Selasa, 18 Oktober 2011

SI MUKHLIS


Di pagi hari yang dinginnya begitu terasa mencubiti tulang-tulangku, ayahku membangunkan aku untuk ikut dengannya menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid. Sebenarnya ingin sekali aku menolaknya, namun tiada daya ku sanggup melawannya. Aku terpaksa bangkit dari tempatku berbaring lalu segera mengarah ke kamar mandi untuk mengambil air guna berwudhu. Betapa tetesan-tetesan air itu semakin membuat tubuhku bergetar dan mengigil kedinginan. Udara pegunungan yang mencengkeram erat belulangku, menambah keenggananku untuk ikut shalat subuh berjamaah di masjid. Padahal ketika keluargaku masih tinggal di daerah elit di Pondok Indah, Jakarta Selatan, aku adalah yang paling malas menunaikan shalat lima waktu. Namun kala itu, dengan ke-super-sibukan ayahku yang berangkat kerja sebelum subuh dan tiba di rumah sesaat setelah tengah malam, aku bisa lolos dari marahnya yang mampu meledakkan rumah dan seisinya. Karena aku hanya tinggal dengan seorang pembantu tanpa ada pengawasan yang ketat, terutama ketika aku pergi kuliah ke kampus. Aku bagaikan burung yang bisa bebas terbang, walau mungkin ibuku akan amat kecewa di alam sana seandainya saja dia melihat pertumbuhan anaknya yang sudah berkepala dua ini.

Jalan yang tidak layak dilewati itupun diterobosnya demi menjalankan ibadah sesuai ajaran agama kami. Banyak sekali gundukan-gundukan licin yang terpahat di hamparan tanah mendaki dan kotor. Jarak masjid itupun cukup jauh, kira-kira 500 m dari rumah sederhana yang menjadi gubuk tinggal aku dan ayahku sekarang.

Sesampainya di masjid, terlintas sebuah bayangan putih yang mengejutkanku hingga tanpa kusadari mulutku sedikit menganga karenanya. Bukan bayangan putih yang menyeramkan yang tak menginjakkan kedua kakinya ke tanah. Ini adalah sosok manusia biasa namun luar biasa. Dia adalah seorang gadis cantik, tercantik yang pernah kulihat sedang bergerak masuk masjid bersama mukena merh jambu yang dipakainya menjuntai terseret di atas lantai.

Setelah selesai shalat, aku buru-buru keluar tanpa mengerjakan ritual-ritual semacam wirid atau apalah namanya, yang biasa jamaah lain lakukan. Aku duduk di sebuah batu cukup besar yang terletak di tengah taman pekarangan masjid. Terus kuperhatikan gadis dengan mukena yang telah mempercikkan pesonanya kepadaku tadi. Kini dia mulai bergerak bangkit dari tempat dia shalat dan bergegas menuju keluar. Dengan sabar aku menantinya keluar berharap keindahan wajahnya akan menyapa kedua bola mataku yang amat dahaga akan sebuah keindahan yang sulit kujumpai di desa tempat sekarang keluargaku bermukim. Dia berjalan keluar pekarangan masjid, dan mataku pun mengikuti setiap detak langkahnya walaupun tubuhku hanya terpaku di atas batu.

Ayahku yang sangat berpegang teguh dengan keyakinannya, selalu mengerjakan shalat lima waktu di masjid. Aku selalu saja dia ajak pergi ke masjid walau sejauh dan seterjal apa pun kondisi jalan yang membentang di antara rumahku dan masjid. Aku yang kurang mendapatkan perhatian orang tua dan lepas dari pengawasan keduanya semenjak dari kecil, tak mengerti apa hakikat yang akan kudapat dengan menjalankan perintah agama yang menjemukan bagiku seperti ini. Ketaatanku tak lain hanya agar ayah tidak memarahiku dan mengintai keindahan gadis bermukena yang kulihat tadi pagi.

Benar saja dugaanku, di masjid aku pun menemukan si gadis itu berada di sana untuk mengikuti shalat berjamaah bersama dengan seseorang yang kelihatannya adalah ibunda dari sang bidadari tersebut. Aku tak henti-hentinya menatap ke mana saja dia mengayunkan kakinya tanpa disadarinya. Mungkin karena dia selalu menundukkan pandangannya ke bawah ketika sedang berjalan di depan para lelaki yang memadati masjid. Kali ini aku ikuti ke mana gadis itu pulang tanpa sepengetahuan ayahku. Ternyata rumah gadis itu berada tepat di seberang masjid.

Secepat kilat aku menghampiri dan mendekatinya namun tampaknya dia mencoba sedikit menghindar dari kejaranku. Aku lantas memanggilnya, “Wahai gadis bermukena dengan wajah malaikat, mengapa engkau takut denganku. Aku bukan harimau yang akan menerkammu kok!”

“Afwan, ana tidak mengenal antum dan agama melarang ana untuk dekat dengan laki-laki selain muhrim ana sendiri,” jawabnya seraya setengah berlari menghindariku.

“Eh… namaku bukan Antum, tapi Mukhlis,” tiba-tiba langkah kakiku terhenti tanpa sebab seperti tertancap ke tanah dan membiarkannya lolos begitu saja tanpa sempat bertanya nama gadis itu.

Namun, gadis yang tadi sempat menyebut dirinya dengan nama Ana itu menoleh ke arahku, “Tolong bersabarlah dan jadilah seorang mukhlis yang sejati! Jika kita memang dijodohkan ALLAH, pasti ana takkan menolak antum.” Ana pun pergi dari pandanganku. Aku heran dengan apa yang baru saja diucapkannya. Aku tak mengerti.

Namun sejak saat itulah, aku yang ingin menjadikannya kekasihku, memiliki semangat yang berkobar-kobar untuk selalu datang ke masjid tepat waktu bersama ayahku apa pun yang terjadi. Aku sempat bertanya pada ayahku apa maksud perkataan gadis itu kepadaku. Dan ayahku yang banyak mengerti tentang agama pun bilang bahwa Ana ingin aku menjadi diriku sendiri yakni mukhlis atau orang yang ikhlas. Aku pun belajar menjadi pribadi yang ikhlas walaupun aku tak mengerti sama sekali dengan konsep ikhlas yang ayahku maksud.

Aku belajar pada ayah bagaimana menyempurnakan cara wudhuku, bagaimana cara menyempurnakan cara shalatku, dan banyak hal yang terdapat banyak kekeliruan ketika aku mengerjakan ibadah-ibadah yang lain. Aku pun semakin mengerti dengan hukum-hukum Islam yang semenjak dari dulu kuterlantarkan begitu saja. Aku berjanji pada diriku untuk mencari bagaimana menjadi seorang mukhlis yang benar. Aku pun telah kembali menatapkan wajahku pada Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits shahih Rasulullah Saw untuk lebih memahami apa itu Islam dan apa itu Mukhlis. Aku kini menjadi pribadi yang rajin dan bersahaja serta rajin melakukan ibadah baik yang hukumnya wajib maupun hanya sunnah. Sengaja aku memanjang-manjangkan shalat sunnahku ketika sedang berada di masjid sementara Ana memperhatikanku dari balik kain pembatas di sudut belakang masjid. Selesai Maghrib biasanya aku melihat Ana menanti di dalam masjid sambil berdzikir hingga tiba datangnya panggilan adzan Isya’. Aku pun tak ingin kalah dengannya. Sesekali aku mengeraskan dan membuat indah bacaan Al-Qur’an ku agar Ana mampu mendengarku mengaji selama menunggu Isya’ dengan harapan bahwa dia akan melihat perubahan pada diriku yang menurutku sebentar lagi aku akan ‘diwisuda’ menjadi mukhlis sejati di hadapannya. Ana oh Ana, tunggulah aku! Gumamku dalam hati.

Setiap kali pulang dari masjid, aku sempatkan untuk mampir terlebih dahulu di luar pagar rumah Ana dan bertanya apakah aku telah layak menjadi suaminya kelak. Namun Ana selalu menjawab bahwa aku belum mengerti Ikhlas. Bahkan dia selalu memanggil namaku salah dengan menyebut nama Antum.

Semakin hari, semakin lancar aku membaca Al-Qur’an dan hafalan ayatku pun bertambah. Tetangga-tetangga di sekitar rumahku pun telah mengakui bahwa aku, Ahmad Mukhlis An Nur bin Abdurrazak As Sabri, adalah anak yang shalih dan ahlul abid atau rajin beribadah.

Suatu ketika, aku kembali mendatangi rumah Ana dengan maksud untuk melamarnya. Dengan langkah tegak dan penuh percaya diri disertai oleh Ayahku dalam balutan jas hitam menawan buatan Italy yang masih disimpannya di lemari, aku berjalan mendekati pintu rumahnya yang terbuka lebar-lebar. Lalu setelah mengucap salam dan dipersilahkan masuk, aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah Ana tanpa rasa ragu maupun canggung sedikitpun. Aku disambut dengan senyum oleh ibu Ana yang kelihatannya hanya tinggal berdua dengan putri satu-satunya itu. Ayah pun segera mengutarakan maksud kedatangan kami berdua.

“Afwan, kelihatannya Aisyah tidak mau menikah dengan anak antum,” ucap ibu Ana pada ayahku.

Dalam hatiku, aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Bukankah aku hendak menikahi Ana, bukan Aisyah seperti yang dikatakan ibu Ana pada ayahku. Namun melihat anggukan dan senyuman yang dilemparkan ayahku pada ibu Ana, aku semakin tidak mengerti ada apa sebenarnya dengan mereka.

Tak lama kemudian, Ana dengan pakaian jilbab yang rapat menutup seluruh tubuhnya hadir di hadapan kami semua di ruang tamu. Ana kemudian duduk di sebelah ibunya sambil berkata, “Ana belum bisa menerima antum karena antum belum bisa menjadi seorang mukhlis sejati. Sebelumnya ana ingin memperkenalkan nama ana Nurul Aisyah Khairunnisa binti (Alm) Abdul Ghafur Al Anshari.” Dari kedua pipinya, Ana mengembangkan senyum yang amat manis menggetarkan nadiku.

Tiga hal yang kurasakan saat itu. Pertama aku terkejut dengan penolakannya terhadapku. Kedua aku baru tahu jika namanya begitu panjang, Ana Nurul Aisyah Khadijah As Sina apa gitu…prikitiew… begitu panjang sehingga aku tak mampu menghafalnya dalam sekejap waktu. Ketiga, aku masih saja terpesona dengan senyuman yang dilontarkannya tadi kepadaku dan ayahku, begitu indah melayang-layang di pikiranku.

“Lagipula, sebenarnya Aisyah sudah punya calon suami pilihannya sendiri hasil ta’aruf beberapa waktu yang lalu,” sahut ibunya padaku.

Saat itu, dadaku terasa sesak, nafasku terhambat, keringatku seolah membeku dan berhenti mengucur menuruni lereng air mukaku. Aku dan ayahku kini melangkah ke luar rumah Ana dengan tertatih-tatih. Aku menatap ke angkasa di mana kulihat dedaunan yang berguguran di atas kepalaku. Seandainya di langit ada jawaban atas kegagalanku menjadi mukhlis yang sesungguhnya ini. Adzan Maghrib pun berkumandang dengan jelas di depan rumah Ana, sahut-menyahut dengan lantang seolah menantang gema adzan di masjid lain. Namun diriku lemas dan tak mampu mengangkat kedua kakiku menuju ke masjid. Berat terasa bibir ini hanya untuk sekedar menjawab adzan. Pandanganku menatap kosong pada jalanan berliku di depan masjid. Entah apa aku harus mati sekarang dan menghadap Sang Maha Pencipta agar rasa pedihku tak semakin menggerogoti.

Tiba-tiba ayah memegang tanganku dengan kencang lalu berucap, “Kau belum benar-benar menjadi seorang mukhlis anakku.” Senyumannya padaku membuat hatiku jengkel sesaat karena dia telah menganggap remeh diriku. Namun, deru embun datang bertengger di hati nuraniku. Aku seolah tersadarkan bahwa diriku selama ini belum menjalankan perintah tanpa Ikhlas, tanpa mengharap ridha ALLAH Swt, namun hanya terdorong oleh hawa nafsu demi memiliki Ana Nurul Aisyah Khadijah bla bla bla bla…similikitiew… sebagai pendamping hidup. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa Ana menolakku. Aku memang belum mengerti tentang ikhlas. Sesaat kupandangi kembali rumah Ana kemudian kuberbalik dan menatap masjid yang berada di depanku. Urat-urat di kakiku menegang, membawa langkah kakiku menuju masjid dengan mantap diiringi senyuman lebar. Kini aku menyadari bahwa kekasihku yang sesungguhnya adalah ALLAH Azza wa Jalla, sehingga sia-sia saja jika aku mencari perhatian dan ridha selain dari-NYA. Mulai kini aku ‘pamer’ ibadah dan amal shalih hanya kepada ALLAH saja, bukan kepada manusia-manusia ciptaan-NYA.



Ditulis di kamar gue, beberapa jam yang lalu, Jakarta 27 Maret 2010 (th hijriyah-nya gw gk apal)
Abu Muhammad Abdulkhaliq Al Majriti a.k.a Muhammad Valdy Nur Fattah a.k.a Abdullah ibnu Abi Abdillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar