1. LILIN-LILIN YANG MEMUDAR
Lilin-lilin itu… Lilin-lilin itu terasa semakin tua dan mulai membungkukkan badannya. Lilin-lilin itu seolah perlahan-lahan ingin merubuhkan dirinya ke tanah setelah sekian lama berdiri menerangi kami. Menerangi rumah kami. Itupun jikalau masih bisa disebut sebagai rumah. Sebuah rongga di perut gunung yang memiliki ceruk cukup dalam untuk kami berteduh. Ceruk yang begitu gelap, sempit, dan pengap untuk manusia bertahan hidup di dalamnya. Tampaknya ceruk ini dulunya mungkin adalah sebuah lumbung pertahanan perang di masa kolonialisme Belanda atau Jepang yang telah semena-mena menginjak-injak harga diri bangsa kita selama lebih dari tiga setengah abad. Dulu ceruk ini dipakai sebagai tempat berlindung tentara-tentara pemberontak Indonesia dari serangan para penjajah. Kini ceruk ini kami manfaatkan sebagai tempat keluarga kami berlindung setelah kami terpaksa harus kehilangan rumah kami. Bukan karena rumah kami telah disita karena suatu masalah. Bukan pula kami ini gelandangan yang sembarangan membuat rumah di atas tanah yang illegal untuk kami singgahi sehingga membuat pemerintah menggusur kami. Itu merupakan rumah kami yang sah yang telah dibeli tanahnya dan dibangun sebuah rumah sederhana yang indah dan nyaman bagi seluruh keluarga. Rumah itu kami dapatkan berkat kerja keras dan perjuangan serta perasan keringat ayah kami yang berjiwa kesatria.
Beberapa waktu yang lalu kami terpaksa kehilangan rumah kami tanpa kami bisa berbuat banyak untuk mempertahankannya dari amukan massa. Para penduduk di desa kami marah besar dan mengusir kami lantas membakar rumah kami dan hanya menyisakan puing-puing abu di sana. Kami diusir dari desa dengan berbalut hujatan, cercaan, dan hinaan. Hal ini terjadi setelah beberapa orang polisi berseragam lengkap dan bagiku tampak seperti rongsokan besi yang berjalan. Gerombolan polisi dzalim itu yang mengaku berasal dari kelompok pembasmi terorisme nasional atau lebih kita kenal dengan sebutan Densus 88 anti-terrorist, sebelumnya telah mengintai keberadaan rumah kami secara diam-diam. Ada beberapa dari mereka yang sempat menyamar menjadi seorang salesmen yang ingin menawarkan barang dagangannya dan tanpa sepengetahuanku mereka sempat masuk ke kamar ayah dengan vacuum cleaner yang ingin mereka jual pada kami dan sedikit mengacak-acak kamarnya. Beberapa hari kemudian orang-orang itu datang kembali ke rumah kami dalam keadaan yang berbeda. Kini di tangan-tangan mereka telah tersemat senjata api cukup canggih yang mampu membantai seluruh keluarga kami sekaligus. Mereka juga berpakaian layaknya S.W.A.T di negeri Paman Sam. Hitam-hitam yang berkelebat ke sana kemari itu, mengepung rumah kami dan sempat melesakkan beberapa tembakan yang tanpa permisi mondar-mandir di dalam rumah kami. Memecahkan kaca-kaca rumah kami serta meluluhlantakkan barang-barang apa saja yang disapanya. Keadaan mencekam menyekap kami di dalam dengan ketakutan sebelum akhirnya mereka menyeret ayahku dengan paksa lalu menembak kepalanya tepat di hadapan kedua mataku. Kepala beliau pecah tak karuan dan dara-darahnya muncrat ke mana-mana, termasuk ke pipi kananku. Tangis dan teriakan kami tak ada yang mereka hiraukan. Tak lama beberapa dari mereka yang sedari tadi telah berada di dalam rumah, memanggil beberapa reporter dan menunjuki mereka sebuah peti besi yang berada di dalam rumah kami. Sebelumnya, aku belum pernah melihat peti tersebut dan ku yakin benar bahwa tak seorang pun terlebih ayah yang tahu akan keberadaan peti tersebut. Setelah dibuka, isi peti itu tak lain adalah beberapa selongsong peluru, dua buah senapan mesin laras panjang, dan beberapa macam bom rakitan.
“Hei keluarga teroris! Keluar kalian bajingan! Jangan kalian tinggal di desa kami lagi! Kami benar-benar tak sudi bertetangga dengan kalian. Kalian aib bagi desa kami. Cepat pergi!” teriak salah seorang warga sebelum rumah kami jadi bulan-bulanan mereka. Pekikan itu terus menerus menghantui kami, menggema di gendang telinga, menelusup hingga ke nadi. Kami keluar dari rumah dengan membawa barang-barang seadanya yang bisa kami bawa.
Pekikan-pekikan yang melengking terlontar dari para warga yang tak memiliki rasa balas budi. Mungkin mereka telah melupakan jasa-jasa ayahku di kala dia hidup dahulu. Mereka lupa siapa yang telah berinisiatif menyumbangkan hartanya demi berdirinya masjid di desa kami untuk pertama kalinya. Mereka mungkin lupa siapa yang telah mendirikan sebuah pondok pesantren sederhana demi meningkatkan taraf pendidikan di desa kami. Berapa banyak anak-anak mereka yang telah menghafal kitab kebenaran yang diturunkan Sang Maha Benar. Berapa banyak dari mereka yang dulunya buta huruf dan tak bisa baca tulis kini telah berhasil menjadi sarjana-sarjana sukses di perguruan tinggi berkat keikhlasan dan ketulusan ayah membimbing serta mengajari mereka. Berapa banyak jamaah shalat lima waktu yang menjadi makmumnya ketika siang dan ketika malam tiba. Karena ayah-lah yang membuat keadaan desa itu aman dan tenteram dengan pencerahan ruhaniah agama setiap usai shalat Subuh berjamaah. Begitu kental terasa jalinan ukhuwah Islamiyah yang menjalar di desa itu ketika itu. Semuanya beliau lakukan tanpa mengharap balasan, tanpa bayaran sepeser pun, tanpa embel-embel apa pun, melainkan ridha ALLAH Swt. Ibarat petir yang menggelegar di dalam kalbu tatkala membaca sebuah harian media massa yang menyatakan ‘Seorang Guru Ngaji yang Tetkenal Shalih Menjadi Salah Satu Anggota Teroris!’ Tiada fitnah yang lebih menyakitkan buat keluargaku selain ini. Ayahku memang seorang shalih yang mendedikasikan dirinya demi kesejahteraan sesamanya. Hidupnya dipenuhi dengan kemuliaan bagaikan mutiara di tengah-tengah rawa yang kotor.
“Fikri, sudahlah… tak perlu kau hiraukan lagi apa kata mereka! Kemuliaan itu datangnya dari ALLAH, jadi DIA-lah yang berhak bilang bahwa kita ini hina atau tidak,” ucap ibuku. “Abi memang telah tiada namun berkat ilmu yang dia berikan pada kita semua, kita mampu tetap bertahan. Ingat tidak apa yang pernah dia bilang semasa hidupnya?”
Aku menggelengkan kepalaku dengan wajah sedikit tersirat tanda tanya. Ibu pun menjawab pertanyaannya sendiri, “Abi berkata jika dia nanti meninggal dan tidak sempat memberikan harta waris yang cukup buat kita, dia hanya ingin agar kita berpegang pada dua hal yang tak akan pernah membuat kita terperosok ke jurang yang dalam saat kita terjatuh dan akan menerangi jalan hidup kita yang semakin gelap tantangannya di depan. Dua hal itu adalah Al-Qur’an Al Kariim dan Sunnah Rasulullah Saw.”
Kami menjalani kehidupan dengan sangat sederhana. Tak ada listrik yang bisa menerangi tempat berteduh kami di malam hari. Terkadang suka terlihat kunang-kunang yang memberi pelitanya di gelap malam. Tak ada selimut untuk kami menghangatkan diri di saat malam menjadi dingin. Ibu hanya mencuci pakaian dengan air danau yang tepat berada di depan tempat kami itu. Minuman pun kami dapatkan dari danau tersebut yang airnya nampak jernih. Sedang makanan kami peroleh dari usaha-usaha kami, apa saja yang penting halal.
Nisa, adikku berangkat sekolah dengan menyeberangi danau itu karena sekolahnya kebetulan terletak di seberangnya. Dengan rakit yang kubuatkan untuknya, tas dan buku-bukunya dia letakkan dirakit agar tidak basah, sedangkan dia semdiri berenang dengan merelakan dirinya basah kuyup bersama seragam yang dia pakai demi mencapai sekolah.
Sementara aku menuju kampus di kota dengan menuruni gunung setiap harinya. Seusai melakukan shalat Subuh berjamaah dengan keluargaku, seketika itu juga aku meluncur ke kampus sehingga selama ini aku tak pernah terlambat mengikuti kuliah pagi jam delapan walau harus menempuh jarak belasan kilometer dengan berjalan kaki. Tanpa peduli panas dan hujan, begitulah keadaan keluarga kami setiap harinya.
Aku juga sering mendengar tentang keadaan desa lamaku yang telah mengusir kami sekeluarga. Konon, di sana kini telah menjangkit penyakit mematikan yang tak bisa kupastikan apa penyakit tersebut. Namun menurut kabar terakhir, ratusan warga telah menemui ajalnya akibat wabah penyakit tersebut. Kejahatan juga merajalela di sana, perzinahan di mana-mana, pembunuhan pun bukan masalah baru lagi. Kehidupan yang dulu aman dan tenteram kini berubah menjadi kelam sepeninggal ayah kami dan kami sekeluarga. Tak ada lagi pencerahan agama dan akhlak moral di desa itu. Tak ada lagi lentera yang membimbing mereka.
Lilin yang sedari tadi mematung berdiri di hadapanku sesekali melambai-lambaikan diri tertiup angin seolah-olah ingin membangunkan aku dari lamunanku ketika menatap ibu dan adikku yang tidur sambil berpelukan di tengah dinginnya malam. Sementara aku masih larut dalam renungan malam sesaat setelah diriku selesai bermunajat kepada ALLAH Swt, Tuhan Seru Sekalian Alam. Kata ayahku, dia mengajarkanku agar tidak meninggalkan shalat di tengah malam karena Nabi Muhammad juga tidak pernah meninggalkannya. Ayah juga berkata jika tengah malam tiba, maka ALLAH akan turun ke langit bumi untuk mengetuk pintu hamba-hambaNYA dan apabila kita bermunajat kepadaNYA, maka niscaya doa kita akan terkabul dan dosa-dosa kita diampuniNYA. Ayahku berucap, “Apakah pantas seseorang yang mencintai Kekasihnya tidak mengindahkan panggilan dan ketukan Kekasihnya itu di kala dia merelakan diri turun dari singgasanaNYA lalu mampir ke rumahmu di tengah gelap dan dinginnya malam? Apakah pantas menyambut kekasihmu yang menanti di depan pintu demi melihatmu mendekat padaNYA, namun kau sambut kehadiranNYA dengan dengkuran tidurmu? Padahal DIA yang selalu menjagamu di siang dan malam hari serta selalu memberikan apa yang kau minta juga mengampuni dosa-dosamu yang pernah kau perbuat. Pantaskah kita memperlakukanNYA seperti itu nak?!”
Aku kini mengerti benar mengapa selama ini ayah mendedikasikan hidupnya demi memperjuangkan tegak kokohnya agama ALLAH di atas muka bumi. Walau pun difitnah seperti ini, keluarga kami mampu tegar menghadapinya. Karena ajaran agama dari beliau, kami mampu istiqamah dalam menjalani masa-masa sulit. Dia ingin agar iman kita jangan terhapus oleh ujian duniawi seperti ini. Adik perempuanku satu-satunya, Khairunnisa, kini masih mampu melanjutkan pendidikan sekolah dasarnya hanya dengan hasil menjual jajanan buatan ibu di depan sekolahnya. Walaupun setiap hari harus memendam rasa perih karena dikatakan anak teroris oleh teman-temannya. Perlakuan yang sama dengan yang ku alami di universitas tempat ku menimba ilmu. Namun Alhamdulillah, aku mampu membungkam rapat-rapat mulut teman-teman yang mencemoohku dengan peraihan predikat mahasiswa terbaik sedaerah yang ku peroleh belum lama ini. Dan tak lama lagi, Insya ALLAH aku akan berangkat ke Kairo, Mesir, dalam rangka merealisir beasiswa yang kudapat bukan karena aku berhak mendapatkannya disebabkan oleh prestasiku di kampus, namun berkat kemurahan dari ALLAH. Apa pun yang terjadi aku akan terus berusaha berada di jalan yang lurus seperti yang Nabi Muhammad Saw ajarkan. Aku juga bangga dengan ayahku yang pernah menjadi veteran perang di Afghanistan. Aku tetap yakin jika ayahku bukanlah teroris seperti yang banyak orang katakan. Tak ada bukti yang valid tentang itu sejauh aku tahu sampai saat ini. Pemerintah seolah ingin menjadikannya kambing hitam atas kepentingan tertentu dalam negeri ini. Aku tak malu memiliki ayah shalih seperti beliau. Apabila yang dituduhkan itu benar, namun mengapa jasad ayahku itu harum mewangi saat wafat? Mengapa hujan tiba-tiba mengguyur deras pada saat pemakamannya? Dan mengapa lilin yang dulu menerangi desa tempatku dulu pernah tinggal, kini mulai memudar sinarnya? Mengapa…?
Lilin-lilin itu… Lilin-lilin itu terasa semakin tua dan mulai membungkukkan badannya. Lilin-lilin itu seolah perlahan-lahan ingin merubuhkan dirinya ke tanah setelah sekian lama berdiri menerangi kami. Menerangi rumah kami. Itupun jikalau masih bisa disebut sebagai rumah. Sebuah rongga di perut gunung yang memiliki ceruk cukup dalam untuk kami berteduh. Ceruk yang begitu gelap, sempit, dan pengap untuk manusia bertahan hidup di dalamnya. Tampaknya ceruk ini dulunya mungkin adalah sebuah lumbung pertahanan perang di masa kolonialisme Belanda atau Jepang yang telah semena-mena menginjak-injak harga diri bangsa kita selama lebih dari tiga setengah abad. Dulu ceruk ini dipakai sebagai tempat berlindung tentara-tentara pemberontak Indonesia dari serangan para penjajah. Kini ceruk ini kami manfaatkan sebagai tempat keluarga kami berlindung setelah kami terpaksa harus kehilangan rumah kami. Bukan karena rumah kami telah disita karena suatu masalah. Bukan pula kami ini gelandangan yang sembarangan membuat rumah di atas tanah yang illegal untuk kami singgahi sehingga membuat pemerintah menggusur kami. Itu merupakan rumah kami yang sah yang telah dibeli tanahnya dan dibangun sebuah rumah sederhana yang indah dan nyaman bagi seluruh keluarga. Rumah itu kami dapatkan berkat kerja keras dan perjuangan serta perasan keringat ayah kami yang berjiwa kesatria.
Beberapa waktu yang lalu kami terpaksa kehilangan rumah kami tanpa kami bisa berbuat banyak untuk mempertahankannya dari amukan massa. Para penduduk di desa kami marah besar dan mengusir kami lantas membakar rumah kami dan hanya menyisakan puing-puing abu di sana. Kami diusir dari desa dengan berbalut hujatan, cercaan, dan hinaan. Hal ini terjadi setelah beberapa orang polisi berseragam lengkap dan bagiku tampak seperti rongsokan besi yang berjalan. Gerombolan polisi dzalim itu yang mengaku berasal dari kelompok pembasmi terorisme nasional atau lebih kita kenal dengan sebutan Densus 88 anti-terrorist, sebelumnya telah mengintai keberadaan rumah kami secara diam-diam. Ada beberapa dari mereka yang sempat menyamar menjadi seorang salesmen yang ingin menawarkan barang dagangannya dan tanpa sepengetahuanku mereka sempat masuk ke kamar ayah dengan vacuum cleaner yang ingin mereka jual pada kami dan sedikit mengacak-acak kamarnya. Beberapa hari kemudian orang-orang itu datang kembali ke rumah kami dalam keadaan yang berbeda. Kini di tangan-tangan mereka telah tersemat senjata api cukup canggih yang mampu membantai seluruh keluarga kami sekaligus. Mereka juga berpakaian layaknya S.W.A.T di negeri Paman Sam. Hitam-hitam yang berkelebat ke sana kemari itu, mengepung rumah kami dan sempat melesakkan beberapa tembakan yang tanpa permisi mondar-mandir di dalam rumah kami. Memecahkan kaca-kaca rumah kami serta meluluhlantakkan barang-barang apa saja yang disapanya. Keadaan mencekam menyekap kami di dalam dengan ketakutan sebelum akhirnya mereka menyeret ayahku dengan paksa lalu menembak kepalanya tepat di hadapan kedua mataku. Kepala beliau pecah tak karuan dan dara-darahnya muncrat ke mana-mana, termasuk ke pipi kananku. Tangis dan teriakan kami tak ada yang mereka hiraukan. Tak lama beberapa dari mereka yang sedari tadi telah berada di dalam rumah, memanggil beberapa reporter dan menunjuki mereka sebuah peti besi yang berada di dalam rumah kami. Sebelumnya, aku belum pernah melihat peti tersebut dan ku yakin benar bahwa tak seorang pun terlebih ayah yang tahu akan keberadaan peti tersebut. Setelah dibuka, isi peti itu tak lain adalah beberapa selongsong peluru, dua buah senapan mesin laras panjang, dan beberapa macam bom rakitan.
“Hei keluarga teroris! Keluar kalian bajingan! Jangan kalian tinggal di desa kami lagi! Kami benar-benar tak sudi bertetangga dengan kalian. Kalian aib bagi desa kami. Cepat pergi!” teriak salah seorang warga sebelum rumah kami jadi bulan-bulanan mereka. Pekikan itu terus menerus menghantui kami, menggema di gendang telinga, menelusup hingga ke nadi. Kami keluar dari rumah dengan membawa barang-barang seadanya yang bisa kami bawa.
Pekikan-pekikan yang melengking terlontar dari para warga yang tak memiliki rasa balas budi. Mungkin mereka telah melupakan jasa-jasa ayahku di kala dia hidup dahulu. Mereka lupa siapa yang telah berinisiatif menyumbangkan hartanya demi berdirinya masjid di desa kami untuk pertama kalinya. Mereka mungkin lupa siapa yang telah mendirikan sebuah pondok pesantren sederhana demi meningkatkan taraf pendidikan di desa kami. Berapa banyak anak-anak mereka yang telah menghafal kitab kebenaran yang diturunkan Sang Maha Benar. Berapa banyak dari mereka yang dulunya buta huruf dan tak bisa baca tulis kini telah berhasil menjadi sarjana-sarjana sukses di perguruan tinggi berkat keikhlasan dan ketulusan ayah membimbing serta mengajari mereka. Berapa banyak jamaah shalat lima waktu yang menjadi makmumnya ketika siang dan ketika malam tiba. Karena ayah-lah yang membuat keadaan desa itu aman dan tenteram dengan pencerahan ruhaniah agama setiap usai shalat Subuh berjamaah. Begitu kental terasa jalinan ukhuwah Islamiyah yang menjalar di desa itu ketika itu. Semuanya beliau lakukan tanpa mengharap balasan, tanpa bayaran sepeser pun, tanpa embel-embel apa pun, melainkan ridha ALLAH Swt. Ibarat petir yang menggelegar di dalam kalbu tatkala membaca sebuah harian media massa yang menyatakan ‘Seorang Guru Ngaji yang Tetkenal Shalih Menjadi Salah Satu Anggota Teroris!’ Tiada fitnah yang lebih menyakitkan buat keluargaku selain ini. Ayahku memang seorang shalih yang mendedikasikan dirinya demi kesejahteraan sesamanya. Hidupnya dipenuhi dengan kemuliaan bagaikan mutiara di tengah-tengah rawa yang kotor.
“Fikri, sudahlah… tak perlu kau hiraukan lagi apa kata mereka! Kemuliaan itu datangnya dari ALLAH, jadi DIA-lah yang berhak bilang bahwa kita ini hina atau tidak,” ucap ibuku. “Abi memang telah tiada namun berkat ilmu yang dia berikan pada kita semua, kita mampu tetap bertahan. Ingat tidak apa yang pernah dia bilang semasa hidupnya?”
Aku menggelengkan kepalaku dengan wajah sedikit tersirat tanda tanya. Ibu pun menjawab pertanyaannya sendiri, “Abi berkata jika dia nanti meninggal dan tidak sempat memberikan harta waris yang cukup buat kita, dia hanya ingin agar kita berpegang pada dua hal yang tak akan pernah membuat kita terperosok ke jurang yang dalam saat kita terjatuh dan akan menerangi jalan hidup kita yang semakin gelap tantangannya di depan. Dua hal itu adalah Al-Qur’an Al Kariim dan Sunnah Rasulullah Saw.”
Kami menjalani kehidupan dengan sangat sederhana. Tak ada listrik yang bisa menerangi tempat berteduh kami di malam hari. Terkadang suka terlihat kunang-kunang yang memberi pelitanya di gelap malam. Tak ada selimut untuk kami menghangatkan diri di saat malam menjadi dingin. Ibu hanya mencuci pakaian dengan air danau yang tepat berada di depan tempat kami itu. Minuman pun kami dapatkan dari danau tersebut yang airnya nampak jernih. Sedang makanan kami peroleh dari usaha-usaha kami, apa saja yang penting halal.
Nisa, adikku berangkat sekolah dengan menyeberangi danau itu karena sekolahnya kebetulan terletak di seberangnya. Dengan rakit yang kubuatkan untuknya, tas dan buku-bukunya dia letakkan dirakit agar tidak basah, sedangkan dia semdiri berenang dengan merelakan dirinya basah kuyup bersama seragam yang dia pakai demi mencapai sekolah.
Sementara aku menuju kampus di kota dengan menuruni gunung setiap harinya. Seusai melakukan shalat Subuh berjamaah dengan keluargaku, seketika itu juga aku meluncur ke kampus sehingga selama ini aku tak pernah terlambat mengikuti kuliah pagi jam delapan walau harus menempuh jarak belasan kilometer dengan berjalan kaki. Tanpa peduli panas dan hujan, begitulah keadaan keluarga kami setiap harinya.
Aku juga sering mendengar tentang keadaan desa lamaku yang telah mengusir kami sekeluarga. Konon, di sana kini telah menjangkit penyakit mematikan yang tak bisa kupastikan apa penyakit tersebut. Namun menurut kabar terakhir, ratusan warga telah menemui ajalnya akibat wabah penyakit tersebut. Kejahatan juga merajalela di sana, perzinahan di mana-mana, pembunuhan pun bukan masalah baru lagi. Kehidupan yang dulu aman dan tenteram kini berubah menjadi kelam sepeninggal ayah kami dan kami sekeluarga. Tak ada lagi pencerahan agama dan akhlak moral di desa itu. Tak ada lagi lentera yang membimbing mereka.
Lilin yang sedari tadi mematung berdiri di hadapanku sesekali melambai-lambaikan diri tertiup angin seolah-olah ingin membangunkan aku dari lamunanku ketika menatap ibu dan adikku yang tidur sambil berpelukan di tengah dinginnya malam. Sementara aku masih larut dalam renungan malam sesaat setelah diriku selesai bermunajat kepada ALLAH Swt, Tuhan Seru Sekalian Alam. Kata ayahku, dia mengajarkanku agar tidak meninggalkan shalat di tengah malam karena Nabi Muhammad juga tidak pernah meninggalkannya. Ayah juga berkata jika tengah malam tiba, maka ALLAH akan turun ke langit bumi untuk mengetuk pintu hamba-hambaNYA dan apabila kita bermunajat kepadaNYA, maka niscaya doa kita akan terkabul dan dosa-dosa kita diampuniNYA. Ayahku berucap, “Apakah pantas seseorang yang mencintai Kekasihnya tidak mengindahkan panggilan dan ketukan Kekasihnya itu di kala dia merelakan diri turun dari singgasanaNYA lalu mampir ke rumahmu di tengah gelap dan dinginnya malam? Apakah pantas menyambut kekasihmu yang menanti di depan pintu demi melihatmu mendekat padaNYA, namun kau sambut kehadiranNYA dengan dengkuran tidurmu? Padahal DIA yang selalu menjagamu di siang dan malam hari serta selalu memberikan apa yang kau minta juga mengampuni dosa-dosamu yang pernah kau perbuat. Pantaskah kita memperlakukanNYA seperti itu nak?!”
Aku kini mengerti benar mengapa selama ini ayah mendedikasikan hidupnya demi memperjuangkan tegak kokohnya agama ALLAH di atas muka bumi. Walau pun difitnah seperti ini, keluarga kami mampu tegar menghadapinya. Karena ajaran agama dari beliau, kami mampu istiqamah dalam menjalani masa-masa sulit. Dia ingin agar iman kita jangan terhapus oleh ujian duniawi seperti ini. Adik perempuanku satu-satunya, Khairunnisa, kini masih mampu melanjutkan pendidikan sekolah dasarnya hanya dengan hasil menjual jajanan buatan ibu di depan sekolahnya. Walaupun setiap hari harus memendam rasa perih karena dikatakan anak teroris oleh teman-temannya. Perlakuan yang sama dengan yang ku alami di universitas tempat ku menimba ilmu. Namun Alhamdulillah, aku mampu membungkam rapat-rapat mulut teman-teman yang mencemoohku dengan peraihan predikat mahasiswa terbaik sedaerah yang ku peroleh belum lama ini. Dan tak lama lagi, Insya ALLAH aku akan berangkat ke Kairo, Mesir, dalam rangka merealisir beasiswa yang kudapat bukan karena aku berhak mendapatkannya disebabkan oleh prestasiku di kampus, namun berkat kemurahan dari ALLAH. Apa pun yang terjadi aku akan terus berusaha berada di jalan yang lurus seperti yang Nabi Muhammad Saw ajarkan. Aku juga bangga dengan ayahku yang pernah menjadi veteran perang di Afghanistan. Aku tetap yakin jika ayahku bukanlah teroris seperti yang banyak orang katakan. Tak ada bukti yang valid tentang itu sejauh aku tahu sampai saat ini. Pemerintah seolah ingin menjadikannya kambing hitam atas kepentingan tertentu dalam negeri ini. Aku tak malu memiliki ayah shalih seperti beliau. Apabila yang dituduhkan itu benar, namun mengapa jasad ayahku itu harum mewangi saat wafat? Mengapa hujan tiba-tiba mengguyur deras pada saat pemakamannya? Dan mengapa lilin yang dulu menerangi desa tempatku dulu pernah tinggal, kini mulai memudar sinarnya? Mengapa…?
2. BUKU TELEPON
Bel masuk kelas pun berbunyi menyuruh teman-temanku yang masih bermain di luar untuk segera memasuki kelas dan mengikuti kegiatan belajar-mengajar di dalamnya. Hari ini adalah hari Selasa, dan di hari ini Bu Guru kami yang cantik lagi memakai kerudung yang lebar dan rapat menutupi sekujur tubuhnya, bernama Ummu Syahidah, seperti biasa akan mengajar pelajaran Bahasa Indonesia di kelas kami. Kami yang kini duduk di tingkatan lima Sekolah Dasar sangat menyukai pribadi guru kami itu. Selain wajahnya yang cantik dan matanya yang bersinar cerah bak pelangi, kami juga melihat dia sebagai sosok pribadi yang penuh kelembutan serta kasih sayang terhadap anak-anak yang dia didik. Tak pernah sekalipun dia marah terhadap kami, sehingga membuat kami merasa sungkan dan enggan berbuat nakal apalagi melawan perintah-perintahnya.
“Hari ini Ibu ingin kalian semua satu per satu berdiri di kelas untuk menceritakan pengalaman kalian yang paling berkesan selama ini. Kebetulan di pembahasan kali ini adalah tentang masalah bab “bercerita’ jadi akan Ibu nilai bagaimana kalian mampu memaparkan pengalaman kalian dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar,” ujar Bu Idah, kami biasa memanggilnya seperti itu.
Satu demi satu kami dipanggil ke depan kelas untuk bercerita tentang pengalaman kami yang paling menarik sesuai dengan urutan absen kami yang disusun berdasarkan huruf abjad nama-nama kami.
“Yang pertama adalah, Afif Chandra Kusuma! Kamu maju ya!” pinta Bu Idah sambil menarik sudut-sudut bibirnya sehingga membentuk sebuah sudut senyuman yang indah nan manis.
Dengan penuh percaya diri, Afif, salah seorang temanku yang terkenal suka menggoda anak-anak perempuan di kelas itu, maju ke hadapan anak-anak lain untuk memenuhi permintaan Bu Idah.
“Ehhm… Ini adalah pengalamanku yang terindah,” kata Afif memulai ceritanya. “Waktu itu aku sedang berjalan-jalan dengan Papa dan Mamaku ke Ancol untuk menikmati masa-masa liburan di sana bersama dengan dua kakakku dan seorang adik perempuanku yang masih TK. Lalu di dalamnya ketika aku lagi asyik bermain pasir bersama adikku di pinggir pantai, eh tahu-tahu sebuah gelombang ombak yang cukup besar merobohkan istana pasir yang ku bikin dengan susah payah. Ombak itu juga sempat menyeretku beberapa jengkal dari bibir pantai dan bikin aku tenggelam beberapa saat. Kemudian, ketika aku mulai sadar, aku telah berada dalam pelukan seorang wanita keturunan China yang amat cantik, putih, dan mulus kulitnya. Dia hanya memakai pakaian renangnya yang ketat sehingga aku bisa menikmati lekuk-lekuk tubuhnya tanpa terganggu oleh apapun. Aku merasa sangat nyaman berada dalam pelukannya. Apalagi setelah mengetahui bahwa dia sebelumnya memberiku nafas buatan dengan meniupkan udara dari mulutnya ke mulutku. Aku belum puas, jadi aku pura-pura batuk dan pingsan lagi di hangatnya pelukan wanita bermata sipit itu. Ahh alangkah indahnya pengalaman itu. Seandainya aku bisa kembali ke masa-masa itu.” Anak-anak yang lain memberinya sambutan dengan nada cemooh sambil berkata, ‘Huuu…!!!’
Afif lalu duduk tanpa menghiraukan seruan anak-anak yang lain. Sementara Bu Idah menulis sesuatu semacam catatan di sebuah buku penilaian. Kemudian, Bu Idah memanggil nama Afif lagi, “Afif, sebenarnya kamu dengan baik telah menceritakan pengalamanmu di depan teman-teman, namun ada beberapa kata yang tak sepatutnya kamu menggunakan itu dalam keadaan resmi karena kata-kata itu tidak baku dipakai. Misalnya Mama dan Papa, gunakanlah kata Ayah dan Ibu! Lalu kata-kata eh… tau-tau, sebaiknya kamu ganti dengan kata tiba-tiba tanpa menggunakan eh di depannya! Kata lagi juga seharusnya kamu ganti dengan kata sedang. Kata bikin seharusnya kamu ganti dengan memakai kata membuat. Secara keseluruhan, kamu telah baik dalam menyampaikannya hanya sedikit koreksi-koreksi tadi. Dan satu lagi, cerita yang kamu ceritakan itu bukanlah cerita yang sepatutnya kamu jadikan pengalaman terbaik dalam hidup kamu karena tak ada faedah serta manfaat darinya. Cerita itu justru bisa membuat contoh yang tidak baik untuk teman-teman kamu yang lain. Ya sudah, kali ini giliran Ambarwati Yulianingsih, maju ke depan dan berceritalah!”
Ambar yang kini dipanggil. Dia pun mulai menggerak-gerakkan bibirnya untuk memulai ceritanya, “Saat itu aku berada di bangku kelas tiga. Musim liburan telah tiba. Aku dan keluargaku bergegas untuk pergi berlibur ke luar negeri. Kami sekeluarga pergi ke Eropa dengan menaiki pesawat jet pribadi yang dimiliki oleh ayahku. Dengan biaya beberapa ratus juta rupiah saja, kami pun meluncur menuju Eropa. Pertama kami mengunjungi negara Perancis. Di sana kami bisa secara langsung melihat dengan kedua mata kepala kami yang disebut dengan menara Eiffel yang tinggi menjulang itu. Dari puncaknya, kami seolah-olah sanggup menerawang pandangan kami ke seluruh dunia. Kami juga bisa menikmati baju-baju rancangan para desainer fashion terkenal di sana. Di pekan berikutnya kami berkunjung ke Italia dan menikmati keindahan negeri menara Pisa tersebut sambil mencicipi rasa lezat Pizza khas Italia. Kakakku juga sempat menonton beberapa pertunjukan teater musical yang cukup mahal harga tiketnya di sana. Di pekan terakhir kami menuju Madrid, ibukota Spanyol. Di sana kami menikmati pertandingan matador yang seru sekali. Lalu yang tak kalah seru adalah melihat pertandingan sepakbola para bintang lapangan hijau ibukota dalam kompetisi La Liga. Aku bisa secara langsung melihat para pemain bintang yang sering muncul di layar televisi, seperti Christiano Ronaldo, Gonzalo Higuain, Iker Cassillas, Jose Antonio Reyes, Lionel Messi, dan masih banyak yang lainnya.” Ambar begitu bersemangat menunjukkan kebahagiaannya bisa berkeliling Eropa di masa liburnya. “Yang pasti, itulah pengalaman hidup yang tak pernah aku lupakan seumur hidupku,” Ambar pun mengakhiri kisahnya.
“Bagus Ambar. Kamu menggunakan kalimat-kalimat yang tersusun cukup rapi dan baku. Sekarang kamu boleh duduk!” ucap Bu Idah senang melihat penampilan Ambar di depan kelas.
“Lalu sesuai abjad, giliran berikutnya untuk bercerita adalah… Andika Pratamayudha.”
Seketika aku tersentak ketika namaku yang dipanggil ke depan untuk bercerita. Aku tidak tahu pengalaman apa yang akan aku ceritakan. Aku tidak tahu pengalaman seperti apa yang harus kuceritakan di hadapan puluhan teman-temanku sementara tak ada cerita yang membanggakan dari hidupku yang sederhana ini. Aku tak punya apa-apa untuk pergi ke luar negeri sepert Ambar. Aku juga tidak cukup tampan untuk berada dalam pelukan wanita-wanita cantik seperti dalam kisah Afif. Ah… tapi aku harus maju. Aku tak ingin mengecewakan Bu Idah yang sangat mempercayaiku selama ini. Dengan segenap tenaga yang ada, aku coba bangkit dan menepis segala keraguan yang bersemayam di dalam dadaku. Aku mengusap dahiku yang bercucuran keringat. Lalu aku pun maju bak kesatria tak bersenjata yang maju sendirian ke tengah-tengah medan perang.
Bibirku kelu. Bibirku terlalu kering dan kaku untuk sekedar berkata-kata. Ingin sekali aku mencoba untuk berkonsentrasi penuh. Namun melihat betapa banyaknya anak-anak yang siap mendengar celotehanku di hadapan mereka, jantungku semakin berdegup kencang bagaikan sebuah bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak.
Aku pusatkan segala perhatianku kepada isi hatiku yang paling dalam. Aku mencoba menggali-gali ke dalam pikiranku. Mencoba terus mengais-ngais sesuatu yang siapa tahu bisa ku temukan di dalamnya. Kemudian aku bisa membawanya ke dunia nyata sebagai bahan untuk diceritakan kepada Bu Idah dan seluruh teman-temanku yang lain. Semua mata menatap ke arahku seperti panah yang berada pada busurnya dan siap menghujam siapa saja yang berada dalam bidikannya.
“Pengalaman… pengalaman… pengalaman terbaikku… Pengalaman terbaikku… adalah…,” diriku terlalu gugup untuk mengeluarkan apa saja yang ada dalam hatiku. Aku tak bisa focus. Wajahku menjadi pucat seketika. Namun sekali lagi kucoba untuk tetap tenang dan terus mengeruk-eruk tumpukan pemikiran di dalam diri ini. Tumpukan-tumpukan itu begitu menggunung sehingga membuat semua isi hatiku seolah terkubur begitu jauh di dasar palung hati.
Yup, beberapa detik kemudian, aku mulai mendapatkan secercah keberanian dan kepercayaan diri untuk mengungkapkan apa yang seharusnya aku ungkapkan. Sesuatu yang mungkin terlihat sepele, namun amat banyak berarti untukku. Sesuatu ini belum lama ku alami dan baru saja muncul ke permukaan pikiranku. Kini aku benar-benar yakin akan apa yang akan aku ceritakan di hadapan puluhan pasang mata yang sedang menyoroti kegugupanku.
Dengan penuh keyakinan, kini kedua katup bibirku mulai melancarkan ucap.
“Pengalaman terbaikku adalah ketika mengetahui bahwa namaku berada di dalam daftar buku telepon.”
Seketika itu pula gelak tawa menghina pun menggemuruh di dalam kelas yang tadinya hening karena menungguku untuk berbicara. Bu Idah pun terlihat sedikit menutupi senyuman manis di bibir merah mudanya yang tipis.
“Kalian boleh tertawa kencang mendengar ini. Tapi kalian tidak tahu apa artinya bagiku berada di dalam daftar buku telepon,” ucapku membuat henyak semua yang tadi menertawakanku. Suasana menjadi kembali sunyi senyap dalam kelas.
“Berada dalam daftar buku telepon berarti aku kini sudah memiliki rumah yang menetap. Tidak lagi berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Aku tidak perlu berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah lain untuk menuntut ilmu. Aku pun tidak khawatir lagi ke mana aku harus pulang seusai sekolah. Aku tak perlu cemas akan dikejar-kejar oleh SatPol PP karena takut tempat tinggalku digusur. Teman-teman dan seluruh saudaraku pun tak perlu mencari-cari dengan susah di mana keberadaanku sekarang ketika mereka hendak berjumpa denganku dan keluargaku yang lain. Dengan berada di dalam daftar buku telepon, aku memiliki pengakuan bahwa aku adalah warga negara Indonesia serta mempunyai tempat tinggal menetap yang sah. Aku kini tidak akan lagi susah menelusuri daerah-daerah hanya untuk mendapatkan masjid sehingga aku dan ayah beserta kedua kakakku yang laki-laki bisa melakukan shalat berjamaah tanpa takut akan ketinggalan jamaah. Dengan namaku berada dalam buku telepon, aku takkan merepotkan orang lain lagi untuk menghubungiku di kala mereka membutuhkannya. Dengan adanya namaku dalam daftar buku telepon, kini aku tak khawatir akan kehujanan di luar sana. Tidak perlu khawatir panas matahari akan menyengatku di saat dia mulai membara memanggang daratan negeri ini. Tidak pula aku khawatir akan dingin yang setiap hari menusuk-nusuk tulangku dan sekana-akan membuat otakku membeku. Kini aku punya tempat pribadi untuk menyendiri dalam bermunajat kepada TUHAN-ku di tengah malam. Kini aku punya tempat tidur untuk berbagi bersama dengan teman-teman jalananku yang masih hidup mengembara di tengah belantara kerasnya ibukota. Kini…, dengan adanya namaku di dalam daftar buku telepon, aku pun memiliki hal yang bisa aku syukuri terhadap kemurahan-NYA. Aku bersyukur kepada ALLAH telah berada di dalam daftar buku telepon!”
Bu Idah yang terdiam mulai menggerakkan kedua telapak tangannya seraya bertepuk tangan setelah aku selesai menceritakan apa hal terbaik yang kurasakan selama ini. Semua teman-temanku yang juga khusyuk seperti mengheningkan cipta di kala upacara, kini mengikuti Bu Idah dengan memberikan tepuk tangan mereka yang meriah. Tak terasa sebuah air hangat perlahan mengalir menuruni jurang di bawah kedua mataku yang sembab akibat tangis yang tak terasa membawaku hanyut bersamanya sebelum akhirnya kedua langkah kakiku menuntunku kembali duduk di bangku kelas.
3. CAHAYA ITU TIBA
Kumpulan awan hitam kelam yang bergumul di angkasa mulai menutupi seluruh pandanganku yang sedang memandang ke arah jendela di dalam cockpit sebelah kanan pesawat jet pribadiku. Terasa sebuah guncangan di seluruh tubuh kapal membuat kedua sayapnya menggelepar-gelepar. Tampaknya pesawat sedang dalam masalah besar. Pilot kelihatannya tidak mampu mengendalikan pesawat dengan stabil seperti keadaan sebelumnya. Beberapa menit kemudian, terdengar suara benturan di bagian kiri kapal. Seluruh penumpang yang sedari tadi disuruh memakai seatbelt di tubuhnya, hampir saja terlontar dari tempat duduknya karena begitu kerasnya benturan tersebut. Sebuah cahaya terang tiba-tiba datang menerpa ke arahku dari bagian sebelah kiri kapal. Semula kupikir cahaya itu adalah sinar mentari yang telah terbuka setelah diliputi oleh gelapnya awan. Namun ternyata dugaanku itu keliru. Cahaya itu adalah sebuah gumpalan api yang berkibar-kibar di sayap sebelah kiri pesawat.
Kobaran itu telah setengah melahap bagian sayap. Kini pesawat mulai oleng ke arah kanan karena tidak seimbang. Denyut jantungku berdegup semakin kencang. Aku merasa seluruh awak dan penumpang dalam pesawat sedang terjun bebas dari langit menuju bumi. Aku hanya bisa berdoa dan pasrah terhadap keputusan Tuhan. Aku teringat segala dosa yang pernah kulakukan selama aku hidup. Terngiang di kepala, ketika berbagai macam minuman keras dari bermacam-macam merek telah memenuhi isi perutku. Masih terbayang betapa banyak wanita yang telah kuzinahi lalu kupaksa mereka menggugurkan kandungannya semi menutupi aib keluarga besarku. Yah, keluargaku yang terkenal merupakan golongan konglomerat mapan. Tetapi aku tak pernah bersyukur pada Tuhan dengan terus menerus menuruti keinginan hawa nafsuku dan menghiraukan apa saja yang Dia timpakan padaku sebagai sebuah teguran. Kini aku merasa hidupku tak lagi ada artinya. Nyawaku sudah diujung tanduk, sementara aku belum bertaubat.
Aku pejamkan mataku ketika sebuah benturan keras kembali terjadi. Tubuhku terpelanting dari tempat dudukku dan membuat sabuk pengaman yang menempel di tubuhku, terputus. Seketika itu pula aku tak sadarkan diri.
Hitam di mana-mana. Hanya kegelapan yang bisa aku lihat. Pikiranku pun serasa melayang-layang entah ke mana. Pikiranku tak menemukan suatu titik pun untuk berlabuh di antara pekatnya keadaan. Aku coba memapah isi pikiranku yang sedang teratih-tatih mencari sedikit cahaya terang di sudut kehampaan jiwa. Usahaku masih saja sia-sia. Semua percuma.
Tiba-tiba sebuah cahaya remang-remang mulai mengusik alam bawah sadarku. Entah berasal dari mana cahaya itu. Aku pandu mataku menemukan sumbernya. Namun katup mata yang menjadi penghalang, tak kunjung dapat kubuka. Sisa-sisa kemampuan aku kerahkan demi mendapatkan kembali cahaya yang meredup itu.
Akhirnya aku berhasil membuka mataku dan menemukan sumber cahaya tersebut. Kepalaku masih sedikit pusing akibat terbentur-bentur di dalam pesawat. Setelah kupastikan bahwa cahaya tersebut dapat dengan baik oleh retina mataku, aku merasa aneh. Ada beberapa orang asing mengelilingiku. Wajah mereka kental dengan wajah Asia Timur. Warna kulit mereka berbeda denganku. Kulitku putih khas orang Eropa walau aku adalah warga Negara Amerika. Sedang mereka berkulit sedikit lebih gelap bagai sawo yang sedang matang. Mata mereka juga sedikit lebih sipit dari pada mataku walau tak sesipit orang China.
“Maaf, mister… Apa anda sudah bisa melihat kami? Tadi anda baru saja mengalami kecelakaan pesawat yang membawa anda kemari saat ini,” ujar salah seorang bapak-bapak setengah baya dari mereka yang berperawakan agak kurus dengan sebuah janggut hitam cukup lebat menggelayut di bawah dagunya disertai beberapa helai uban. Tapi aku tak mampu menangkap apa isi perkataan mereka. Bahasa yang tidak aku kenal.
Dia kembali berbicara padaku, “Nama saya Abdullah. Kalau Mister?”
Aku tetap tak mengerti apa yang dikatakannya. Aku menatap wajah mereka dengan polos.
Lalu tiba-tiba orang tua itu kembali menyapaku. Namun kali ini dengan nada dan bahasa yang berbeda. “I’m sorry. My name is Abdullah, and you?” Kini aku bisa mengerti apa yang bibir-bibir asing itu maksudkan. Ternyata dia hanya ingin berkenalan dan menjalin komunikasi denganku.
“My name is Jason Ford. I’m an American. Did I have lost? Where am I?”
“Don’t worry, Insya ALLAH, you are now safe here. You are in East Java, Indonesia.”
Oh, tidak aku terjatuh di Indonesia. Negara ini sudah sering kudengar kiprahnya. Negara yang paling banyak mengutuk negeriku, Amerika. Dan aku juga tertegun. Ada sepatah dua patah kata yang juga tak terlalu asing bagiku namun membuatku terkejut. Apa tadi dia menyebut namanya Abdullah? Atau apakah tadi dia menyebutkan kata-kata Insya ALLAH di telingaku? Apakah telingaku tak salah dengar? Jikalau memang benar, maka tak salah lagi aku berada dalam kepungan orang-orang yang menjadi musuh besar negaraku. Terutama semenjak kejadian pada 11 September atau dikenal sebagai tragedy 9/11 (nine-eleven) yang telah merenggut banyak nyawa keluargaku. Ayahku ada di sana saat itu. Dia terjebak di antara kepulan asap dan tak mampu keluar dari gedung. Dan dengan terpaksa dia pun harus keluar dari tempat itu ditemani bersama para Malaikat Pencabut Nyawa. Kini arwahnya telah terbebas di langit sana. Akan tetapi kejadian tersebut membuatku resmi berstatus Yatim-Piatu. Setahun sebelumnya ibuku terenggut nyawanya oleh beberapa penembak misterius. Aku yakin para penembak tersebut juga ada hubungannya dengan para teroris keturunan Arab yang beragama Islam, Al-Qaeda. Tak heran jikalau sampai saat ini aku masih memendam dendam yang dalam terhadap mereka. Makanya, ketika aku mandengar kalimat atau kata-kata berbau Arab atau dunia Islam, pasti hatiku menjadi sangat sensitive. Di mataku mereka itu tak lebih sebagai kumpulan orang-orang tak bermoral dengan ajaran sesatnya. Mereka hanya mengajarkan kekerasan terutama terhadap orang-orang di luar kalangan mereka. Mereka adalah kaum yang selalu menebar benih-benih kebencian di kalangannya sehingga mampu menciptakan keadaan yang jauh dari kedamaian dan ketentraman di muka bumi ini. Tapi siapa sebenarnya mereka ini jika diperhatikan dari dekat. Nampaknya inilah kesempatan bagiku untuk mengenal mereka lebih jauh dan mengungkap segala kebusukan mereka hingga tampak di permukaan dunia. Ya Tuhan, tunjukkan aku kebenaran itu!
Dengan terus menggunakan bahasa yang sama dengan yang aku biasa gunakan, mereka terus menerus mencoba mengorek-orek segala keterangan tentangku dan tempat asalku serta keluarga-keluargaku. Sebenarnya apa yang ingin lakukan terhadapku dengan hadirnya informasi-informasi tersebut. Jika mereka mau, kenapa tidak sekalian saja membunuhku saat terbuka lebar peluang untuk itu. Aku jadi semakin curiga dan heran.
“Ini silahkan di minum dulu tehnya. Teh ini asli buatan Indonesia, diambil dari cengkeh-cengkeh pilihan. Dan yang lebih terasa special adalah, teh ini buatan putriku, Khairatun Hisan,” ungkap Bapak Abdullah seraya menunjukkan kepada salah seorang gadis manis memakai kerudung berwarna hijau. Gadis ini terlihat lebih putih daripada yang lain. Senyumnya begitu mempesona. Dia gadis yang mengenakan baju khas Muslimah yang tertutup rapat, lebar, lagi menawan. Tak terasa ada senyum yang ikut terkembang di bibirku menjawab senyumnya. Baru kali ini aku merasa begitu tertarik dengan seorang wanita cantik tanpa sediktpun aku berpikr untuk menyetubuhinya. Pakaiannya telah membuat sebuah benteng pertahanan yang kokoh dari mata-mata liar yang sering tak terkendali seperti mata liarku. Mataku telah terbiasa melihat wanita-wanita cantik yang berpakaian setengah bugil, dan menurutku itulah surga dunia yang tiada taranya. Aku berpikir bahwa tak ada yang lebih indah untuk dilihat dari wanita selain kemolekan tubuh mereka yang merangsang hingga ke relung nadi. Akan tetapi, gadis ini. Gadis yang berbulu mata lentik dan sorot mata yang mengagumkan bagi pria hidung belang sepertiku, telah membuatku berpikir berbeda dari sebelumnya. Ternyata ada juga wanita yang begitu indah dipandang dan begitu anggun dalam kemasan yang jauh lebih tertutup dari yang biasa aku lihat. Ayolah Jason, kamu ini orang Amerika tulen. Kenapa kamu tertarik dengan gadis Muslim seperti dia. Ke mana larinya rasa sakit hatimu terhadap teroris-teroris Muslim itu?
“Maaf, siapa nama anak gadismu itu tadi?”
“Khairatun Hisan… Artinya adalah bidadari yang cantik lagi baik. Tapi biasanya kami cukup memanggilnya Ira saja.”
What?? Is that the meaning? How beautiful! ‘A Beauty and Nice Fairy.’ Sungguh namanya membuat aku semakin terpukau. Tapi aku tak boleh terlena dengan tipu daya mereka ini. Ini hanya cover-nya saja, tapi di dalamnya pasti busuk.
Hingga malam tiba, aku masih saja tak bisa tenang. Kedua mataku amat susah kupejamkan walau sebuah ranjang empuk sederhana telah mereka sediakan untukku beristirahat. Hatiku benar-benar dihantui rasa takut yang begitu menggerogoti pikiran. Keringat hangat sempat meluncur beberapa kali. Jam di dinding masih menunjukkan pukul dua kurang sepuluh menit. Malam masih amat panjang untukku berjaga. Namun entah mengapa rasa was-was itu terus menghinggapiku.
Kuperhatikan keadaan di sekitar rumah itu. Terdapat beberapa poster pria-pria dengan sorban tebal berwarna putih khas seorang pria Muslim dan di sudut poster tertera tulisan ‘Wali Songo.’ Aku yakin sekali pasti Wali Songong itu adalah nama dari sekelompok sindikat teroris Islam yang memiliki basis di Indonesia. Ada juga gambar Ka’bah yang terukir di atas sajadah yang digantung sebagai hiasan dinding. Hatiku semakin tak menentu. Degup jantung yang terasa tidak teratur dan mata yang sukar terpejam. Semuanya membuatku semakin paranoid.
Tak lama sebuah bayang-bayang di kegelapan muncul dan berjalan melewati ruang tengah. Aku tahu jika yang sedang lewat itu adalah Mr. Abdullah. Entah apa yang ingin dia lakukan tengah-tengah malam begitu. Sesaat diriku mulai panic. Perlahan aku bangkit dari tempat tidurku, sedang tangan kananku meraba tas ransel yang terletak tak jauh di dekat tempat aku berbaring. Lalu kuambil pistol yang pernah ayahku belikan sebagi proteksi atas segala ancaman yang akan menimpaku. Mataku mengendap-endap mencari di mana keberadaan Mr. Abdullah sekarang.
Aku mendengar suara keran air yang berbunyi cukup keras. Begitu pula dengan detak jantungku yang bergoyang keras. Aku mulai mengokang pistol di tanganku itu dan mulai mengarahkannya kea rah kamar mandi, sumber suara keran air berasal. Namun setelah aku menodongkan pistolku, ternyata air keran telah berhenti mengucur kecuali beberapa tetes-tetes kecil saja. Kini aku mendengar suara sandalnya menapaki bagian tertentu di dekat ruangan tersebut. Kucoba mengikuti jejak suara langkah sandal itu yang membawaku sampai ke sebuah tempat yang hanya diterangi oleh lampu remang-remang. Di situ lantainya cukup bersih jika dibandingkan dengan lantai di bagian lain rumah. Ada beberapa sajadah tersusun rapi di atas lantai. Ruang tersebut cukup kecil. Mungkin hanya seukuran kandang babi yang aku miliki di Manhattan. Dan ketika bidikan pistolku telah bertatap muka dengan Mr. Abdullah, dia hanya berdiri tegak bak patung dengan kedua tangannya bersedekap di dadanya. Tak lama dia mengeluarkan suara tak terlalu keras namun cukup menggema di ruangan berukuran kurang lebih 3x3 meter itu. Aku mendengarnya membaca sesuatu dengan melagukannya dalam bahasa Arab yang tak aku mengerti. Namun suara itu taka sing di telingaku. Nampaknya dia sedang membaca doa atau membaca potongan-potongan ayat kitab mereka yang disebut Al-Qur’an. Lalu selang beberap menit, gerakan tubuhny mulai membungkuk lalu sujud lalu duduk lalu sujud kembali kemudian berdiri lagi pada posisi yang pertama dan melakukannya berulang-ulang hingga ayam tak terasa berkokok. Suara itu mencegangkanku. Tanpa sadar, semalaman aku tidak tidur dan hanyut dalam lantunan bacaan Qur’an dari Mr. Abdullah. Suaranya yang merdu membuat diriku merinding mendengarkannya. Tapi sesungguhnya aku sendiri benci untuk mengakui hal ini.
Sudah selama hampir tiga hari aku berada di sana. Hari demi hari aku lalui dengan ketakutan luar biasa. Walaupun tak satu pun dugaanku yang tampak dari mereka. Namun aku harus selalu waspada. Aku selalu berpikir bahwa di balik kerudungnya, Khairatun Hisan, menyimpan bom waktu yang suatu saat akan memenjarakanku di dalamnya dan meluluhlantakkan tubuhku berkeping-keping. Sekali aku terperangkap, maka takkan ada jalan keluar. Namun segenggam tanya hadir di benakku, kenapa sampai saat ini mereka begitu baik terhadapku? Apa yang mereka inginkan dariku? Kenapa tak ada sedikitpun tanda-tanda mereka ingin membunuhku?
“Ini nak Jason, Ira yang membuatkannya untukmu,” ujar Mr. Abdullah menawarkan satu porsi nasi goreng yang beliau sajikan di atas sebuah piring besar.
Pada awalnya dalam hatiku bergumam, ‘Jangan-jangan makanan inilah yang akan mengantarkanku menemui ajal. Jangan-jangan makanan ini telah mereka beri racun sehingga aku mati perlahan tanpa kusadari. Jangan-jangan aku bisa hilang ingatan setelah memakannya. Jangan-jangan…’
“Jangan ragu-ragu nak Jason! It’s poison less. Tidak beracun kok. Kami bukanlah orang-orang yang berniat jahat padamu,” ucap Mr. Abdullah dengan bahasa Inggris yang cukup lancar. “Mungkin anda mengira bahwa kita ini adalah golongan orang-orang Muslim yang suka menyebarkan terror. Tapi anda salah alamat. Kami tidak seperti yang anda selama ini bayangkan. Seorang Muslim sejati tidak akan bersikap keras bagi siapapun selama tidak dimusuhinya,” tegasnya.
“Tapi mengapa kalian mau menolongku tanpa ada sesuatu di balik semua pertolongan kalian ini? Padahal kalian sendiri sedari pagi tadi belum makan dan nampak tak memiliki apa-apa untuk disajikan buat keluarga kalian sendiri. Lantas mengapa…? Pasti ada maksud tertentu kalian melakukan semua hal ini bukan?!”
“Tidak, kami melakukan ini tulus hanya mengharapkan ridha ALLAH Swt, Tuhan Seru Sekalian Alam. Dalam Islam kami diperintahkan untuk memuliakan tamu, siapa pun mereka. Tidak pandang bulu. Nabi kami, Muhammad Saw pun pernah kedatangan seorang tamu, sedang beliau dan keluarganya tidak memiliki apa-apa untuk dimakan kecuali beberapa ptong makanan. Dan dengan ikhlas, beliau memberikan itu semua kepada tamu tersebut. Kami juga diajarkan agar hanya akan menyerang musuh kami yang lebih dahulu menyerang. Bahkan Salahuddin Al Ayyubi yang pernah merebut Palestina dari kerajaan Inggris pun tidak mau menyerang Raja musuhnya itu ketika Raja itu dalam keadaan sakit. Kami tidak menyerang musuh yang berada dalam kondisi yang lemah. And I think you are harmless for us (dan saya pikir anda tak berbahaya bagi kami). Jadi tak ada alasan bagi kami untuk menyakitimu. Malah merupakan suatu kehormatan bisa memberikan pertolongan pada anda di kala anda membutuhkannya. Dalam kitab kami yang bernama Al-Qur’an, mungkin anda pernah dengar. Di dalamnya dikatakan bahwa barangsiapa yang menyelamatkan satu nyawa, maka dia seolah telah menyelamatkan seluruh hidup manusia di bumi. Barangsiapa membunuh seseorang tanpa ada alasan yang dibenarkan atau bukan karena orang itu membunuh orang lain, maka dia seolah-olah telah membunuh seluruh manusia.”
Aku tertegun sejenak. Tidak pernah aku sangka sebelumnya jikalau ajaran agama mereka sesungguhnya sangatlah mulia. Aku merasa mendapatkan sebuah cambukan moral yang selama ini selalu saja aku abaikan keberadaannya. Bagiku hidup ini hanyalah untuk bersenang-senang tanpa berpikiran bahwa nanti semua yang kita lakukan akan dipertanyakan dan dipertanggungjawabkan.
Aku mencoba dengan keras untuk menepis bahwa ajaran mereka itu adalah suatu kebenaran, namun pada kenyataanya memang seperti itu. Aku telah membaca isi kitab suci mereka, dan tak satupun yang membenarkan tindakan kekerasan yang selama ini tertanam dalam pencitraanku akan Islam. Agama ini adalah agama yang lurus. Semua berbeda seratus delapan puluh derajat dari yang aku perkirakan. Aku merasakan kini berada dalam pelukan kehangatan, ketentraman, dan kedamaian. Walaupun aku ini adalah putra konglomerat kaya raya yang bisa mendapatkan apa saja yang kuinginkan berkat warisan ayahku itu, tapi tak satupun dari kebahagiaan duniawi itu yang dapat mengantarku kepada ketentraman ruhani. Aku merasa terus dikejar-kejar oleh dosa yang masih saja menguntit. Mungkin hidupku bebas, tapi sebenarnya aku terbelenggu oleh hawa nafsuku sendiri. Aku merasa tak pernah bisa bebas merasakan nikmatnya anugerah Tuhan. Aku tak pernah merasa bebas mendapatkan kedamaian dan kehangatan cinta sejati. Kini aku merasa terpasung oleh kata-kataku sendiri. Aku akui, aku mulai mencintai agama ini. Tuhan telah mulai membuka mataku lebar-lebar.
Tanpa terasa bibir ini begitu mudahnya mengucap dua kalimat syahadat yang didengar oleh seluruh anggota keluarga Abdullah. Ira pun ada di tengah-tengah kami. Semua mata tertuju padaku. Semua merasa terkejut dengan dua kalimat berbahasa Arab yang baru saja kuucapkan dalam lirih keikhlasan. Diriku sendiri pun tak pernah menyangka hal ini, tapi tak mampu kusangkal dan kuingkari lagi. Aku memang telah mengucapkannya. Bukan karena keterpaksaan atau ada intervensi. Semua mengalir begitu saja dari dalam hati. Semua berasal dari kesadaran penuh tanpa tekanan apapun.
Selang beberapa hari kemudian, sebuah helikopter pencari khusus mulai mengitari langit di daerah yang kurang begitu kukenal itu. Aku mengenali betul kalau itu adalah pesawat milik Amerika Serikat. Dan seperti sudah aku duga sebelumnya, jika helikopter itu hendak membawaku pulang. Pulang menuju kampung halamanku yang penuh dengan kepalsuan. Kampung halamanku yang dipenuhi kemaksiatan. Kampung halamanku yang banyak menyimpan noda-noda kenistaan. Penuh kebusukan dan hina. Haruskah aku kembali ke tempat seperti itu setelah aku menemukan pelabuhan yang lebih membuatku nyaman?
“Come up, Sir! We are sent by your cousin, Stuart McDonald, to pick you back. Back home. Home to United States!”
“No. I’d rather to live here with all my new family,” aku tegaskan pada salah satu utusan sepupuku itu bahwa aku telah memiliki keluarga baru di sini. Karena dalam Islam, semua Muslim adalah bersaudara seperti satu tubuh. Bila satu tubuh disakiti, maka bagian tubuh yang lain pun merasakan hal yang serupa.
“Aku merasa lebih bahagia di sini. Bagiku kebahagiaan sejati bukan didapat dari banyaknya harta yang kau miliki, tapi seberapa banyak cinta yang kau tebar dan kau terima dari orang lain. Dan untuk apa cinta itu kamu tebarkan. Hidup di dunia tak lain hanyalah sementara saja. Hidup ini hanya tempat berlabuh awal sedang kehidupan akhirat itu lebih baik lagi lebih kekal!”
“Jadi anda tidak mau pulang bersama kami?”
“Yes, indeed!” jawabku tegas menolak permintaan mereka. Mereka pun berlalu setelah sekian lama menantiku. Mereka pulang kembali dengan menggunakan helicopter miliki keluarga besar McDonald, sepupuku. Mereka pulang bersama dengan kekecewaan dan sia-sialah apa yang mereka usahakan itu.
Aku merasa sangat beruntung diberikan ALLAH kesempatan untuk masih bisa menghirup nafas. Padahal kabarnya, hampir seluruh awak pesawat jet pribadiku tewas tak terselamatkan. Aku masih dapat merasakan nikmat-NYA yang begitu besar. Bagaimana jika seandainya aku DIA takdirkan mati dalam keadaan tidak beriman dan berlumuran dosa saat itu? Tuhan telah mendengarkan pintaku. Tuhan telah menunjukiku jalan kebenaran yang sesungguhnya itu.
Apakah pantas aku membekap cahaya terang dari TUHAN Semesta Alam yang telah datang menerangiku dan membimbingku keluar dari kegelapan? Apakah pantas aku menepis cahaya yang telah tiba itu? Apa aku harus menukarnya kembali dengan kekelaman dan kesuraman? Pantaskah aku ganti, terang dengan kegelapan?
4. CAHAYA MATA BIDADARI
Nur Ainun Hisan, wanita berusia
seperempat abad yang memiliki mata seindah bidadari. Begitulah mengapa
dia dinamakan seperti itu. Terkadang ada yang memanggil dia Nur, namun
kebanyakan lebih suka memanggilnya dengan Ainun. Matanya yang dia miliki
telah membuat banyak orang menjadi iri. Pesona yang dipancarkan kedua
matanya sanggup membuat mendung menjadi secerah pelangi. Dapat membuat
kabut menjadi embun pagi. Mampu membuat air keruh menjadi sejernih air
mata. Dia begitu terlihat anggun jika mengenakan kerudung panjang
berwarna putih. Kulitnya amat putih, dibalut dengan pakaian biru muda
dengan corak bunga mawar merah yang panjang dan hampir menutupi seluruh
permukaan tubuhnya kecuali kedua tangannya. Wajahnya pun masih dia tutup
dengan selembar kain cadar sehingga orang-orang hanya akan mampu
melihat keindahan matanya yang mengintip keluar.
Adalah
Hasan Abdulbasir, seorang lelaki beruntung yang mampu mempersunting
kecantikan Nur Ainun Hisan. Hasan menikahi Ainun ketika masih berusia
belia, yakni 19 tahun. Sementara Hasan hanya terpaut tiga tahun lebih
tua darinya.
Kehidupan rumah tangga mereka benar-benar dihiasi
oleh kebahagiaan sehingga menjadikan mereka pasangan yang sakinah,
mawahdah, warrohmah, wal amanah. Namun demikian masih ada setitik noda
yang menjadi kerikil ujian dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Ainun
suka menangis di tengah malam tatkala ia menghadapkan wajah cantiknya
ke hadapan Sang Maha Kasih, ALLAH SWT. Dan doa yang berulang-ulang dia
haturkan adalah, “Ya ALLAH… ENGKAU Yang Maha Melihat lagi Maha
Mengetahui, yang tak pernah tertidur dan selalu terjaga. Ampunilah dosa
hamba-MU yang sungguh lemah tak berdaya ini. Hamba seorang istri yang
tak mampu berbakti seutuhnya kepada suami hamba, Ya RABB… Hamba takut
cinta suami hamba akan memudar kepada hamba karena hamba tak bisa
menunaikan banyak kewajiban hamba terhadap beliau. Malah suami hamba
yang mengurus hamba dan menuntun hamba di alam yang gelap ini. Dia
membawa pelita-MU agar terus bersinar dalam hati hamba. Tapi hamba tak
mampu berbuat banyak demi membalas kebaikan suami hamba. Padahal hamba
sesungguhnya ingin sekali mengabdikan diri sepenuh hati pada beliau.
Hamba sangat mencintai beliau karena ENGKAU. Hendaklah ENGKAU memberikan
hamba kesempatan agar suatu saat nanti dapat menjadi isri yang berbakti
pada suami hamba.”
Ternyata, air mata yang berlinang
malam itu tak Cuma milik Ainun saja. Suaminya, Hasan, juga berderai air
mata. Malah seolah-olah dialah yang meminta kepada ALLAH. Dia terisak
mendengarkan permintaan istrinya di hadapan Sang Khaliq. Rasa cintanya
kepada sang istri semakin membuncah. Ada sedikit sesak di dalam dada
Hasan melihat istrinya itu. Ainun sendiri tak pernah tahu jikalau sang
suami suka mendengar munajatnya.
Seusai berdoa, Ainun
biasanya memanggil suaminya perlahan. Hasan pun mendekat dengan penuh
rasa kasih dan cinta. Dia membantu istrinya untuk berdiri di atas kedua
kakinya lalu membimbingnya berjalan dari mihrab menuju ke tempat
tidurnya lalu berbaring di atas pinggang kanannya beberapa waktu sebelum
adzan Subuh berkumandang, meniru apa yang suka dilakukan Rasulullah
SAW. Dengan penuh kesabaran dan perhatian, Hasan menuntun istrinya yang
terlihat sangat lemah itu agar tak terjatuh ketika berjalan. Dia lah
yang menjadi mata bagi si cantik bermata jelita itu. Karena semenjak
kecil, kedua mata Ainun yang indah itu tak pernah merasakan benderang
cahaya mentari. Tak pernah melihat bagaimana indahnya pelangi yang
menyeringai sesaat seusai hujan turun. Ainun tak pernah tahu seperti apa
sinar bulan yang hanya dapat dirasakan hangatnya menerpa wajahnya itu.
Ainun tak pernah melihat elok warna-warni bunga di taman. Dan dia tak
pernah menyadari betul seperti apa keindahan kedua bola matanya yang
banyak dikagumi oleh orang-orang itu. Dari kecil Ainun memang
ditakdirkan oleh ALLAH terlahir sebagai hamba-NYA yang buta.
Namun
demikian, kenikmatan yang ALLAH berikan baginya sangat besar dan
terkira. Dia dikaruniai dua orang anak yang lucu, yang satu lelaki dan
yang terakhir perempuan. Yang lelaki dia namakan Muhammad Yusuf Ibrahim,
dengan maksud agar anaknya menjadi seteladan Nabi Muhammad, setampan
Nabi Yusuf, dan aqidahnya selurus Nabi Ibrahim.
Sementara
putrinya, dia namakan Maria Arrahmah, atau Maria yang dirahmati. Dia
menamakannya begitu agar putrinya kelak bila tumbuh dewasa, maka
senantiasa menjaga kesucian dirinya kecuali terhadap suami sahnya nanti.
Tapi yang paling membahagiakan dirinya adalah ketika ALLAH
mempertemukannya dengan lelaki yang bisa mencintai dia sepenuh hati dan
apa adanya. Lelaki shalih yang sangat sabar serta setia menjaganya dalam
melewati kerikil-kerikil kehidupan, baik dalam suka maupun duka.
“Ummi,
ini aku buatkan bakso special buat Ummi,” ucap sang suami membuyarkan
lamunannya. Dia kembali mengucap hamdalah dalam hatinya. Seharusnya dia
yang sepatutnya menyajikan hidangan untuk makan seluruh keluarganya,
namun karena keterbatasannya itu, sang suami lah yang menjadi pengganti.
Padahal suaminya itu juga disibukkan dengan bekerja sebagai seorang
guru di sebuah Madrasah Ibtida’iyah atau sekolah Islam yang sederejat
dengan Sekolah Dasar. Wajar saja dia begitu penyabar dan mengerti cara
melayani sang istri dan mengasuh anak-anaknya, karena setiap hari dia
berkutat dengan anak-anak kecil yang tingkah lakunya berbeda-beda dan
nakalnya luar biasa.
“Tahu tidak, kenapa Abi mengatakan ini bakso special?”
Ainun pun hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Bakso
ini bukan dibuat dari daging sapi seperti biasanya. Daging bakso ini
adalah dari daging unta yang aku dapatkan dari seorang sahabat yang baru
saja pulang dari Makkah setelah beliau menjalani ibadah Hajinya. Aku
juga belajar membuatnya dari dia kok.”
Ainun mencicipinya, “Hmm… lezat sekali bakso daging unta buatan kamu ini. Aku suka sekali…”
“Asalkan kamu senang, aku pun senang. Nanti kapan-kapan, Abi akan ajari Ummi cara membuatnya yah…?!”
“Bagaimana mungkin, aku kan…” lirih Ainun.
“Ummi…
tenang saja. Akan ada orang yang rela mendonorkan kedua bola matanya
yang normal kepadamu. Aku sudah tanya kepada dokter, paling lambat
mungkin operasinya akan dilakukan sepekan lagi.”
“Ah… yang benar saja, Bi?! Siapa orang yang berhati mulia itu?” tanya Ainun.
“Ummi tidak perlu tahu sekarang. Nanti juga akan tahu kok… Yang penting kamu Insya ALLAH nanti bisa melihat dunia ini.”
Ainun
tersenyum simpul, “Hmm… aku ingin melihat Abi dan anak-anak kita. Juga
ingin melihat kuburan ayah dan ibuku nanti bila mataku ini memang bisa
melihat. Aku belum pernah melihat seperti apa wajah keduanya.”
Dengan tetesan air mata, Hasan menjawab, “Iya… nanti aku ajak Ummi pada mereka.”
Tampak
tangan Ainun ingin meraih tangan sang suami. Hasan pun langsung tanggap
dan menggenggam kedua tangannya seraya membelainya dengan lembut. Ainun
menggenggam erat tangan sang suami seraya menempelkan punggung tangan
suaminya ke pipinya. Dia merasakan tangan yang kekar dengan
rambut-rambut halus di sekitar permukaannya bersentuhan dengan pipinya
yang lembut.
“Abi, aku mencintaimu!” ungkap Ainun.
“Abi
juga Mi…” Hasan lalu mendekap hangat tubuh sang istri seraya mengecup
kening si pemilik mata bidadari tersebut. Air mata haru tak tertahankan
untuk jatuh membasahi pakaian istrinya. Sambil terisak-isak, Hasan
mempererat pelukannya pada Ainun.
*****
Sepekan
pun telah berlalu. Waktu bagi Ainun untuk menjalani operasi
transplantasi mata pun tiba sudah. Segala persiapan telah dimulai oleh
sang dokter. Ainun kini telah berada di ruang operasi dan dikelilingi
oleh beberapa orang asisten dokter bedah. Bau obat-obatan pun memenuhi
ruangan tersebut dan merangsek masuk ke selaput hidung Ainun. Tak lama,
lampu operasi pun dinyalakan. Ainun merasakan sinarnya yang hangat
mencumbui relief mukanya. Saat itu dia pun meminta perlindungan kepada
ALLAH agar diberi kelancaran dan kemudahan dalam pelaksanaan operasi
tersebut. Dia merasa ini adalah bagian dari jawaban ALLAH akan doanya
yang setiap malam dipanjatkannya. Dengan memiliki mata yang normal, dia
lebih mampu melayani suaminya dengan maksimal. Dia berjanji, jika bisa
melihat, dia akan menjadi bidadari dunia bagi sang suami. Dia akan
menjadi bunga hati dalam rumah. Dia akan menjadi berlian yang menghiasi
kehidupan suami dan kedua anaknya. Dia akan menjadi istri yang taat dan
patuh kepada suaminya.
Pada saat operasi, dia merasakan
akan kehadiran orang lain yang menjadi pendonor mata baginya. Sungguh,
ingin rasanya Ainun bangkit dan beranjak dari tempat dia kini berbaring
lalu menghampiri sang pendonor itu untuk mengucapkan rasa terima kasih
sedalam-dalamnya. Dia merasa berhutang besar sekali kepada orang itu.
Namun dia hanya bisa terdiam saat itu dan mendengar perlahan suara orang
tersebut yang berada tak jauh darinya. Sepintas, suara orang itu
seperti sudah dikenalnya. Ketika pikirannya ingin menguak siapa pemilik
suara itu, hatinya langsung menepis hal tersebut. Tak lama kesadarannya
pun hilang…
*****
Setelah beberapa hari
menjalani perawatan di Rumah Sakit, hari itu dia diperbolehkan membuka
perban yang membalut kedua matanya. Dokter wanita yang menanganinya pun
terasa menyentuh balutan yang menutupi penglihatannya. Perlahan, perban
yang membekapnya itu terasa mulai dibuka sedikit demi sedikit. Setetes
cahaya dirasakannya ingin menyibak masuk ke matanya.
“Ya, coba Ibu buka mata anda sendiri!” pinta sang dokter.
Agak
sulit rasanya dia membuka mata. Namun dengan segenap kemampuan, dia
terus memaksa. Pelan-pelan dia berhasil mengangkat kedua kelopak matanya
yang terpejam kaku dan melihat sesosok makhluk berjubah putih dengan
sebuah benda menjulur dan tergantung di lehernya. Dia menatap ke arah
wajah sang dokter. Dia melihat dokter itu begitu manis dengan senyuman
mengembang. Dokter itu terlihat anggun dengan jilbab yang serasi dengan
pakaian dokternya. Di sekeliling dokter, telah berdiri beberapa perawat
perempuan yang masih sangat muda berpakaian putih-putih. Untuk pertama
kalinya dalam hidup, dia dapat melihat seperti apa keindahan dunia
ciptaan ALLAH itu.
Dia lalu membuang pandangan ke sudut-sudut di sekitarnya.
“Di
mana suami dan anak-anakku? Dan kalau bisa, saya juga ingin bertemu
dengan orang yang telah bersedia mendonorkan matanya untuk saya, Dok!”
pinta Ainun pada dokter.
“Mari, saya tunjukkan di mana mereka…” ucap dokter dengan ramah.
Ainun
dituntun untuk berjalan menuju ke sebuah ruangan yang tak jauh dari
tempat dia dirawat. Ruangan itu tepat hanya beberapa kamar di sebelah
kamarnya. Ketika telah sampai di depan pintunya yang sedikit terbuka,
spontan saja anak-anak Ainun yang masih kecil berhamburan keluar.
“Ummi!!! Ummi!!! Ummi!!! Ayah… lihat, ini Ummi sudah ke sini!” ujar keduanya riang.
Ainun
pun merendahkan tubuhnya lalu mendekap kedua anaknya itu dengan penuh
cinta-kasih. Tak jauh darinya dia melihat sesosok lelaki berkulit putih
dengan perawakan cukup tinggi dan janggut rimbun tumbuh di dagunya.
Wajah lelaki itu begitu tampan, dan matanya benar-benar menawan. Ainun
bertanya dalam hati, apakah benar lelaki tampan itu adalah suaminya.
Aduhai, sungguh beruntung dirinya, gumamnya dalam hati.
“Ayo, silakan temui suamimu!” kata dokter.
Ainun bangkit sambil menggandeng tangan kedua anaknya mendekati Hasan yang sedang duduk di kasur.
“Abi… Ini benar Abi?” tanya Ainun sedikit tak percaya akan apa yang dia lihat.
“Ummi… kaukah itu?”
“Abi,
ini aku istrimu… Bagaimana bisa engkau tak mengenaliku, padahal yang
selama ini bisa melihatku di rumah, hanya kamu dan anak-anak,” canda
Ainun yang langsung bersimpuh di hadapan sang suami seraya menciumi
kedua tangan sang suami sebagai tanda cintanya.
Hasan
meraba-raba kepala sang istri dan mencoba menundukkan kepala untuk
menciumnya. Sebuah kecupan yang sangat berarti bagi Ainun ketika dia
bisa melihat sang suami dan anak-anaknya kini berada di tengah-tengah
dia. Hasan mengangkat kepala Ainun hingga sang istri pun bangkit dari
simpuhnya untuk menghadapkan wajah di depan wajahnya. Hasan kembali
memandang sang istri lalu meraba-raba wajah sang istri.
“Ini benar Ummi…” sebuah senyum menyertai Hasan.
Ainun
sedikit keheranan dengan perlakuan sang suami. Dia menatap dalam-dalam
wajah suaminya. Kedua matanya kini tertuju dengan tajam ke arah mata
sang suami yang luar biasa memukau itu.
“Kakanda, apa yang terjadi padamu?” Ainun menyentuh mata sang suami.
Ainun
terhenyak seketika. Mulutnya bungkam seribu bahasa ketika dia melihat
sang suami mencoba menggapai dirinya, namun sang suami tak bisa
mengetahui di mana tepatnya dia berdiri. Ainun terpaku melihat suaminya.
Air matanya turun perlahan.
“Kanda, apakah engkaulah…” sesak Ainun.
Hasan menghela nafasnya.
“Dinda,
aku sangat mencintaimu… Aku tak ingin kau menderita. Aku ingin
memberikan segala yang kubisa agar kau bisa bahagia…” ucap Hasan dengan
nada yang bergetar dan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Tapi…” isak Ainun.
Suaminya berusaha menggenggam tangan istrinya lagi dan mencoba menghapus air mata yang keluar dari sudut mata Ainun.
“Sudahlah,
Dinda…! Tak perlu kau tangisi keadaanku kini! Bukankah ALLAH akan
mengganti kedua mataku yang DIA ambil ini kelak dengan surga?!”
Ainun
pun memeluk erat sang suami diiringi derai tangis yang memecah
keheningan. Kedua anak merekapun ikut memeluk ayah dan ibunya dengan
kehangatan di tengah tangisan.
5. PENDAR KERINDUAN
Ini merupakan tahun ke-tiga belas bagi Irham menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan. Senyum dan sesekali tangis haru menghangat di wajahnya yang masih belia. Saat ini bulan suci bagi seluruh umat Nabi Muhammad Saw itu telah mencapai pada titik puncak. Yakni di fase sepuluh hari terakhir. Titik di mana orang-orang beriman mulai diseleksi oleh ALLAH. Sejauh mana keimanan mereka mampu bertahan. Hal ini bisa terlihat dari seberapa banyak jumlah shaf yang mengisi rongga-rongga para jamaah di masjid saat tarawih.
Irham cukup pilu melihat hal ini
karena dia adalah salah satu marbot masjid dan bagian dari kepengurusan
Dewan Kemakmuran Masjid. Namun ada berkas-berkas kekuatan serta motivasi
darinya untuk menyelesaikan ibadah ini sebaik mungkin hingga akhir.
Sebabnya dia kini telah dikumpulkan kembali bersama orang-orang shaleh
demi menjalankan ritual tahunan yakni I’tikaf di masjid dan mencoba
mencari-cari keberadaan malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam
yang lebih baik dari beribadah selama 83,33 tahun. Malam kemuliaan di
mana pada saat itulah Al Qur’an untuk pertama kalinya dibawa turun ke
bumi oleh Jibril As.
Suara-suara para peserta I’tikaf yang sedang bertilawah membaca ayat-ayat suci Qur’an semakin terdengar jelas dan menggema di setiap sudut masjid. Irham pun menjadi bertambah semangat beribadah dalam menuju keridhaan TUHAN-nya.
Berbagai macam pemandangan yang bisa dilihatnya dari para peserta I’tikaf tersebut. Ada yang membawa perlengkapan yang lengkap demi kesempurnaan I’tikaf-nya di masjid Ramadhan ini. Pria setengah baya yang biasa dipanggil Pak Eko oleh yang lainnya ini, membawa beberapa bekal seperti botol minuman, beberapa bungkus makanan kecil, kurma, dan beberapa buah buku bacaan agama. Tak ketinggalan, berbagai perlengkapan mandi untuk membersihkan diri mulai dari sikat gigi, odol, shampoo, sabun dan handuk bahkan gayung. Tak lupa dia membawa kasur kecil dan juga selimut disertai dengan bantal-gulingnya.
“Ane pengen maksimal di bulan ini,” ujar Pak Eko pada yang lain di saat tengah berbuka puasa. “Jadi gak perlu lagi pulang dan terus berada di sini selama I’tikaf. Nabiullah Muhammad Saw pun telah mencontohkan sunnah-nya dalam ber-I’tikaf. Beliau pernah I’tikaf semenjak dua puluh hari sebelum berakhirnya Ramadhan. Beliau tidak pernah pulang ke rumah selama jangka waktu tersebut. Bahkan istri tercintanya, Aisyah Ra. pernah mendatangi beliau ke masjid untuk membilas dan membasuh rambut ikal Rasulullah Saw. sehingga beliau tak perlu pulang ke rumah dan cukup menanti di masjid. Intinya kan agar kita tidak kembali dilengahkan oleh urusan-urusan duniawi di luar masjid selama pelaksanaan I’tikaf. Serta senantiasa focus pada ibadah dalam rangka taqarrub ilallah.”
Irham mengangguk-anggukkan kepalanya saat mendengar penuturan dari Pak Eko mengenai persiapannya yang begitu matang menghadapi I’tikaf di sepuluh hari terakhir ini. Dia merasa belum ada apa-apanya. Dia masih suka ke luar masjid saat sedang ber-I’tikaf karena ada urusan duniawiyah yang menyibukkannya. Apalagi rumahnya dekat dengan masjid sehingga memudahkan dia untuk pulang walau hanya sekedar membasuh sekujur tubuhnya. Namun tahun ini, dia telah berazzam dalam hatinya sendiri untuk tidak banyak menggunakan handphone selama I’tikaf berlangsung. Tidak mau membalas sms dari siapa pun kecuali benar-benar penting dan tidak menyangkut urusan duniawiyah melainkan yang berkenaan dengan amaliah-amaliah ukhrawi saja atau untuk mempererat ukhuwah.
Ada lagi peserta yang hanya membawa bekal secukupnya dalam sebuah tas backpack dengan isi beberapa buku bacaan dan mushaf Qur’an kecil beserta terjemahannya, sebuah laptop, perlengkapan mandi, tanpa dilengkapi perlengkapan tidur. Hanya jaket yang melekat di tubuhnya, dia gunakan sebagai pengganti selimut.
Di setiap malamnya juga diadakan kajian tarbawi untuk menambah kekosongan ilmu bagi para peserta I’tikaf yang rindu dan dahaga akan siraman ruhaniah yang dapat membangkitkan ghirah dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad fi sabilillah. Pembinanya adalah Ustadz Nur Muhammad Taufiq yang sengaja didatangkan khusus dari Riau. Salah satu topic yang disajikan oleh Ustadz Nur Muhammad Taufiq adalah mengenai kelurusan niat demi berdakwah di jalan ALLAH SWT.
“Ingat, bahwa selain Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. tak ada sahabat yang pintu surganya lebih dari satu. Mereka masuk surga karena istiqamah pada satu amaliah tertentu. Amru bin Ash ra. yang istiqamah setelah dijadikan Gubernur di Mesir dengan tidak menyalahgunakan wewenang dan menjadi pemimpin yang amanah. Atau Khalid bin Walid ra. yang istiqamah menjadi panglima perang umat Muslim. Dan yang paling jelas adalah pintu surganya Bilal bin Rabbah ra. yang hanya dia peroleh karena selalu istiqamah menjaga shalat sunnah dua rakaat setiap beliau usai menyempurnakan wudhunya,” ceramah Ustadz Taufiq.
*****
Hari-hari kemenangan pun telah direngkuh oleh sebagian Kaum Muslimin pada Hari Raya Idul Fitri, kecuali sebagian yang lain yang hanya sekedar ikut-ikutan bahagia. Mereka dianggap sebagai kaum yang hanya ikut-ikutan merasakan kemenangan karena sesungguhnya mereka tidak mendapatkan hakikat sebenarnya dari ibadah di bulan Ramadhan. Mungkin perut dan tenggorokan mereka kering dari makan dan minum, tapi pandangan mereka masih liar, pendengaran mereka tak terjaga, lidah mereka tak terkendali, tangan mereka masih jahil, dan pikiran mereka tidak khusyuk. Irham bergumam dalam dirinya sendiri, ‘Lantas untuk apa mereka berpuasa di bulan Ramadhan jika tetap tak mampu menahan diri dari kedzaliman dirinya sendiri? Untuk apa mereka tekun beribadah jika mereka tak mampu menundukkan hawa nafsu dan syahwatnya?’
Seusai khutbah Shalat Id, para jama’ah pun berhamburan keluar dari Masjid. Beberapa menit setelahnya, mendadak suasana Masjid menjadi sepi, hening, dan yang tersisa hanya sajadah-sajadah yang menjadi saksi bisu bahwa barusaja diri mereka, menjadi alas bagi para Muslim menunaikan ibadah shalat Id. Irham menatap sekelilingnya dengan perasaan kehilangan yang amat mendalam.
Hari itu bertepatan dengan hari Jum’at, sehingga shalat Jum’at sudah bukan menjadi kewajiban yang utama bagi umat Muslim karena sebelumnya telah menunaikan shalat Id. Namun, raut kekecewaan kembali memancar dari wajah polos Irham ketika mengetahui jumlah jama’ah shalat Jum’at menurun drastis dari hari biasanya, terutama saat masih dalam bulan Ramadhan.
Kesedihannya belum berakhir, di hari-hari berikutnya, keadaan semakin parah baginya. Jama’ah shalat fardhu kembali seperti sedia kala. Sepi, lengang, dan banyak celah berongga di antara tiap shaf-nya. Tak terdengar lagi gaung-gaung merdu yang memantul di dinding masjid yang mendengungkan ayat-ayat Ilahi. Tak terdengar lagi kicau-kicau syahdu memuja keagungan ALLAH SWT. Tak ada yang menemani dia bertilawah lagi, karena semua langsung pulang seusai shalat fardhu.
Pernah suatu ketika dia mendapati seseorang yang bertilawah Qur’an sesaat setelah menunaikan ibadah shalat fardhu. Kemudian Irham pun mendekati orang tersebut dengan maksud untuk berkenalan dengannya dan berencana mengajaknya bertadarus bersama.
“Assalamu’alaikum. Maaf, Pak!” sapa Irham ramah diiringi seutas senyum.
“Wa’alaikumussalam. Maafdik, saya harus segera pergi dahulu. Mari, permisi…” sahut orang tersebut pada Irham.
Irham hanya terdiam dan terpaku melihat ketergesaan itu. Tidak ada lagi kah orang yang betah bertahan di dalam masjid walau hanya untuk sekedar membaca Al-Qur’anul Karim. Pertanyaan itu sempat menghampirinya, namun tak lantas dia berpurbasangka pada orang yang dia temui baru saja.
Pernah juga ditemuinya sekelompok orang dengan janggut tebal dan celana di atas mata kaki sedang asyik bercengkrama. Namun ketika Irham mendekati mereka, kelompok itu pun memisahkan diri lalu menuju ke sisi kosong masjid dan merebahkan tubuhnya di atas sajadah sembari memejamkan matanya. Tak berselang beberapa menit, meledaklah suara dengkuran yang membahana di sana sini mengalun menghiasi masjid.
Irham merasakan sebuah kehilangan yang besar akan kesejukan saat-saat berkumpul bersama orang-orang yang juga menyebut asma ALLAH sebanyak-banyaknya. Teringat selalu dalam benaknya akan betapa bahagia wajah-wajah para peserta I’tikaf waktu lalu. Dan sinar wajah-wajah seperti mereka kini meredup dibenamkan waktu yang terus berjalan meninggalkan Ramadhan. Dia berharap bisa kembali bersua dan bercengkrama dengan mereka semua di bulan suci mendatang.
*****
Tanpa terasa, hari-hari terus berputar seiring berputarnya gerak jarum jam dan seiring perputaran segala benda di alam semesta sesuai orbitnya masing-masing. Kini telah menginjak pada akhir bulan Sya’ban. Getar-getar kerinduan itu kembali menggema di setiap pembuluh darah dan syaraf Irham. Sebentar lagi bulan suci yang telah lama dirindukan itu akan kembali menyapa lembut dirinya. Tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir tak henti-hentinya dia senandungkan dalam lisannya, demi memuji ALLAH yang telah memberinya kenikmatan luar biasa karena akan segera dipertemukan kembali dengan Ramadhan.
Setiap malam, dia bangun dan bermunajat kepada ALLAH. Dalam sujudnya Irham senantiasa berdoa, “Ya RABB, tiada Tuhan selain ENGKAU. ENGKAU lah yang selalu terjaga dan tak pernah tidur. KAU Maha Mendengar apa yang dimohonkan seorang hamba hina sepertiku. Pertemukan aku kembali dengan bulan suci Ramadhan! Pertemukan aku kembali dengan para kekasih-MU! Jadikan aku salah satu hamba-MU yang ENGKAU ridhai di antara orang-orang yang shalih! Bila ENGKAU memanjangkan umurku, berilah aku umur yang penuh barokah. Dan apabila ENGKAU memberiku usia yang pendek, maka jadikanlah usia itu benar-benar bermanfaat untukku kelak. TUHAN-ku terimalah segala amal ibadahku, sesungguhnya ENGKAU Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Segala persiapan menyambut kehadiran Ramadhan pun menjadi focus utama Irham dalam beberapa hari terakhir. Dia membeli beberapa pakaian muslim baru demi mengganti beberapa pakaian muslim lamanya yang telah usang dan tak cukup layak dipakai kala berjumpa dengan Sang Kekasih, ALLAH SWT. Baju-baju dan sarung yang terlihat robek tapi masih bisa dia pakai, dijahitnya dengan kedua tangannya sendiri. Masjid pun dia cat dengan menggunakan biaya dari sebagian rizki yang dimilikinya. Sarang-sarang laba-laba yang menjajah sudut-sudut masjid dibersihkannya. Lantai masjid dibuatnya menjadi lebih berkilau bagai cermin. Sajadah-sajadah mulai membentang dengan anggun di seluruh penjuru rumah ALLAH itu. Susunan mushaf-mushaf Al Qur’an tampak semakin tertata rapi dan gagah. Sementara kaca-kaca jendela masjid menjadi lebih bening. Tak lupa atap yang bocor dia benahi pula dengan penuh semangat, sabar, dan keikhlasan.
Tapi ada sesuatu yang terpercik di dalam pikirannya. Ada sesuatu yang terasa masih belum lengkap dari semua persiapan yang dia lakukan. Dia ingin memberi pelayanan terbaik bagi para jama’ah di masjid. Rupanya Irham ingin menambah kipas angin yang biasa digantung di dalam masjid. Dia teringat akan keluhan teman I’tikafnya tahun lalu.
“Akh…, sungguh masjid ini sangat nyaman dan tentram untuk ditempati ber-I’tikaf. Namun…” ucap temannya itu.
“Namun apa akhi?” tanya Irham penasaran.
“Di sini panas sekali. Sirkulasi udara yang ada masih kurang bagus. Ana rasa, antum harus menyediakan tambahan kipas angin untuk tahun berikutnya, akh…!”
Irham pun mengangguk. Kini saran itulah yang menjadi tekadnya pada hari tersebut. Diraihnya gagang kemudi sepeda onthelnya dengan genggaman erat. Lalu dikayuhnya sepedanya menuju ke toko tempat biasa dijual kipas angin di dekat pasar.
Dia benar-benar bersemangat saat itu. Di setiap kayuhan pedal, terlihat bibirnya selalu berusaha mengucap tasbih sebagai tanda syukur dan pujinya terhadap ALLAH yang telah memberinya kebahagiaan ini. Terbayang di pelupuk pikirannya, jama’ah akan memenuhi masjid dengan sesak di hari-hari awal Ramadhan. Shaf-shaf yang tadinya berongga dan bercelah, akan terisi dengan rapat sekali. Serentak para jama’ah akan seolah-olah berlomba-lomba dalam kebaikan. Ayat-ayat Al Qur’an akan dilantunkan dengan indah oleh para jama’ah. Ceramah dan tausiyah agama akan lebih sering dia dapati di masjid nantinya. Gemuruh angin di malam hari dan embun lembut di pagi hari akan mencumbu permukaan bumi dengan tasbih mereka. Gelegar petir akan berdecak kagum atas kuasa ALLAH di bulan penuh barokah tersebut. Mentari akan bersinar seterang cahaya yang sedang menyala terang di dalam hati kaum mukminin. Bulan pun tersenyum mengiringi segerombolan malaikat yang ALLAH utus ke bumi demi memberi kedamaian bagi penduduknya. Setan-setan akan merasa dibelenggu oleh keteguhan iman di bulan itu. Mereka akan dicekam oleh keindahan aplikasi ketaqwaan tingkat tinggi dari umat Nabi Muhammad SAW. Seakan-akan mereka susah bernafas, sukar bergerak, dan sulit menembus pertahanan kalbu umat Islam.
Tak sabar lagi rasanya agar hari esok itu segera tiba bagi Irham. Tanpa terasa sebutir air bening yang hangat, menyusur turun perlahan ke pipi kanannya. Matanya berkaca-kaca dengan senyum yang melebar di wajah. Bibirnya masih terlihat mengucap dzikir kepada ALLAH. Kayuhan pedal sepedanya semakin cepat melintasi jalanan. Tanpa dia sadari ada sebuah mobil box yang berlari dengan kecepatan tinggi dari arah kanannya. Mobil itu melaju dengan kencang karena sedang dikejar oleh polisi. Ketika seharusnya mereka berhenti di persimpangan jalan karena lampu merah, namun kejaran polisi membuat mereka terpaksa harus menerobos lampu merah tersebut. Bayang-bayang indah yang terukir di otak Irham, membuat dia lengah sehingga tak mendengar sirine polisi yang memekik di dekatnya. Irham yang dengan nyaman mengayuh sepedanya pun tertabrak mobil box berisi para penjahat yang mencoba kabur dari kejaran polisi. Tubuhnya terpental jauh dari sepedanya, sedang sepedanya remuk seketika terlindas olah mobil. Kepala Irham membentur aspal dengan sangat keras. Tak pelak, darah menyembur deras dari kepalanya dan warna merah menodai peci putih yang dia kenakan. Saat itu Irham pun menghembuskan nafas terakhirnya. Pejaman kedua matanya tak pernah terbuka kembali sejak saat itu…
6. DI ATAS JALAN LURUS YANG BERKERIKIL
Namaku Alifia. Alifia Rahimatunnisa, lengkapnya. Orang-orang biasa memanggilku Fia. Aku tinggal di sebuah daerah di pinggiran kota di mana di daerah tersebut sering berlalu lalang angkutan-angkutan umum semacam mikrolet. Ada mikrolet yang berwarna merah. Ada angkot yang berwarna biru muda kehijauan. Ada pula yang berwarna kuning. Bila dipikir-pikir. benda-benda beroda empat yang suka keluyuran itu terkadang banyak manfaatnya, tak jarang juga bisa membuat kemacetan.
Hari ini, Ahad 3 Ramadhan 1432 Hijriah, bertepatan dengan ulang tahun teman serta sahabatku, Siti Nurrahmatillah. Boleh juga dikatakan kita ini bersaudara. Bersaudara karena seiman dan seakidah. Hari ini juga merupakan hari-hari awal seluruh umat Muslim berpuasa pada bulan suci yang dipenuhi dengan barokah.
Tak jauh dari rumahku, ada sebuah perempatan kecil. Perempatan kecil itu berada di perbatasan antara desaku dengan desa tetangga yang berada di seberang jalan. Bisa dikatakan jalan itu tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus untuk dilalui kendaraan, karena banyaknya undak-undakan terjal serta kerikil-kerikil tajam bertebaran di jalan tersebut. Di situ aku sedang menanti sebuah angkot yang akan mengangkutku menuju rumah Siti. Sepanjang yang aku tahu sejauh ini, angkot yang searah dengan rumah Siti adalah angkot yang berwarna biru muda kehijauan.
Kira-kira sudah selama kurang lebih seperempat jam kakiku bersabar menahan beban tubuhku yang tak kunjung merebah di kursi penumpang. Sedari tadi hanya terlihat beberapa angkot yang lewat. Sebagian besar adalah yang berwarna merah. Sesekali terlihat angkot yang berwarna kuning lewat. Baru sekitar lima menit kemudian, angkot yang kutunggu-tunggu pun akhirnya mulai menampakkan batang hidungnya – walau sebenarnya angkot-angkot itu tak punya hidung walau memiliki moncong. Itupun kelihatannya sangat dipenuhi oleh penumpang yang juga membawa banyak barang-barang belanjaan. Kendati demikian, aku tetap memberhentikan angkot itu karena aku sudah berjanji pada si Siti, kalau aku akan hadir di acara ulang tahunnya. Apalagi ulang tahunnya ini akan mengadakan acara buka bersama dengan anak-anak yatim piatu dan anak-anak dari kaum dhuafa yang sangat membutuhkan uluran tangan saudaranya. Oleh sebab itu aku tak ingin telat. Waktu juga telah menunjukkan pukul lima sore, kira-kira kurang satu jam lagi dari waktu Maghrib.
Aku pun terpaksa duduk di bibir pintu yang menganga lebar. Di sebelahku ada lelaki paruh baya sekitar 45 tahunan sedang asyik menghisap rokok di mulutnya tanpa menyadari bahwa diriku dan salah seorang penumpang lain yang sedang hamil, merasa amat terganggu olehnya. Tak berapa lama pria setengah baya itu pun turun. Aku sedikit bersyukur lega.
Angkot kembali melangkah maju. Kali ini angkot tersebut melaju dengan kecepatan yang lebih kencang dari kecepatan sebelumnya. Supir angkot itu mungkin sudah tak sabar ingin menyantap makanan buka puasa buatan istrinya di rumah. Maka dia pun memacu kendaraan itu secepat mungkin.
Namun, supir yang seolah membawa angkot itu dengan kesetanan, membuat hatiku berdegup kencang. Tampaknya bukan hanya aku saja yang merasakan hal itu. Para penumpang lain yang mayoritas adalah kaum hawa, kelihatan gelisah dengan tingkah laku supir angkot ini.
Ibu-ibu yang sedang hamil pun berujar dengan wajah agak mengerut kencang, “Pelan-pelan ae to pak! Op’oo sih kok kesusu ngono? Awakku kan lagi hamil tua. Nek nanti berojol di sini piye?!”
“Iya Pak, sing sabar! Kita juga tahu kalau sampean mau lekas berbuka puasa. Tapi kita juga mau buka ini. Kalau sampai ada apa-apa di jalan kan jadi mumet…,” tambah yang lain dengan ketusnya.
“Udah, kalian juga pengen buru-buru kan. Kagak usah atur-atur gue! Gue udah biasa bawa angkot seperti ini,” jawab si Supir menanggapi keluhan para penumpangnya.
“Huh, dikandani malah ngeyel Bapak iki,” tukas salah seorang penumpang yang sedang memangku anak balitanya.
Ketika tiba di sebuah belokan tajam di ujung jalan yang berada tepat di tepi jurang curam dekat sungai, mobil itu berbelok tanpa sedikitpun mengurangi gasnya. Hampir-hampir saja seluruh penumpang terpelanting dari tempat duduknya masing-masing. Seketika aku langsung beristighfar di dalam hati sembari menyerahkan segala urusan kepada ALLAH Swt. Diriku berpasrah diri dan memohon perlindung-NYA dari kedzaliman diri sendiri dan orang lain yang dapat membuatku celaka. Sementara beberapa penumpang yang masih berada dalam angkot merasa sedikit ketakutan.
“Pak, pak wis aku kape mudun kene ae! Medeni nek awakmu sing nyetir… Aku arep numpak sing liya ae,” tukas salah seorang penumpang wanita bertubuh agak tambun dengan raut muka yang tidak ramah. Tangan kirinya menyerahkan beberapa lembar uang ribuan kepada supir tersebut. Supir itu mengambilnya dengan secepat kilat lalu melaju lagi dengan cara yang sama. Meski aku tak bisa berbahasa Jawa, tetapi aku dulu pernah tinggal di daerah Jawa. Aku mengerti apa yang dikatakan oleh perempuan agak gemuk tadi. Dia bilang bahwa dia memutuskan turun di situ karena merasa takut dengan cara menyetir si supir dan memilih naik angkot lain demi melanjutkan perjalanannya yang terputus di tengah jalan tersebut.
Hanya selang beberapa menit setelah kejadian tersebut, beberapa penumpang lain juga nampak satu demi satu turun. Mungkin mereka sudah jengah, keluhannya tak ditanggapi serius oleh supir angkot. Malah diacuhkan begitu saja.
Kini yang tersisa di mobil angkot berbentuk kijang keluaran tahun 2001 itu hanya lah diriku seorang. Kini tempatku telah bergeser tepat di belakang supir angkot ugal-ugalan itu. Aku memperhatikan supir angkot itu dengan seksama melalui cermin yang berada di depan tempat kemudi. Cermin itu tampak digelayuti oleh sebuah tasbih kecil dan sebuah gantungan berhiaskan asma ALLAH Swt. Pada dashboard pun terlihat sticker bertuliskan kaligrafi ucapan basmalah. Aku yakin, jika supir itu yang selalu membawa angkot ini selama dia kerja, maka yang menempelnya adalah si supir tersebut. Dari situ aku bisa menduga bahwa dia memang seorang Muslim.
“Astaghfirullah…!!!” teriakku agak keras.
Kembali aku terbangun dari lamunanku setelah secara mendadak supir itu menginjakkan kakinya ke atas pedal rem sekencang-kencangnya. Tubuhku membentur kursi supir yang terletak di samping depanku dengan cukup keras hingga membuat lengan kananku kesakitan karena tulang-tulangku beradu dengan rangka kursi yang terbuat dari besi. Sambil menahan nyeri, aku melihat ada seorang anak kecil yang sedang berada tepat di depan angkot bertopeng ketakutan. Bocah yang kira-kira berumur sepuluh tahunan itu lalu secepat kilat menghilang di redupnya senja kala itu.
“Pak, pelan-pelan aja pak! Gak usah buru-buru. Saya tahu sebentar lagi akan masuk waktunya untuk berbuka. Bapak tidak perlu tergesa-gesa seperti ini! Rasulullah saja menyuruh kita untuk tenang ketika menuju ke masjid walaupun beliau juga sangat menganjurkan kepada kita untuk menyegerakan berbuka. Akan tetapi apabila caranya membahayakan orang lain seperti ini, pasti bukanlah yang diinginkan beliau. Saya juga sedang terburu-buru. Tapi keselamatan tetap haruslah yang utama. Jangan ceroboh!”
“Ah sudahlah Bu Ustadz, mentang-mentang pakai kerudung, lalu sekarang mau berceramah di hadapan saya! Anak-anak dan isteri saya sedang menunggu kedatangan saya di rumah. Saya harap saya tidak terlambat membawakan mereka makanan untuk berbuka puasa petang ini. Kamu mungkin tidak tahu jika saya dan keluarga saya tinggal berkekurangan. Sebelum Ramadhan pun, keluarga kami seperti terbelenggu oleh puasa. Kami tidak bisa menikmati makanan yang cukup seperti yang lain. Kadang seharian kami tidak makan. Lihat saja tubuh saya yang begitu kurus dan menyisakan hampir-hampir hanya tulang dun kulitnya saja. Anak-anak saya akhir-akhir ini juga sering sakit-sakitan karena kekurangan asupan makanan yang cukup. Terkadang kami hanya makan dari satu piring tak terlalu besar yang sesak akan butir-butir nasi. Padahal setoran saya lebih besar dan tak seimbang dengan penghasilan yang saya dapatkan setiap harinya.”
Aku mendengar penjelasan supir itu dengan seksama. Hatiku sedikit terenyuh mendengarkannya. Namun, aku tetap tidak bisa mentolerir apa yang baru saja dia lakukan terhadap para penumpang dan anak kecil tak bersalah yang hampir saja ditabraknya. Dengan segenap keberanian, aku mencoba mengingatkannya.
“Pak, mungkin apa yang Bapak lakukan sesungguhnya memiliki tujuan yang amat mulia terhadap keluarga Bapak. Namun Bapak mungkin tidak berpikir lebih jauh dari apa yang telah Bapak lakukan dengan kebut-kebutan seperti ini. Pertama, nyawa Bapak dan para penumpang yang Bapak bawa bisa terancam. Jika nyawa Bapak melayang, maka Bapak tidak bisa menyelamatkan isteri dan anak-anak Bapak di rumah bukan. Islam mengajarkan agar kita mengutamakan keselamatan diri sendiri terlebih dahulu, lalu keselamatan yang lain. Karena apabila kita ingin menyelamatkan yang lain, maka keselamatan diri sendiri harus diperhatikan lebih dulu. Jika kita tak bisa menyelamatkan diri sendiri, maka kita tak akan mampu menyelamatkan orang lain yang berada dalam tanggung jawab kita. Lalu bila Bapak membuat nyawa para penumpang yang Bapak bawa itu hilang karena ulah dan kelalaian Bapak, maka Bapak akan dituntut oleh ALLAH untuk mempertanggungjawabkan hal tersebut di hari akhir kelak.”
“Kedua,” sambungku, “Bapak telah berlaku dzalim terhadap diri Bapak sendiri dan terutama kepada orang lain yang naik angkot ini. Apakah selama ini Bapak tidak pernah sama sekali memperhatikan keadaan penumpang yang Bapak perlakukan seperti ini?! Lihat saja sikap perempuan Jawa yang tadi turun di tengah jalan. Dia membayar kepada Bapak sejumlah uang bersamaan dengan sumpah serapah dari mulutnya. Ini bukan masalah yang sepele karena seperti yang kita tahu bersama bahwa doa orang-orang terdzalimi itu amat manjur dan dikabulkan oleh ALLAH Azza wa Jalla. Ini bukan perkara ringan yang bisa dianggap remeh begitu saja. Karena apabila orang yang Bapak dzalimi itu menginginkan sesuatu yang buruk terjadi pada Bapak, maka Bapak bisa celaka. Coba Bapak perhatikan kembali apa yang selama ini telah terjadi pada keluarga anda! Bapak mungkin belum sadar, bahwa bisa jadi keluarga Bapak tidak bisa hidup lebih sejahtera karena hal-hal semacam ini. Uang yang diberikan oleh para penumpang yang merasa keselanatannya terancam menjadi uang yang haram.”
Bapak supir tersebut mengernyitkan dahinya, tanda keheranan dengan apa yang aku ucapkan.
Aku melanjutkan, “Kenapa uang itu bisa dikatakan haram. Karena para penumpang tadi memberikan uangnya tidak dengan sepenuh hati. Tidak pula dengan jiwa murni serta ikhlas memberi kepada Bapak. Uang tersebut mereka beri tanpa keikhlasan. Dengan keterpaksaan itulah yang membuatnya haram bagi anda. ALLAH menjadikan penghasilan yang anda terima itu tidak barokah. Maksudnya, seberapa pun banyaknya uang yang anda terima, semua itu tak akan pernah dapat mencukupi kebutuhan kehidupan Bapak sehari-harinya bersama keluarga. Ketika Bapak telah mendzalimi orang lain seperti itu, Bapak tidak menyadari bahwa sebenarnya Bapak juga telah mendzalimi diri Bapak sendiri beserta keluarga Bapak di rumah secara tak langsung. Rezeki itu datangnya dari ALLAH, bukan dari setoran yang Bapak beri kepada juragan Bapak atau penghasilan yang Bapak terima darinya. Kita patut berusaha dan berikhtiar sebaik-baiknya dan menyerahkan segala hasilnya kepada ALLAH, Tuhan Yang Maha Pemurah! Lalu yang terakhir adalah hal yang terpenting. Yakni rasa syukur kita terhadap ALLAH Azza wa Jalla yang dengan segala kemurahan-NYA memberikan kita kesempatan untuk hidup hingga sekarang walau berjalan sudah terasa berat, juga tertatih-tatih. Bayangkan bila Bapak, ALLAH takdirkan wafat dalam kecelakaan! Maka siapa yang akan mengurus kehidupan keluarga anda nantinya? ALLAH masih memberi Bapak kesempatan untuk menjadi orang yang lebih baik dan memberi Bapak kesempatan untuk berbuat lebih bagi keluarga Bapak. Kita tidak perlu iri pada kekayaan dan kelebihan yang dimiliki oleh orang lain. ALLAH hanya akan memandang dari seberapa besar takwa kita terhadap-NYA. ALLAH Maha Kaya, DIA yang akan menganugerahkan rezeki melimpah kepada semua hamba-NYA yang DIA kehendaki. Semakin kita bersyukur akan segala pemberian-NYA, semakin besar pula nikmat yang akan kita peroleh dari-NYA.”
Aku perhatikan bagaimana reaksi bapak itu mendengarkan nasihatku. Air matanya yang hangat mulai meleleh meSitiuni lereng wajahnya dengan perlahan. Sorot matanya terasa keruh dengan berlumur penyesalan.
“Nak, terima kasih telah menyadarkan Bapak dengan apa yang telah selama Bapak lakukan. Mungkin ini memang menjadi penyebab mengapa selama ini Bapak tidak mampu memberi nafkah yang cukup bagi keluarga meski Bapak sudah berusaha sekuat tenaga dalam membanting tulang demi menghidupi mereka. Bapak tidak pernah sedikit pun berpikir apabila besok-besok tak ada lagi yang mau naik angkot Bapak ini karena ulah Bapak sendiri. Saya benar-benar menyesal. Maafkan Bapak, nak!”
Suara adzan maghrib pun terdengar. Waktunya untuk berbagi telah tiba.
“Pak, sebaiknya kita berhenti dulu sejenak untuk berbuka. Tidak baik bila ditunda bukan?!”
Aku kemudian mengeluarkan beberapa butir kurma dari dalam tas lalu kuberikan sebagiannya kepada bapak supir itu. Dengan membaca basamalah dan doa terlebih dulu, aku mulai memasukkan perlahan salah satu kurma itu ke dalam mulutku kemudian aku mengunyahnya hingga habis. Setelah mengucap hamdalah, aku mengambil botol minuman dari dalam tas juga dan meneguk air di botol itu secukupnya. Kemudian perjalanan pun kami lanjutkan.
Kali ini, bapak supir itu membawanya dengan lebih kalem dan lembut, penuh dengan kehati-hatian.
Daerah rumah Siti, sahabatku mulai terasa dekat. Ketika sudah sampai di depan gang menuju rumah Siti, aku meminta bapak supir itu untuk menepi ke kiri. Aku turun dari angkot biru muda kehijauan seraya memberikan selembar uang pecahan lima ribuan kepada bapak supir tersebut.
Aku melihat dia meraba-raba laci di dashboardnya untuk mencari uang lembar seribuan. Aku tahu jika biaya ongkos dari rumahku ke rumah Siti hanya Rp 4000. Namun ketika bapak supir itu hendak memberikan kembalian seribunya, aku pun lalu berkata padanya, “Sudah simpan saja kembaliannya, Pak! Dan sekalian ini ada beberapa bungkus makanan yang baru tadi sore dibuat untuk buka petang ini. Saya harap ini bisa dibagikan kepada keluarga anda untuk berbuka. Semoga bisa cukup untuk malam ini dan bisa bermanfaat bagi Bapak sekeluarga.”
“Aduh, terima kasih banyak nak. Semoga ALLAH memberi balasan yang baik lagi banyak bagi kamu.”
“Amin… Sama-sama Pak! Wassalamu’alaikum…,” aku ucapkan salam perpisahan dengan kuiringi seutas senyum kepada bapak supir angkot itu.
“Wa’alaikumsalam...,” beliau membalasnya dengan diikuti senyuman pula.
Aku berharap ke depannya ketika aku bertemu kembali dan naik angkotnya lagi, kehidupan dia dan keluarganya telah membaik serta cara dia mengemudi tidak lagi membuat hati ketar-ketir dan ketakutan. Hidup ini memiliki banyak jalan yang bisa kita pilih. Ada jalan berbelok yang curam, yang jika kita tidak berhati-hati maka kita akan terperosok jatuh ke dalamnya lalu tersesat. Ada pula jalan yang lurus, menanjak, dan dipenuhi duri-duri serta kerikil-kerikil tajam dengan beragam ukuran. Tentu jalan yang berbelok itu dapat membawa kehancuran bagi kita karena jalan itu lebih mudah kita lalui karena jalan tersebut meSitiun. Daya tarik gravitasinya menjadi semakin tinggi dan berpotensi menjerumuskan kita ke jurang yang dalam. Sedang jalan yang lurus akan membawa kita kepada puncak kemuliaan walau harus mendaki dengan susah payah dan dipenuhi rintangan. Semua tergantung jalan mana yang ingin kita pilih.
Ini merupakan tahun ke-tiga belas bagi Irham menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan. Senyum dan sesekali tangis haru menghangat di wajahnya yang masih belia. Saat ini bulan suci bagi seluruh umat Nabi Muhammad Saw itu telah mencapai pada titik puncak. Yakni di fase sepuluh hari terakhir. Titik di mana orang-orang beriman mulai diseleksi oleh ALLAH. Sejauh mana keimanan mereka mampu bertahan. Hal ini bisa terlihat dari seberapa banyak jumlah shaf yang mengisi rongga-rongga para jamaah di masjid saat tarawih.
Suara-suara para peserta I’tikaf yang sedang bertilawah membaca ayat-ayat suci Qur’an semakin terdengar jelas dan menggema di setiap sudut masjid. Irham pun menjadi bertambah semangat beribadah dalam menuju keridhaan TUHAN-nya.
Berbagai macam pemandangan yang bisa dilihatnya dari para peserta I’tikaf tersebut. Ada yang membawa perlengkapan yang lengkap demi kesempurnaan I’tikaf-nya di masjid Ramadhan ini. Pria setengah baya yang biasa dipanggil Pak Eko oleh yang lainnya ini, membawa beberapa bekal seperti botol minuman, beberapa bungkus makanan kecil, kurma, dan beberapa buah buku bacaan agama. Tak ketinggalan, berbagai perlengkapan mandi untuk membersihkan diri mulai dari sikat gigi, odol, shampoo, sabun dan handuk bahkan gayung. Tak lupa dia membawa kasur kecil dan juga selimut disertai dengan bantal-gulingnya.
“Ane pengen maksimal di bulan ini,” ujar Pak Eko pada yang lain di saat tengah berbuka puasa. “Jadi gak perlu lagi pulang dan terus berada di sini selama I’tikaf. Nabiullah Muhammad Saw pun telah mencontohkan sunnah-nya dalam ber-I’tikaf. Beliau pernah I’tikaf semenjak dua puluh hari sebelum berakhirnya Ramadhan. Beliau tidak pernah pulang ke rumah selama jangka waktu tersebut. Bahkan istri tercintanya, Aisyah Ra. pernah mendatangi beliau ke masjid untuk membilas dan membasuh rambut ikal Rasulullah Saw. sehingga beliau tak perlu pulang ke rumah dan cukup menanti di masjid. Intinya kan agar kita tidak kembali dilengahkan oleh urusan-urusan duniawi di luar masjid selama pelaksanaan I’tikaf. Serta senantiasa focus pada ibadah dalam rangka taqarrub ilallah.”
Irham mengangguk-anggukkan kepalanya saat mendengar penuturan dari Pak Eko mengenai persiapannya yang begitu matang menghadapi I’tikaf di sepuluh hari terakhir ini. Dia merasa belum ada apa-apanya. Dia masih suka ke luar masjid saat sedang ber-I’tikaf karena ada urusan duniawiyah yang menyibukkannya. Apalagi rumahnya dekat dengan masjid sehingga memudahkan dia untuk pulang walau hanya sekedar membasuh sekujur tubuhnya. Namun tahun ini, dia telah berazzam dalam hatinya sendiri untuk tidak banyak menggunakan handphone selama I’tikaf berlangsung. Tidak mau membalas sms dari siapa pun kecuali benar-benar penting dan tidak menyangkut urusan duniawiyah melainkan yang berkenaan dengan amaliah-amaliah ukhrawi saja atau untuk mempererat ukhuwah.
Ada lagi peserta yang hanya membawa bekal secukupnya dalam sebuah tas backpack dengan isi beberapa buku bacaan dan mushaf Qur’an kecil beserta terjemahannya, sebuah laptop, perlengkapan mandi, tanpa dilengkapi perlengkapan tidur. Hanya jaket yang melekat di tubuhnya, dia gunakan sebagai pengganti selimut.
Di setiap malamnya juga diadakan kajian tarbawi untuk menambah kekosongan ilmu bagi para peserta I’tikaf yang rindu dan dahaga akan siraman ruhaniah yang dapat membangkitkan ghirah dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad fi sabilillah. Pembinanya adalah Ustadz Nur Muhammad Taufiq yang sengaja didatangkan khusus dari Riau. Salah satu topic yang disajikan oleh Ustadz Nur Muhammad Taufiq adalah mengenai kelurusan niat demi berdakwah di jalan ALLAH SWT.
“Ingat, bahwa selain Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. tak ada sahabat yang pintu surganya lebih dari satu. Mereka masuk surga karena istiqamah pada satu amaliah tertentu. Amru bin Ash ra. yang istiqamah setelah dijadikan Gubernur di Mesir dengan tidak menyalahgunakan wewenang dan menjadi pemimpin yang amanah. Atau Khalid bin Walid ra. yang istiqamah menjadi panglima perang umat Muslim. Dan yang paling jelas adalah pintu surganya Bilal bin Rabbah ra. yang hanya dia peroleh karena selalu istiqamah menjaga shalat sunnah dua rakaat setiap beliau usai menyempurnakan wudhunya,” ceramah Ustadz Taufiq.
*****
Hari-hari kemenangan pun telah direngkuh oleh sebagian Kaum Muslimin pada Hari Raya Idul Fitri, kecuali sebagian yang lain yang hanya sekedar ikut-ikutan bahagia. Mereka dianggap sebagai kaum yang hanya ikut-ikutan merasakan kemenangan karena sesungguhnya mereka tidak mendapatkan hakikat sebenarnya dari ibadah di bulan Ramadhan. Mungkin perut dan tenggorokan mereka kering dari makan dan minum, tapi pandangan mereka masih liar, pendengaran mereka tak terjaga, lidah mereka tak terkendali, tangan mereka masih jahil, dan pikiran mereka tidak khusyuk. Irham bergumam dalam dirinya sendiri, ‘Lantas untuk apa mereka berpuasa di bulan Ramadhan jika tetap tak mampu menahan diri dari kedzaliman dirinya sendiri? Untuk apa mereka tekun beribadah jika mereka tak mampu menundukkan hawa nafsu dan syahwatnya?’
Seusai khutbah Shalat Id, para jama’ah pun berhamburan keluar dari Masjid. Beberapa menit setelahnya, mendadak suasana Masjid menjadi sepi, hening, dan yang tersisa hanya sajadah-sajadah yang menjadi saksi bisu bahwa barusaja diri mereka, menjadi alas bagi para Muslim menunaikan ibadah shalat Id. Irham menatap sekelilingnya dengan perasaan kehilangan yang amat mendalam.
Hari itu bertepatan dengan hari Jum’at, sehingga shalat Jum’at sudah bukan menjadi kewajiban yang utama bagi umat Muslim karena sebelumnya telah menunaikan shalat Id. Namun, raut kekecewaan kembali memancar dari wajah polos Irham ketika mengetahui jumlah jama’ah shalat Jum’at menurun drastis dari hari biasanya, terutama saat masih dalam bulan Ramadhan.
Kesedihannya belum berakhir, di hari-hari berikutnya, keadaan semakin parah baginya. Jama’ah shalat fardhu kembali seperti sedia kala. Sepi, lengang, dan banyak celah berongga di antara tiap shaf-nya. Tak terdengar lagi gaung-gaung merdu yang memantul di dinding masjid yang mendengungkan ayat-ayat Ilahi. Tak terdengar lagi kicau-kicau syahdu memuja keagungan ALLAH SWT. Tak ada yang menemani dia bertilawah lagi, karena semua langsung pulang seusai shalat fardhu.
Pernah suatu ketika dia mendapati seseorang yang bertilawah Qur’an sesaat setelah menunaikan ibadah shalat fardhu. Kemudian Irham pun mendekati orang tersebut dengan maksud untuk berkenalan dengannya dan berencana mengajaknya bertadarus bersama.
“Assalamu’alaikum. Maaf, Pak!” sapa Irham ramah diiringi seutas senyum.
“Wa’alaikumussalam. Maafdik, saya harus segera pergi dahulu. Mari, permisi…” sahut orang tersebut pada Irham.
Irham hanya terdiam dan terpaku melihat ketergesaan itu. Tidak ada lagi kah orang yang betah bertahan di dalam masjid walau hanya untuk sekedar membaca Al-Qur’anul Karim. Pertanyaan itu sempat menghampirinya, namun tak lantas dia berpurbasangka pada orang yang dia temui baru saja.
Pernah juga ditemuinya sekelompok orang dengan janggut tebal dan celana di atas mata kaki sedang asyik bercengkrama. Namun ketika Irham mendekati mereka, kelompok itu pun memisahkan diri lalu menuju ke sisi kosong masjid dan merebahkan tubuhnya di atas sajadah sembari memejamkan matanya. Tak berselang beberapa menit, meledaklah suara dengkuran yang membahana di sana sini mengalun menghiasi masjid.
Irham merasakan sebuah kehilangan yang besar akan kesejukan saat-saat berkumpul bersama orang-orang yang juga menyebut asma ALLAH sebanyak-banyaknya. Teringat selalu dalam benaknya akan betapa bahagia wajah-wajah para peserta I’tikaf waktu lalu. Dan sinar wajah-wajah seperti mereka kini meredup dibenamkan waktu yang terus berjalan meninggalkan Ramadhan. Dia berharap bisa kembali bersua dan bercengkrama dengan mereka semua di bulan suci mendatang.
*****
Tanpa terasa, hari-hari terus berputar seiring berputarnya gerak jarum jam dan seiring perputaran segala benda di alam semesta sesuai orbitnya masing-masing. Kini telah menginjak pada akhir bulan Sya’ban. Getar-getar kerinduan itu kembali menggema di setiap pembuluh darah dan syaraf Irham. Sebentar lagi bulan suci yang telah lama dirindukan itu akan kembali menyapa lembut dirinya. Tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir tak henti-hentinya dia senandungkan dalam lisannya, demi memuji ALLAH yang telah memberinya kenikmatan luar biasa karena akan segera dipertemukan kembali dengan Ramadhan.
Setiap malam, dia bangun dan bermunajat kepada ALLAH. Dalam sujudnya Irham senantiasa berdoa, “Ya RABB, tiada Tuhan selain ENGKAU. ENGKAU lah yang selalu terjaga dan tak pernah tidur. KAU Maha Mendengar apa yang dimohonkan seorang hamba hina sepertiku. Pertemukan aku kembali dengan bulan suci Ramadhan! Pertemukan aku kembali dengan para kekasih-MU! Jadikan aku salah satu hamba-MU yang ENGKAU ridhai di antara orang-orang yang shalih! Bila ENGKAU memanjangkan umurku, berilah aku umur yang penuh barokah. Dan apabila ENGKAU memberiku usia yang pendek, maka jadikanlah usia itu benar-benar bermanfaat untukku kelak. TUHAN-ku terimalah segala amal ibadahku, sesungguhnya ENGKAU Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Segala persiapan menyambut kehadiran Ramadhan pun menjadi focus utama Irham dalam beberapa hari terakhir. Dia membeli beberapa pakaian muslim baru demi mengganti beberapa pakaian muslim lamanya yang telah usang dan tak cukup layak dipakai kala berjumpa dengan Sang Kekasih, ALLAH SWT. Baju-baju dan sarung yang terlihat robek tapi masih bisa dia pakai, dijahitnya dengan kedua tangannya sendiri. Masjid pun dia cat dengan menggunakan biaya dari sebagian rizki yang dimilikinya. Sarang-sarang laba-laba yang menjajah sudut-sudut masjid dibersihkannya. Lantai masjid dibuatnya menjadi lebih berkilau bagai cermin. Sajadah-sajadah mulai membentang dengan anggun di seluruh penjuru rumah ALLAH itu. Susunan mushaf-mushaf Al Qur’an tampak semakin tertata rapi dan gagah. Sementara kaca-kaca jendela masjid menjadi lebih bening. Tak lupa atap yang bocor dia benahi pula dengan penuh semangat, sabar, dan keikhlasan.
Tapi ada sesuatu yang terpercik di dalam pikirannya. Ada sesuatu yang terasa masih belum lengkap dari semua persiapan yang dia lakukan. Dia ingin memberi pelayanan terbaik bagi para jama’ah di masjid. Rupanya Irham ingin menambah kipas angin yang biasa digantung di dalam masjid. Dia teringat akan keluhan teman I’tikafnya tahun lalu.
“Akh…, sungguh masjid ini sangat nyaman dan tentram untuk ditempati ber-I’tikaf. Namun…” ucap temannya itu.
“Namun apa akhi?” tanya Irham penasaran.
“Di sini panas sekali. Sirkulasi udara yang ada masih kurang bagus. Ana rasa, antum harus menyediakan tambahan kipas angin untuk tahun berikutnya, akh…!”
Irham pun mengangguk. Kini saran itulah yang menjadi tekadnya pada hari tersebut. Diraihnya gagang kemudi sepeda onthelnya dengan genggaman erat. Lalu dikayuhnya sepedanya menuju ke toko tempat biasa dijual kipas angin di dekat pasar.
Dia benar-benar bersemangat saat itu. Di setiap kayuhan pedal, terlihat bibirnya selalu berusaha mengucap tasbih sebagai tanda syukur dan pujinya terhadap ALLAH yang telah memberinya kebahagiaan ini. Terbayang di pelupuk pikirannya, jama’ah akan memenuhi masjid dengan sesak di hari-hari awal Ramadhan. Shaf-shaf yang tadinya berongga dan bercelah, akan terisi dengan rapat sekali. Serentak para jama’ah akan seolah-olah berlomba-lomba dalam kebaikan. Ayat-ayat Al Qur’an akan dilantunkan dengan indah oleh para jama’ah. Ceramah dan tausiyah agama akan lebih sering dia dapati di masjid nantinya. Gemuruh angin di malam hari dan embun lembut di pagi hari akan mencumbu permukaan bumi dengan tasbih mereka. Gelegar petir akan berdecak kagum atas kuasa ALLAH di bulan penuh barokah tersebut. Mentari akan bersinar seterang cahaya yang sedang menyala terang di dalam hati kaum mukminin. Bulan pun tersenyum mengiringi segerombolan malaikat yang ALLAH utus ke bumi demi memberi kedamaian bagi penduduknya. Setan-setan akan merasa dibelenggu oleh keteguhan iman di bulan itu. Mereka akan dicekam oleh keindahan aplikasi ketaqwaan tingkat tinggi dari umat Nabi Muhammad SAW. Seakan-akan mereka susah bernafas, sukar bergerak, dan sulit menembus pertahanan kalbu umat Islam.
Tak sabar lagi rasanya agar hari esok itu segera tiba bagi Irham. Tanpa terasa sebutir air bening yang hangat, menyusur turun perlahan ke pipi kanannya. Matanya berkaca-kaca dengan senyum yang melebar di wajah. Bibirnya masih terlihat mengucap dzikir kepada ALLAH. Kayuhan pedal sepedanya semakin cepat melintasi jalanan. Tanpa dia sadari ada sebuah mobil box yang berlari dengan kecepatan tinggi dari arah kanannya. Mobil itu melaju dengan kencang karena sedang dikejar oleh polisi. Ketika seharusnya mereka berhenti di persimpangan jalan karena lampu merah, namun kejaran polisi membuat mereka terpaksa harus menerobos lampu merah tersebut. Bayang-bayang indah yang terukir di otak Irham, membuat dia lengah sehingga tak mendengar sirine polisi yang memekik di dekatnya. Irham yang dengan nyaman mengayuh sepedanya pun tertabrak mobil box berisi para penjahat yang mencoba kabur dari kejaran polisi. Tubuhnya terpental jauh dari sepedanya, sedang sepedanya remuk seketika terlindas olah mobil. Kepala Irham membentur aspal dengan sangat keras. Tak pelak, darah menyembur deras dari kepalanya dan warna merah menodai peci putih yang dia kenakan. Saat itu Irham pun menghembuskan nafas terakhirnya. Pejaman kedua matanya tak pernah terbuka kembali sejak saat itu…
6. DI ATAS JALAN LURUS YANG BERKERIKIL
Namaku Alifia. Alifia Rahimatunnisa, lengkapnya. Orang-orang biasa memanggilku Fia. Aku tinggal di sebuah daerah di pinggiran kota di mana di daerah tersebut sering berlalu lalang angkutan-angkutan umum semacam mikrolet. Ada mikrolet yang berwarna merah. Ada angkot yang berwarna biru muda kehijauan. Ada pula yang berwarna kuning. Bila dipikir-pikir. benda-benda beroda empat yang suka keluyuran itu terkadang banyak manfaatnya, tak jarang juga bisa membuat kemacetan.
Hari ini, Ahad 3 Ramadhan 1432 Hijriah, bertepatan dengan ulang tahun teman serta sahabatku, Siti Nurrahmatillah. Boleh juga dikatakan kita ini bersaudara. Bersaudara karena seiman dan seakidah. Hari ini juga merupakan hari-hari awal seluruh umat Muslim berpuasa pada bulan suci yang dipenuhi dengan barokah.
Tak jauh dari rumahku, ada sebuah perempatan kecil. Perempatan kecil itu berada di perbatasan antara desaku dengan desa tetangga yang berada di seberang jalan. Bisa dikatakan jalan itu tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus untuk dilalui kendaraan, karena banyaknya undak-undakan terjal serta kerikil-kerikil tajam bertebaran di jalan tersebut. Di situ aku sedang menanti sebuah angkot yang akan mengangkutku menuju rumah Siti. Sepanjang yang aku tahu sejauh ini, angkot yang searah dengan rumah Siti adalah angkot yang berwarna biru muda kehijauan.
Kira-kira sudah selama kurang lebih seperempat jam kakiku bersabar menahan beban tubuhku yang tak kunjung merebah di kursi penumpang. Sedari tadi hanya terlihat beberapa angkot yang lewat. Sebagian besar adalah yang berwarna merah. Sesekali terlihat angkot yang berwarna kuning lewat. Baru sekitar lima menit kemudian, angkot yang kutunggu-tunggu pun akhirnya mulai menampakkan batang hidungnya – walau sebenarnya angkot-angkot itu tak punya hidung walau memiliki moncong. Itupun kelihatannya sangat dipenuhi oleh penumpang yang juga membawa banyak barang-barang belanjaan. Kendati demikian, aku tetap memberhentikan angkot itu karena aku sudah berjanji pada si Siti, kalau aku akan hadir di acara ulang tahunnya. Apalagi ulang tahunnya ini akan mengadakan acara buka bersama dengan anak-anak yatim piatu dan anak-anak dari kaum dhuafa yang sangat membutuhkan uluran tangan saudaranya. Oleh sebab itu aku tak ingin telat. Waktu juga telah menunjukkan pukul lima sore, kira-kira kurang satu jam lagi dari waktu Maghrib.
Aku pun terpaksa duduk di bibir pintu yang menganga lebar. Di sebelahku ada lelaki paruh baya sekitar 45 tahunan sedang asyik menghisap rokok di mulutnya tanpa menyadari bahwa diriku dan salah seorang penumpang lain yang sedang hamil, merasa amat terganggu olehnya. Tak berapa lama pria setengah baya itu pun turun. Aku sedikit bersyukur lega.
Angkot kembali melangkah maju. Kali ini angkot tersebut melaju dengan kecepatan yang lebih kencang dari kecepatan sebelumnya. Supir angkot itu mungkin sudah tak sabar ingin menyantap makanan buka puasa buatan istrinya di rumah. Maka dia pun memacu kendaraan itu secepat mungkin.
Namun, supir yang seolah membawa angkot itu dengan kesetanan, membuat hatiku berdegup kencang. Tampaknya bukan hanya aku saja yang merasakan hal itu. Para penumpang lain yang mayoritas adalah kaum hawa, kelihatan gelisah dengan tingkah laku supir angkot ini.
Ibu-ibu yang sedang hamil pun berujar dengan wajah agak mengerut kencang, “Pelan-pelan ae to pak! Op’oo sih kok kesusu ngono? Awakku kan lagi hamil tua. Nek nanti berojol di sini piye?!”
“Iya Pak, sing sabar! Kita juga tahu kalau sampean mau lekas berbuka puasa. Tapi kita juga mau buka ini. Kalau sampai ada apa-apa di jalan kan jadi mumet…,” tambah yang lain dengan ketusnya.
“Udah, kalian juga pengen buru-buru kan. Kagak usah atur-atur gue! Gue udah biasa bawa angkot seperti ini,” jawab si Supir menanggapi keluhan para penumpangnya.
“Huh, dikandani malah ngeyel Bapak iki,” tukas salah seorang penumpang yang sedang memangku anak balitanya.
Ketika tiba di sebuah belokan tajam di ujung jalan yang berada tepat di tepi jurang curam dekat sungai, mobil itu berbelok tanpa sedikitpun mengurangi gasnya. Hampir-hampir saja seluruh penumpang terpelanting dari tempat duduknya masing-masing. Seketika aku langsung beristighfar di dalam hati sembari menyerahkan segala urusan kepada ALLAH Swt. Diriku berpasrah diri dan memohon perlindung-NYA dari kedzaliman diri sendiri dan orang lain yang dapat membuatku celaka. Sementara beberapa penumpang yang masih berada dalam angkot merasa sedikit ketakutan.
“Pak, pak wis aku kape mudun kene ae! Medeni nek awakmu sing nyetir… Aku arep numpak sing liya ae,” tukas salah seorang penumpang wanita bertubuh agak tambun dengan raut muka yang tidak ramah. Tangan kirinya menyerahkan beberapa lembar uang ribuan kepada supir tersebut. Supir itu mengambilnya dengan secepat kilat lalu melaju lagi dengan cara yang sama. Meski aku tak bisa berbahasa Jawa, tetapi aku dulu pernah tinggal di daerah Jawa. Aku mengerti apa yang dikatakan oleh perempuan agak gemuk tadi. Dia bilang bahwa dia memutuskan turun di situ karena merasa takut dengan cara menyetir si supir dan memilih naik angkot lain demi melanjutkan perjalanannya yang terputus di tengah jalan tersebut.
Hanya selang beberapa menit setelah kejadian tersebut, beberapa penumpang lain juga nampak satu demi satu turun. Mungkin mereka sudah jengah, keluhannya tak ditanggapi serius oleh supir angkot. Malah diacuhkan begitu saja.
Kini yang tersisa di mobil angkot berbentuk kijang keluaran tahun 2001 itu hanya lah diriku seorang. Kini tempatku telah bergeser tepat di belakang supir angkot ugal-ugalan itu. Aku memperhatikan supir angkot itu dengan seksama melalui cermin yang berada di depan tempat kemudi. Cermin itu tampak digelayuti oleh sebuah tasbih kecil dan sebuah gantungan berhiaskan asma ALLAH Swt. Pada dashboard pun terlihat sticker bertuliskan kaligrafi ucapan basmalah. Aku yakin, jika supir itu yang selalu membawa angkot ini selama dia kerja, maka yang menempelnya adalah si supir tersebut. Dari situ aku bisa menduga bahwa dia memang seorang Muslim.
“Astaghfirullah…!!!” teriakku agak keras.
Kembali aku terbangun dari lamunanku setelah secara mendadak supir itu menginjakkan kakinya ke atas pedal rem sekencang-kencangnya. Tubuhku membentur kursi supir yang terletak di samping depanku dengan cukup keras hingga membuat lengan kananku kesakitan karena tulang-tulangku beradu dengan rangka kursi yang terbuat dari besi. Sambil menahan nyeri, aku melihat ada seorang anak kecil yang sedang berada tepat di depan angkot bertopeng ketakutan. Bocah yang kira-kira berumur sepuluh tahunan itu lalu secepat kilat menghilang di redupnya senja kala itu.
“Pak, pelan-pelan aja pak! Gak usah buru-buru. Saya tahu sebentar lagi akan masuk waktunya untuk berbuka. Bapak tidak perlu tergesa-gesa seperti ini! Rasulullah saja menyuruh kita untuk tenang ketika menuju ke masjid walaupun beliau juga sangat menganjurkan kepada kita untuk menyegerakan berbuka. Akan tetapi apabila caranya membahayakan orang lain seperti ini, pasti bukanlah yang diinginkan beliau. Saya juga sedang terburu-buru. Tapi keselamatan tetap haruslah yang utama. Jangan ceroboh!”
“Ah sudahlah Bu Ustadz, mentang-mentang pakai kerudung, lalu sekarang mau berceramah di hadapan saya! Anak-anak dan isteri saya sedang menunggu kedatangan saya di rumah. Saya harap saya tidak terlambat membawakan mereka makanan untuk berbuka puasa petang ini. Kamu mungkin tidak tahu jika saya dan keluarga saya tinggal berkekurangan. Sebelum Ramadhan pun, keluarga kami seperti terbelenggu oleh puasa. Kami tidak bisa menikmati makanan yang cukup seperti yang lain. Kadang seharian kami tidak makan. Lihat saja tubuh saya yang begitu kurus dan menyisakan hampir-hampir hanya tulang dun kulitnya saja. Anak-anak saya akhir-akhir ini juga sering sakit-sakitan karena kekurangan asupan makanan yang cukup. Terkadang kami hanya makan dari satu piring tak terlalu besar yang sesak akan butir-butir nasi. Padahal setoran saya lebih besar dan tak seimbang dengan penghasilan yang saya dapatkan setiap harinya.”
Aku mendengar penjelasan supir itu dengan seksama. Hatiku sedikit terenyuh mendengarkannya. Namun, aku tetap tidak bisa mentolerir apa yang baru saja dia lakukan terhadap para penumpang dan anak kecil tak bersalah yang hampir saja ditabraknya. Dengan segenap keberanian, aku mencoba mengingatkannya.
“Pak, mungkin apa yang Bapak lakukan sesungguhnya memiliki tujuan yang amat mulia terhadap keluarga Bapak. Namun Bapak mungkin tidak berpikir lebih jauh dari apa yang telah Bapak lakukan dengan kebut-kebutan seperti ini. Pertama, nyawa Bapak dan para penumpang yang Bapak bawa bisa terancam. Jika nyawa Bapak melayang, maka Bapak tidak bisa menyelamatkan isteri dan anak-anak Bapak di rumah bukan. Islam mengajarkan agar kita mengutamakan keselamatan diri sendiri terlebih dahulu, lalu keselamatan yang lain. Karena apabila kita ingin menyelamatkan yang lain, maka keselamatan diri sendiri harus diperhatikan lebih dulu. Jika kita tak bisa menyelamatkan diri sendiri, maka kita tak akan mampu menyelamatkan orang lain yang berada dalam tanggung jawab kita. Lalu bila Bapak membuat nyawa para penumpang yang Bapak bawa itu hilang karena ulah dan kelalaian Bapak, maka Bapak akan dituntut oleh ALLAH untuk mempertanggungjawabkan hal tersebut di hari akhir kelak.”
“Kedua,” sambungku, “Bapak telah berlaku dzalim terhadap diri Bapak sendiri dan terutama kepada orang lain yang naik angkot ini. Apakah selama ini Bapak tidak pernah sama sekali memperhatikan keadaan penumpang yang Bapak perlakukan seperti ini?! Lihat saja sikap perempuan Jawa yang tadi turun di tengah jalan. Dia membayar kepada Bapak sejumlah uang bersamaan dengan sumpah serapah dari mulutnya. Ini bukan masalah yang sepele karena seperti yang kita tahu bersama bahwa doa orang-orang terdzalimi itu amat manjur dan dikabulkan oleh ALLAH Azza wa Jalla. Ini bukan perkara ringan yang bisa dianggap remeh begitu saja. Karena apabila orang yang Bapak dzalimi itu menginginkan sesuatu yang buruk terjadi pada Bapak, maka Bapak bisa celaka. Coba Bapak perhatikan kembali apa yang selama ini telah terjadi pada keluarga anda! Bapak mungkin belum sadar, bahwa bisa jadi keluarga Bapak tidak bisa hidup lebih sejahtera karena hal-hal semacam ini. Uang yang diberikan oleh para penumpang yang merasa keselanatannya terancam menjadi uang yang haram.”
Bapak supir tersebut mengernyitkan dahinya, tanda keheranan dengan apa yang aku ucapkan.
Aku melanjutkan, “Kenapa uang itu bisa dikatakan haram. Karena para penumpang tadi memberikan uangnya tidak dengan sepenuh hati. Tidak pula dengan jiwa murni serta ikhlas memberi kepada Bapak. Uang tersebut mereka beri tanpa keikhlasan. Dengan keterpaksaan itulah yang membuatnya haram bagi anda. ALLAH menjadikan penghasilan yang anda terima itu tidak barokah. Maksudnya, seberapa pun banyaknya uang yang anda terima, semua itu tak akan pernah dapat mencukupi kebutuhan kehidupan Bapak sehari-harinya bersama keluarga. Ketika Bapak telah mendzalimi orang lain seperti itu, Bapak tidak menyadari bahwa sebenarnya Bapak juga telah mendzalimi diri Bapak sendiri beserta keluarga Bapak di rumah secara tak langsung. Rezeki itu datangnya dari ALLAH, bukan dari setoran yang Bapak beri kepada juragan Bapak atau penghasilan yang Bapak terima darinya. Kita patut berusaha dan berikhtiar sebaik-baiknya dan menyerahkan segala hasilnya kepada ALLAH, Tuhan Yang Maha Pemurah! Lalu yang terakhir adalah hal yang terpenting. Yakni rasa syukur kita terhadap ALLAH Azza wa Jalla yang dengan segala kemurahan-NYA memberikan kita kesempatan untuk hidup hingga sekarang walau berjalan sudah terasa berat, juga tertatih-tatih. Bayangkan bila Bapak, ALLAH takdirkan wafat dalam kecelakaan! Maka siapa yang akan mengurus kehidupan keluarga anda nantinya? ALLAH masih memberi Bapak kesempatan untuk menjadi orang yang lebih baik dan memberi Bapak kesempatan untuk berbuat lebih bagi keluarga Bapak. Kita tidak perlu iri pada kekayaan dan kelebihan yang dimiliki oleh orang lain. ALLAH hanya akan memandang dari seberapa besar takwa kita terhadap-NYA. ALLAH Maha Kaya, DIA yang akan menganugerahkan rezeki melimpah kepada semua hamba-NYA yang DIA kehendaki. Semakin kita bersyukur akan segala pemberian-NYA, semakin besar pula nikmat yang akan kita peroleh dari-NYA.”
Aku perhatikan bagaimana reaksi bapak itu mendengarkan nasihatku. Air matanya yang hangat mulai meleleh meSitiuni lereng wajahnya dengan perlahan. Sorot matanya terasa keruh dengan berlumur penyesalan.
“Nak, terima kasih telah menyadarkan Bapak dengan apa yang telah selama Bapak lakukan. Mungkin ini memang menjadi penyebab mengapa selama ini Bapak tidak mampu memberi nafkah yang cukup bagi keluarga meski Bapak sudah berusaha sekuat tenaga dalam membanting tulang demi menghidupi mereka. Bapak tidak pernah sedikit pun berpikir apabila besok-besok tak ada lagi yang mau naik angkot Bapak ini karena ulah Bapak sendiri. Saya benar-benar menyesal. Maafkan Bapak, nak!”
Suara adzan maghrib pun terdengar. Waktunya untuk berbagi telah tiba.
“Pak, sebaiknya kita berhenti dulu sejenak untuk berbuka. Tidak baik bila ditunda bukan?!”
Aku kemudian mengeluarkan beberapa butir kurma dari dalam tas lalu kuberikan sebagiannya kepada bapak supir itu. Dengan membaca basamalah dan doa terlebih dulu, aku mulai memasukkan perlahan salah satu kurma itu ke dalam mulutku kemudian aku mengunyahnya hingga habis. Setelah mengucap hamdalah, aku mengambil botol minuman dari dalam tas juga dan meneguk air di botol itu secukupnya. Kemudian perjalanan pun kami lanjutkan.
Kali ini, bapak supir itu membawanya dengan lebih kalem dan lembut, penuh dengan kehati-hatian.
Daerah rumah Siti, sahabatku mulai terasa dekat. Ketika sudah sampai di depan gang menuju rumah Siti, aku meminta bapak supir itu untuk menepi ke kiri. Aku turun dari angkot biru muda kehijauan seraya memberikan selembar uang pecahan lima ribuan kepada bapak supir tersebut.
Aku melihat dia meraba-raba laci di dashboardnya untuk mencari uang lembar seribuan. Aku tahu jika biaya ongkos dari rumahku ke rumah Siti hanya Rp 4000. Namun ketika bapak supir itu hendak memberikan kembalian seribunya, aku pun lalu berkata padanya, “Sudah simpan saja kembaliannya, Pak! Dan sekalian ini ada beberapa bungkus makanan yang baru tadi sore dibuat untuk buka petang ini. Saya harap ini bisa dibagikan kepada keluarga anda untuk berbuka. Semoga bisa cukup untuk malam ini dan bisa bermanfaat bagi Bapak sekeluarga.”
“Aduh, terima kasih banyak nak. Semoga ALLAH memberi balasan yang baik lagi banyak bagi kamu.”
“Amin… Sama-sama Pak! Wassalamu’alaikum…,” aku ucapkan salam perpisahan dengan kuiringi seutas senyum kepada bapak supir angkot itu.
“Wa’alaikumsalam...,” beliau membalasnya dengan diikuti senyuman pula.
Aku berharap ke depannya ketika aku bertemu kembali dan naik angkotnya lagi, kehidupan dia dan keluarganya telah membaik serta cara dia mengemudi tidak lagi membuat hati ketar-ketir dan ketakutan. Hidup ini memiliki banyak jalan yang bisa kita pilih. Ada jalan berbelok yang curam, yang jika kita tidak berhati-hati maka kita akan terperosok jatuh ke dalamnya lalu tersesat. Ada pula jalan yang lurus, menanjak, dan dipenuhi duri-duri serta kerikil-kerikil tajam dengan beragam ukuran. Tentu jalan yang berbelok itu dapat membawa kehancuran bagi kita karena jalan itu lebih mudah kita lalui karena jalan tersebut meSitiun. Daya tarik gravitasinya menjadi semakin tinggi dan berpotensi menjerumuskan kita ke jurang yang dalam. Sedang jalan yang lurus akan membawa kita kepada puncak kemuliaan walau harus mendaki dengan susah payah dan dipenuhi rintangan. Semua tergantung jalan mana yang ingin kita pilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar