Konser Nasyid Peduli Palestina 2011 |
Islam adalah dien al-fitroh,
seluruh ajarannya berjalan harmonis dan selaras dengan naluri dasar dan
kesiapan manusia bahkan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah syari’ahnya
memenuhi hajat hidup manusia dalam berbagai aspeknya. Firman Allah swt.
yang artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” ( QS. 30:30 )
Al-Imam
Al-Ghozali menjelaskan bahwa Allah swt. telah memberi manusia akal dan
pancaindera. Tiap-tiap dari pancaindera itu ingin menikmati sesuatu
menurut nalurinya masing-masing. Umpamanya, penglihat ingin menikmati
sesuatu yang indah; pendengar, ingin mendengarkan sesuatu yang merdu dan
nyaring. Jadi tidak masuk akal bila semua pemandangan, tontonan/hiburan
kesenian dan berbagai apresiasi estetika dihalangi dalam Islam. Namun
naluri pancaindera itu jangan dibiarkan berjalan sekehendaknya,
melainkan harus dikontrol dan disalurkan ke jalan yang baik. (Ihya'
Ulumuddin,VI/136-169) Rasul pun menyatakan bahwa naluri estetika tidak
bertentangan dengan Islam bahkan disukai dan menjadi bagian kehidupan
integralnya dengan sabdanya, “Allah itu indah dan menyukai keindahan ” (HR. Muslim).
Prof. Mahmoud Syaltout dalam bukunya Al-Fatawa (hal. 375-380) menegaskan bahwa syari’at Allah tidak membunuh naluri (ghorizah/instink)
manusia tetapi dirawatnya, karena manusia tidaklah bisa melaksanakan
tugasnya di dalam dunia ini tanpa mempergunakan naluri panca inderanya.
Tidaklah masuk akal sama sekali bahwa Allah dalam memberikan
perintah-perintah-Nya kepada manusia harus pula membunuh nalurinya,
tetapi yang logis adalah kekuatan dan tenaga naluri itu harus
dipergunakan dan disalurkan kepada yang wajar sebagaimana yang diridhai Allah.
Berbicara
masalah seni sebagai manifestasi dari sebuah apresiasi, kreasi dan
ekspresi gagasan, emosi dan ide tidak bisa terlepas dari nilai, norma
dan etika. Sebab tiada satu pun aktivitas dinamika kehidupan manusia
yang bebas nilai dan norma, termasuk kegiatan dunia seni yang tidak
dapat dihindarkan dari muatan motivasi, pesan ajaran, dan idealisme yang
melatarbelakangi semua itu dari lingkungan sosio kulturalnya.
Dewasa
ini tengah berlangsung -disadari atau tidak- suatu kemelut yang
berhubungan dengan masalah tradisi dan kebudayaan. Kemelut ini
bergejolak di seluruh negeri-negeri Islam yang merupakan suatu realisasi
pertarungan hak dan batil, antara nilai-nilai islami dan jahili, antara
fitrah kesopanan dan nafsu urakan. Kemelut ini sebenarnya telah
berlangsung lama, sejak kelahiran anak Adam as. di muka bumi dan tiada
henti-hentinya sampai kiamat. Prof. Dr. Muhammad Quthb menggambarkan
betapa pertarungan tersebut hebat sekali. Arenanya meliputi semua
lapangan kehidupan; di rumah, di jalan, di tempat hiburan dan sekolah,
di bis dan kendaraan umum lainnya, dalam majalah dan surat kabar, dalam
ceramah-ceramah dan buku-buku, di pedesaan dan di perkotaan. Pemeran dan
pelakunya adalah para generasi muda, putra-putri, orangtua, para
pengajar dan pelajar, para pengarang dan pemikir, pria dan wanita bahkan
semua manusia ikut terlibat dengan kemelut ini.(Ma’rokah At-Taqolid,
hal.2)
Fenomena pertarungan budaya ini semakin tragis dan parah
semenjak dunia Islam terlena dan lelap dalam tidur selama lebih kurang
dua abad dan yang paling dahsyat, sejak kejatuhan negeri-negeri Islam ke
tangan kaum imperialis Barat pada abad XIX M ( XIII H ). Hal itu
sebagai efek kejumudan (stagnasi) umat dalam bidang mental, spiritual,
cita rasa, pemikiran dan kreasi. Kebekuan yang telah mengubah karya dan
upaya generasi sebelumnya menjadi monumen mati tanpa ruh dan lebih suka
menirukan dan menelan budaya asing, tanpa berdaya membuat terobosan dan
gebrakan baru sebagai alternatif islami bagi dinamika perubahan zaman di
tengah-tengah kekacauan nilai.
Pada gilirannya, umat Islam
khususnya generasi mudanya terlanjur sulit melepaskan diri dari seni
budaya materialistis sekuler Barat karena telah merasuk ke dalam
dirinya. Tidak mengherankan lagi bila mereka tergila-gila dan
menggandrungi para seniman Barat begitu ‘ngefans‘ dan
mengidolakan berbagai group band dan musik serta personilnya seperti,
Madonna, Mick Jagger, Jason Donovan, Bon Jovi, Rod Stewart, Michael
Jackson, Tommy Page dan masih banyak idola-idola lainnya baik di bidang
film, musik maupun seni lainnya. Sangat disayangkan, sementara itu
pemikiran dan kehidupan mereka jauh dari nilai-nilai Islam. Idola-idola semu
mereka tersebut lebih lekat di benak kawula muda Islam lengkap dengan
ulah dan lika liku hidupnya. Bahkan sudah lebih lekat dari pada
nama-nama para Nabi dan Rasul, para pemikir dan ulama Islam serta
budayawan dan seniman muslim masa kini dan yang lampau. Mereka lebih
hafal dan fasih dengan lagu-lagu dan film-film ‘asing’ yang urakan
ketimbang membaca surat Al-Fatihah. Sungguh memalukan dan memprihatinkan
bila kondisi generasi kita telah terjangkit kronis penyakit ‘demam asing’
asal trendi, gandrung dengan produk seni budaya yang asing dari
nilai-nilai Islam dan budaya kesopanan Timur sebagai korban dari Ghazwul Fikri suatu upaya bertahap pemurtadan umat Islam dan pengasingan nilai-nilai Islami.
Sebagai
akibat kejatuhan politik dan peradaban Islam pada abad XIX Masehi, pola
dominasi Barat telah banyak mempengaruhi dan menguasai kehidupan
sosial, politik, ekonomi, budaya dan berbagai aspek lainnya. Dalam
mempengaruhi pola pikir dan budaya umat Islam, mereka menggunakan segala
cara yaitu media cetak, elektronik, panggung, podium dan banyak media
massa dan komunikasi lainnya. Selanjutnya, seni budaya Islam mengalami
kristalisasi (idzabah/peleburan) dan memasuki proses akulturasi
dengan kesenian dan kebudayaan Barat yang berakibat hilangnya unsur
ashalah dari yang dinamakan seni dan budaya Islam.
Edcoustic |
Umat Islam semakin sulit dan hampir tidak bisa mengidentifikasi hasil seni budaya yang pantas untuk budaya kesopanan bangsa Timur apalagi yang sesuai dengan ketentuan dan ajaran Islam karena kepribadian dan pemikiran mereka sudah menjadi ‘Barat’ atau ‘Semi Barat’. Oleh karenanya, mereka mencoba mereka-reka sendiri apa yang dinamakan seni budaya Islam. Klasifikasi dan identifikasinya berdasarkan asumsi kabur dan kriteria yang tidak jelas, serba samar-samar dan batasan yang transparan, sangat tipis, longgar dan lemah sebatas pengetahuan mereka yang minim/awam dan dangkal tentang disiplin keislaman. Ironis memang namun sudah jamak bila sering terjadi di masyarakat kita tradisi salah kaprah dalam menilai dan menyajikan sebuah seni Islam. Maka setiap karya budaya dan segala bentuk apresiasi seni yang asalkan sudah menyebut lafazh, istilah, idiom, gaya dan berbagai atribut keislaman lainnya dan dipoles dengan sebutan dan sentuhan warna dan nuansa keislaman, sudah dapat dikategorikan dan dinamakan “seni Islam” atau “seni budaya yang bernafaskan Islam.” Padahal, setelah dikaji lebih matang dan cermat ternyata hakikatnya baik dari faktor penunjangnya maupun unsur substansial dan essensialnya juga muatan materi dan cara penyajiannya sudah menyimpang dari ketentuan syariah Islam. Seni budaya kita telah terkontaminasi oleh seni budaya materialis, liberalis dan permissivis “Barat” atau terrembesi oleh seni budaya sinkritis pluralis “Timur” yang masih tersisa akar-akar tradisi animisme, dinamisme, hinduisme, budhaisme, feodalisme, kebatinan, dunia dewataisme kultus figur dan penyimpangan lainnya. Jadi, sebenarnya kita lebih sering terjebak dengan tradisi dan budaya ‘polesan‘ yang mungkin karena pertimbangan komersial, faktor keawaman ataupun pemaksaan image tanpa didukung penghayatan nilai dasar keislaman.
Seni secara umum merupakan
penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan
dengan perantara alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap
oleh indera pendengar (seni suara) penglihatan (seni tulis/lukis) atau
dilahirkan dengan perantara gerak (seni tari, drama)” , menurut hemat
saya, belum dapat dikatakan representatif dan komprehensif yang mencakup
dan mewakili semua unsur esensial dan substansial dari seni itu
sendiri. (Ensiklopedi Indonesia, V / 3080, 3081)
Seni menurut
Islam hakikatnya sebuah refleksi dan ekspresi dari berbagai cita rasa,
gagasan dan ide sebagai media komunikasi yang bergaya estetis untuk
menggugah citarasa inderawi dan kesadaran manusiawi dalam memahami
secara benar berbagai fenomena, panorama dan aksioma yang menyangkut
dimensi alam, kehidupan, manusia dan keesaan/keagungan rabbani
berdasarkan konsepsi ilahi dan nilai-nilai fitri yang tertuang dan
tersajikan dalam bentuk suara/ucapan, lukisan/tulisan, gerak dan
berbagai implementasi dan apresiasi lainnya. Seni realitanya sebagai
suatu media komunikasi, interpretasi, sekaligus kreasi. Maka dalam
menilai sebuah apresiasi seni tidak dapat dielakkan dari unsur-unsur dan
dimensi-dimensi integralnya yang menyangkut; keyakinan, ideologi,
motivasi, pola pikir, kepekaan, kepedulian, arah dan tujuan di samping
aspek gaya dan estetikanya. Oleh karenanya, tiada satu pun bentuk
apresiasi dan karya seni yang bebas nilai. Maka dalam menilai satu seni
sebagai seni Islam diperlukan kriteria dan rambu-rambu syariah yang
jelas sehingga dapat mudah membedakan dan memilahkannya dari kesenian
jahiliah meskipun bernama ataupun menyebut lafal keislaman.
Di
antara kaedah-kaedah dan kriteria tersebut adalah:
1. Harus mengandung
muatan pesan-pesan hikmah kebijakan dan ajaran kebaikan di antara
sentuhan estetikanya agar terhindar laghwun (perilaku
absurdisme, hampa, sia-sia)
2. Menjaga dan menghormati nilai-nilai susila
Islam dalam semua segi sajiannya.
3. Tetap menjaga aurat dan menghindari
erotisme dan keseronokan.
4. Menghindari semua syair, teknik, metode,
sarana dan instrumen yang diharamkan syari’at terutama yang meniru gaya
khas ritual religius agama lain (tasyabbuh bil kuffar) dan yang menjurus
kemusyrikan.
5. Menjauhi kata-kata, gerakan, gambaran yang tidak
mendidik atau meracuni fitrah.
6. Menjaga disiplin dan prinsip hijab dan
7. Menghindari perilaku takhonnus
(kebancian) dan sebaliknya.
8. Menghindari fitnah dan praktek
kemaksiatan dalam penyajian dan pertunjukannya.
9. Dilakukan dan
dinikmati sebatas keperluan dan menghindari berlebihan (israf dan tabdzir)
sehingga melalaikan kewajiban kepada Allah. (Abdurrahman Aljaziri dalam
Al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’a, II/ 42-44, Dr. Yusuf Al-Qordhowi dalam
Al Halal Wal Haram fil Islam, hal. 273-276)
Menurut Islam seni bukan sekadar untuk seni yang absurd dan hampa nilai (laghwun),
keindahan bukan berhenti pada keindahan dan kepuasan estetis. Sebab
semua aktivitas hidup tidak terlepas dari lingkup ibadah yang universal.
Seni Islam harus memiliki semua unsur pembentuknya yang penting yaitu;
jiwanya, prinsipnya, metode, cara penyampaiannya, tujuan dan sasaran.
Motivasi seni Islam adalah spirit ibadah kepada Allah, menjalankan
kebenaran (haq), menegakkan dan membelanya demi mencari ridha Allah swt.
bukan mencari popularitas ataupun materi duniawi semata. Seni Islam
harus memiliki risalah dakwah melalui sajian seninya yaitu melalui tiga
pesan :
1.Tauhid; dengan menguak dan mengungkap kekuasaan,
keagungan dan transendensi (kemahaannya) dalam segala-galanya, ekspresi
dan penghayatan keindahan alam, ke-tak-berdayaan manusia dan
ketergantunganya terhadap Allah, prinsip-prinsip uluhiyah dan ‘ubudiyah.
2. Insaniyah
dan Inqodz al-Hayah (menyelamatkan hak-hak asasi manusia dan kehidupan
alam) seperti; mengutuk kezhaliman/penindasan, penjajahan, perampasan
hak, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, memberantas kriminalitas,
kejahatan, kebodohan, kemiskinan, perusakan lingkungan hidup,
menganjurkan keadilan, kasih sayang, kepedulian sosial-alam dan
sebagainya.
3. Akhlaqiyah dan Ta’alim Islam (kepribadian/akhlaq,
konsep dan praktek ajaran Islam) seperti; tema kejujuran, pengabdian,
pengorbanan, kesetiaan, kepahlawanan/ kesatriaan, solidaritas,
kedermawanan, kerendahan hati, keramahan, kebijaksanaan,
perjuangan/kesungguhan, keikhlasan dan seterusnya. Juga penjelasan
nilai-nilai keislaman dalam berbagai segi seperti sosial keluarga dan
kemasyarakatan, pendidikan, ekonomi, politik dan seterusnya.
Dari
semua tema dan pesan-pesan di atas dapat mengambil contoh-contoh dari
peristiwa-peristiwa aktual maupun saksi dan fragmen kehidupan sejarah
masa lampau ataupun kisah fiktif yang tidak bertentangan dengan kaidah
syar’i dan melewati batas-batas kewajaran. Dalam presentasinya dapat
diperkaya dengan hikmah ayat-ayat, hadits-hadits, sirah rasul serta ujar
para ulama dan warisan bijak tradisional.
Wahyu Islam Al-Qur’an Al-Karim, memang tampil sebagai sajian
agung (ma’dubatur rahman) yang menggarap semua nilai-nilai keagungan.
Jika ada sesuatu yang bisa dikatakan sebagai seni, maka Al-Qur’an adalah
mahaseni. Dan jika pikiran muslim telah dipengaruhi oleh sesuatu maka
sesuatu itu adalah Al-Qur’an. Jika pengaruh tersebut cukup dalam
sehingga bersifat konstitutif dalam setiap segi, maka demikian pula
dalam segi estetika. Tidak ada manusia muslim yang tidak tersentuh lubuk
hatinya, citrarasa dan kesadarannya oleh irama, sajak dan segi-segi
kefasihan (aujuh balaghoh) Al-Qur’an; Tidak ada muslim yang
norma-norma dan standar-standar keindahannya tidak dibentuk kembali oleh
Al-Qur’an dan citranya sendiri.
Aspek dari Al-Qur’an inilah yang disebut i’jaz
nya atau “kekuatannya yang menaklukkan”, “kemampuannya untuk menantang
pembaca tanpa bisa ditandingi olehnya.” Dalam kenyataannya, Al-Qur’an
telah menantang para pendengarnya, orang-orang Arab dengan ketinggian
sastra mereka, untuk menghasilkan sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an”
baik segi santun bahasa maupun bobot isinya (QS. Al-Baqarah:23-24) dan
sekaligus membungkam mereka karena ketidakmampuan dan berdayaan mereka
melakukan hal itu (QS 10:38 ; 11:13 ; 17:88 ). Sebagian dari musuh-musuh
Islam di zaman Nabi ada yang memaksakan diri menjawab tantangan
tersebut dan hasilnya dipermalukan oleh penilaian lawan-lawan mereka dan
juga kawan-kawan mereka sendiri. (Abdul Qadir Al-Jurjani dalam Dalail
Al-I’jaz )
Setiap orang mengakui bahwa meskipun ayat-ayat Al-Qur’an tidak mengikuti pola-pola puisi konvensional,
namun ayat-ayat tersebut menghasilkan efek yang sama dengan puisi
bahkan pada tingkat yang paling tinggi. Setiap ayatnya adalah lengkap
dan sempurna menjadi satu kesatuan yang harmonis (wihdah maudhu’iyah wa jamaliyah)
yang kaya akan nilai ungkapan-ungkapan sastra atau artikulasi yang
hidup, menyentuh, indah dan agung. Demikian kuat momentum yang
dihasilkannya hingga pembacanya akan tertarik hanyut bersamanya tanpa
dapat menahan dirinya, menantikan ayat berikutnya dan terpaku diam
ketika mendengarnya. Proses ini berulang lagi dengan ayat-ayat
berikutnya. (Lihat, Al Ishfahani dalam Kitab Al-Aghoni dan Sayyid Qutb
dalam Tashwiiru Al Fanni Fil Qur’an dan Masyahidul Qiyamah). Estetika
dan harmoni seni Islam tidak saja mewarnai ayat-ayat Qur’aniyah, lebih
jauh seni Islam terhampar pada gelaran jagad raya yang tiada cacatnya.
Semuanya Allah ciptakan dengan kecermatan yang sempurna, tidak ada segi
dan unsurnya yang sia-sia atau kerancuan (bathilah) semua serba melengkapi dan mendukung membentuk kesatuan fitrah panorama yang indah (QS 3:190-191).
Dengan
demikian generasi muslim dapat membuktikan kesanggupan dan kesiapannya
untuk mewarisi karya jenius seni dan kebudayaan Islam dari para perintis
seni budaya Islam yang agung serta mengubur anggapan gagalnya proses
upaya regenerasi seni budaya Islam seperti pernyataan Richard
Ettinghausen dalam bukunya,” The Character of Islamic Art, The Arab
Heritage (hal. 251-267 ). Namun, pada saat dinamika kreativitas dunia
seni Islam baru dalam tahap mulai merangkak kembali; pada saat para
seniman, kaum intelektual dan generasi muslim yang berorientasi dan
berobsesi mewujudkan dan menghadirkan kembali seni budaya Islam yang
selalu aktual masih langka; pada saat segenap perangkat dan daya dukung
pembentukan seni budaya Islam belum mendapatkan tempat dan kesempatan
yang layak untuk hadir di tengah-tengah umat, pada saat masyarakat pada
umumnya belum akrab dengan nilai budaya Islam kita tidak perlu bingung,
meratap dan putus asa yang berakibat kepasrahan ataupun kekalahan sebab,
sajian seni aksiomatik ayat-ayat Qur’aniyah dan panorama estetika
alamiah sudah lama menunggu dan selalu siap hadir menjadi alternatif
dasar fitri dengan kekayaan nilai, potensi dan keindahannya karena
bersumber dari Yang Maha Indah untuk memenuhi hajat naluri kemanusiaan
kita dan tidak akan kehabisan unsur, materi dan sentuhan aktualitas,
variasi dan estetika tanpa harus menabrak rambu syariah dalam bidang
seni seperti di atas. Wallahu ta'ala a’lam. Wabillahit taufiq wal hidayah.
Oleh Ustadz Dr. Setiawan Budi Utomo
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2009/07/3211/seni-budaya-dan-kriteria-kesenian-islami/#ixzz1brQWrep2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar