal, beliau berkata : “Bertakwa dan bersabarlah engkau wahai
Fatimah, sungguh pendahulu (salaf) yang paling baik bagimu adalah aku.”
Namun tak ada keterangan yang pasti bahwa Rasulullah memerintahkan kita untuk
menjadi seorang Salafy atau Salafiyyun. Bahkan yang shahih dan datangnya dari Al Qur'an
telah jelas bahwa kita tidak bisa menamakan diri kita selain Muslim atau Mukmin sebagaimana nash-nash
shahih berikut;
"(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (ALLAH) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari
dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi
saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia,
maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali ALLAH.
Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik
Penolong." (QS. Al Hajj [22]: 78)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada ALLAH sebenar-benar
takwa kepada-NYA; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam (keadaan beragama) Islam." (QS. Ali Imran [3]: 102)
Dengan kalimat 'laa tamuwtunna illa wa antum muslimun' yang memiliki
pengertian bahwa hanya seseorang atau golongan yang bernama Muslim
(beragama Islam) yang diridhai ALLAH sebagaimana Firman-NYA, " Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi ALLAH hanyalah Islam." (QS. Ali
Imran [3]: 19)
Bahkan
dalam suatu riwayat dari jalur Imam al Harits al Asy'ari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, "Panggillah kaum Muslimin dengan nama mereka dan dengan panggilan yang
diberikan oleh ALLAH kepada mereka; Muslim, Mukmin, dan Ibadullah (hamba
ALLAH)." (HR. Imam Ahmad dalam Musnad-nya,
Vol. 4 hal. 161)
Sudah
seharusnya kita dengan PeDe (percaya diri) atau dengan tegas mengatakan bahwa
diri kita adalah seorang Muslim, bukan seorang Salafy, bukan Ikhwaniy atau Ikhwah
(pengikut Al Ikhwanul Muslimin), bukan Nahdhliyyin
(pengikut Nahdhlatul Ulama), dan
lain-lain.
Hal
yang senada diutarakan oleh Syaikhul
Islam, Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang paling terkenal yaitu Majmu' Al Fattawa pada Volume 3 halaman
415. Beliau Rahimahullah berkata,
"Menjadi sebuah kewajiban bagi seorang Muslim, jika seseorang bertanya, 'bagaimana
aku harus memanggil/ menamai diriku?' agar menjawab, 'Saya bukan Shukaili,
bukan Kurfandi, Imam Muslim, dan saya mengikuti Al Qur'an dan As Sunnah.' -
pada zaman itu ada seorang pria yang bernama Shukaili dan orang-orang yang
mengikutinya, menamai diri mereka Shukaili
- Kita tidak akan berpaling dari nama-nama yang diberikan ALLAH Subhanahu wa ta'ala kepada
kita, ke dalam nama-nama yang dibuat orang dan orang tuanya, yang tidak
diizinkan ALLAH Subhanahu wa ta'ala."
Imam
Malik rahimahullahu ta'ala pernah
ditanya oleh seseorang, "Siapa Ahlus
Sunnah wal Jama'ah itu?" Lalu beliau menjawab, "Ahlus
Sunnah wal Jama'ah adalah mereka yang tidak memiliki gelar, baik Jahmiy (pengikut aliran sesat Jahmiyyah), ataupun Qadariy (pengikut aliran sesat Qadariyah),
maupun Rafidhiy (pengikut aliran
sesat Syi'ah)." Hal ini
termaktub dalam Kitabul Intiqa'.
Juga
dibukukan Ad Durr Al mantsur dari Imam As Suyuthi; jilid 2 halaman 63, bahwa
Imam Malik bin Maghul (wafat 195 H) berkata, "Jika seseorang memanggil dirinya dengan suatu panggilan yang tidak diajarkan
Islam atau As Sunnah, maka sesungguhnya dia telah memanggilnya dengan panggilan
ajaran agama (selain Islam) sesuai agama yang kamu ingini."
Jadi
menamakan diri dengan selain nama-nama yang telah diajarkan oleh ALLAH dan
Rasul-NYA adalah bid'ah dan belum ada satu dalil pun yang membolehkannya. Termasuk menamakan diri sebagai Salafiy
atau berkata, "Saya Salafiy" merupakan bid'ah yang tak ada dasar
serta tuntunannya dalam ajaran Rasulullah Muhammad Shalallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam!
Walau ada pendapat dari Imam besar ahli hadits terkemuka abad ke-20; Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah yang membolehkan hal tersebut. Beliau berkata ketika ditanya tentang masalah ini, "Akan tetapi ada orang yang mengaku berilmu mengingkari nisbah salafiyah dengan menyangka bahwa penisbahan ini tidak ada landasannya sehingga dia mengatakan : “Tidak boleh, seorang muslim berkata, "Saya salafi”. Seakan-akan dia mengatakan, "Tidak boleh seorang Muslim mengatakan, 'Saya mengikuti salafush shalih dalam jalan mereka dalam aqidah, dan suluk!'. Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini mengharuskan berlepas diri dari Islam yang shahih yang ditempuh oleh salafush shalih." Namun bila kita menelaah perkataan beliau ini, tak ada isyarat bahwa kita harus berpisah dengan jama'ah Muslimin yang lain dengan menyebut "Saya Salafi!"
Walau ada pendapat dari Imam besar ahli hadits terkemuka abad ke-20; Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah yang membolehkan hal tersebut. Beliau berkata ketika ditanya tentang masalah ini, "Akan tetapi ada orang yang mengaku berilmu mengingkari nisbah salafiyah dengan menyangka bahwa penisbahan ini tidak ada landasannya sehingga dia mengatakan : “Tidak boleh, seorang muslim berkata, "Saya salafi”. Seakan-akan dia mengatakan, "Tidak boleh seorang Muslim mengatakan, 'Saya mengikuti salafush shalih dalam jalan mereka dalam aqidah, dan suluk!'. Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini mengharuskan berlepas diri dari Islam yang shahih yang ditempuh oleh salafush shalih." Namun bila kita menelaah perkataan beliau ini, tak ada isyarat bahwa kita harus berpisah dengan jama'ah Muslimin yang lain dengan menyebut "Saya Salafi!"
Jika
sebagian orang berdalil dengan perkataan beliau - yang kemungkinan besarnya
disalahpahami ini - maka dia telah menentang apa yang telah ALLAH dan Rasul-NYA
turunkan. Dan penting untuk kita ingat bahwa tak ada ucapan salah seorang
manusia pun yang boleh menyelisihi apa yang telah shahih dan qath'i (pasti) datang dari ALLAH Subhanahu wa ta'ala dan
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam.
Telah tetap sebuah atsar shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya beliau berkata :
يوشك أن تنزل عليكم حجارة من السماء أقول: قال رسول الله وتقولون: قال أبو
بكر وعمر
“Sungguh nyaris kalian ditimpa hujan batu dari langit. Saya mengatakan
sabda Rasulullah, kalian malah menjawab dengan ucapan Abu Bakar dan ’Umar.”
Bahkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam pun tidak
boleh diselisihi pendapatnya dengan seorang Nabi pun sebelumnya sebagaimana
tersirat pada hadits beliau, "Umar
ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan membawa sebuah kitab (taurat) yang diperolehnya dari
sebagian ahlul kitab. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pun membacanya lalu beliau marah seraya bersabda:
“Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan
membawa agama yang putih bersih. Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada
mereka (ahlul kitab), sehingga mereka mengabarkan al-haq (kebenaran) kepada
kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut. Atau mereka mengabarkan satu
kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam
masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.”
(HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya
3/387 dan Ad-Darimi dalam muqaddimah kitab Sunan-nya no. 436. Demikian pula
Ibnu Abi ‘Ashim Asy-Syaibani dalam kitabnya As-Sunnah
no. 50. Hadits ini dihasankan oleh imam ahlul hadits di jaman ini Asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani v dalam Zhilalul
Jannah fi Takhrij As-Sunnah dan Irwa`ul
Ghalil no. 1589.)
ALLAH Subhanahu ta'ala berfirman, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya." (QS. Al Hasyr
[59]: 7)
Mengikuti
manhaj para generasi terbaik umat ini atau As Salafus Shalih merupakan sebuah
kewajiban, namun menamakan diri dengan As
Salaf (orang-orang terdahulu) atau menisbatkan diri pada mereka adalah
bid'ah. Karena jika begitu, maka manhaj
yang diikuti oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Shahabatnya juga berasal dari pendahulunya
yang notabene adalah kaum jahiliyah. Karena
kaum sebelum Nabi Muhammad adalah kaum jahiliyah yang berasal dari sebagian
umat Yahudi dan Nasrani serta umat-umat jahiliyah lain yang tidak mentauhidkan
ALLAH Subhanahu wa ta'ala dalam keyakinannya. Maka sungguh Rasulullah sendiri yang memerintahkan
kita untuk tidak mengikuti kaum-kaum sebelum mereka. Hal ini didasari oleh
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ
قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
"Sungguh, kalian
benar-benar akan mengikuti tradisi/kebiasaan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka
masuk ke dalam lubang biawak-pun kalian pasti akan mengikuti mereka." Kami
bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan
Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka?"
(HR. Muslim No. 4822)
Wallahu'alam bis shawab...
Ana tulis sendiri dari
berbagai reference. Untuk lebih
memahami siapakah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang sebenarnya, bisa merujuk pada
buku "Ahlus Sunnah wal Jama'ah;
Their Belief, Attributes, and Qualities (Ahlus Sunnah wal Jama'ah; Keyakinan,
Sifat, dan Kualitasnya)" yang dituls oleh Syaikh Omar Bakri Muhammad,
cetakan 1 - Jakarta: Gema Insani Press: 2005.
27 Oktober 2011/ 29
Dzulqaidah 1432 H
Muhammad Valdy Nur Fattah ibn Mohammad Safiq a.k.a
Abdulkhaliq Al Majriti a.k.a Abdullah ibnu Abi Abdillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar